Serangan 11 September 2001 menjadi awal "perang" Barat terhadap Islam dan Muslim. Sejak itulah Barat menunjukkan wajah aslinya yang ternyata telah salah memandang Islam. Berbagai tudingan dan tuduhan buruk diarahkan ke Islam. Tapi situasi itu membuat seorang perempuan AS justeru penasaran dengan agama Islam.
Jacquelyn Harper, seorang Kristiani konservatif jamaah Gereja Lutheran memenuhi rasa ingin tahunya tentang Islam dengan membaca buku-buku tentang Islam.
"Anda mendengar banyak hal-hal yang buruk tentang Islam dan itu menjadi alasan bagi saya untuk mempelajari Islam," kata Harper.
Menurut Harper, ketika ia membaca buku-buku Islam, ia tak menemukan satupun stereotipe yang ditujukan terhadap agama Islam itu benar. Contohnya masalah perlakuan terhadap perempuan, Harper tak menemukan satupun ajaran Islam yang menindas perempuan seperti yang ia dengar selama ini.
"Setelah membaca buku-buku Islam, saya mulai merasakan agama Islam adalah agama yang masuk akal buat saya. Saya sempat syok dan berkata, 'inilah yang saya rasakan, inilah yang saya yakini'," ujar Harper.
Pembelajaran panjang itu membuat Harper, 25, terkesan pada agama Islam. Ia akhirnya memutuskan memeluk agama Islam pada bulan Januari lalu. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Harper mengakui Islam telah memberikan pengaruh yang positif pada hidupnya.
Untuk memperdalam ilmu agama Islamnya, Harper baru saja menyelesaikan kursus agama bagi para mualaf dan nin Muslim selama delapan bulan di North Austin Muslim Community Center. Dari kursus itu, Harper belajar tentang dasar-dasar budaya dan sejarah Islam, etika berpakaian dalam Islam, pernikahan sampai masalah puasa.
Setelah mengikuti kursus itu, Harper kini sedang mempersiapkan diri untuk mulai mengenakan jilbab. "Ketika Anda melakukan sesuatu yang baik, Anda akan merasakan bahwa Anda telah melakukan hal yang benar dan hati Anda merasakan menjadi manusia yang lebih baik," tukas Harper. (ln/iol)
Rabu, 17 Juni 2009
Ulama Brazil: Manfaatkan Internet Untuk Memperluas Dakwah
Kemajuan teknologi akan bermanfaat jika manusia bisa menggunakannya dengan bijak.
Salah satunya adalah media internet yang bisa digunakan untuk meluaskan dakwah. Itulah yang disarankan pemuka Muslim di Brazil, Al-Sadiq Al-Othmani.
Ketua Urusan Agama Islam di Pusat Dakwah Islam Amerika Latin itu mengatakan, karena luasnya negara Brazil, internet bisa menjadi alat yang efektif untuk menyebarluaskan pesan-pesan Islam.
"Internet merupakan salah satu alat kontemporer yang bisa digunakan untuk menyukseskan dakwah," kata Al-Othmani.
"Oleh sebab itu saya mendorong para ulama untuk menyebarkan pesan-pesan dakwah mereka lewat internet, khususnya di negara yang begitu luas seperti Brazil," himbau ulama asal Maroko yang sudah menetap di Brazil selama tujuh tahun itu.
Al-Othmani mengatakan, para da'i kebanyakan mereka adalah tenaga sukarelawan rata-rata membutuhkan waktu dua sampai tiga jam untuk mencapai masjid terdekat di kota-kota tempat mereka tinggal, ketika bertugas memberikan ceramah.
"Kalau masjidnya berada di luar kota, mereka butuh waktu sampai 12 jam untuk mencapai tempat mereka memberikan ceramah," kata Al-Othmani.
Othamani menyarankan agar para da'i menggunakan fasilitas internet untuk berdakwah berdasarkan pengalamannya sendiri ketika berceramah di sebuah masjid di Sao Paulo. Ketika itu, beberapa orang yang hadir memintanya untuk menerjemahkan ceramahnya dan mempostingnya di internet.
"Dan saya melakukannya. Saya memposting ceramah saya di sebuah situs milik seorang anak muda Muslim yang membuat situs Islam bagi masyarakat Brazil. Responnya sungguhn mengejutkan, hit postingan itu mencapai 800.000 hanya dalam waktu satu minggu," tutur Al-Othmani.
"Kami juga kebanjiran surat dan email yang menanyakan seluk beluk tentang Islam dan banyak diantara pengirim pertanyaan yang akhirnya masuk Islam," ujarnya.
Setelah sukses berdakwah di internet, Othmani membuat majalan online sendiri untuk mengenalkan Islam pada masyarakat Amerika Latin. "Sampai hari ini, jumlah pengunjung majalan online itu mencapai 5.000 orang per minggunya," kata Othamani.
Masyarakat Brazil, tambah Othmani adalah masyarakat yang toleran, sehingga kegiatan dakwah di Brazil bisa berjalan efektif. "Komunitas Muslim sangat menikmati suasana toleransi di sini . Mereka bebas menjalankan ibadahnya dan membangun tempat-tempat ibadah," tukasnya.
Menurut Othmani, saat ini ada 120 masjid yang tersebar di seluruh Brazil, ditambah dengan berbagai Islamic Center, organisasi keislaman dan lembaga amal Muslim. Di Sao Paulo, ibukota Brazil, terdapat 10 masjid salah satunya masjid pertama di Amerika Latin yang dibangun tahun 1929.
Data Islamic Brazilian Federation menyebutkan, jumlah warga Muslim di Brazil saat ini sekitar 1,5 juta orang. Kebanyakan Muslim Brazil berasal dari Suriah, Palestina dan Lebanon yang sudah menetap di Brazil sejak Perang Dunia I.
Setelah invasi AS ke Irak tahun 2003, Muslim Irak juga banyak yang mengungsi ke Brazil. Komunitas Muslim di Brazil terkonsentrasi di negara bagian Parana, Goias, Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Sebagain kecil menetap di Mato Grosso do Sul dan Rio Grande do Sul.
Apa yang dilakukan ulama Brazil mungkin bisa dicontoh para juru dakwah di Indonesia yang sekarang sedang berpolemik soal pengharaman facebook.
Mengapa tidak memanfaat saja facebook sebagai lahan dakwah? (ln/iol)
Salah satunya adalah media internet yang bisa digunakan untuk meluaskan dakwah. Itulah yang disarankan pemuka Muslim di Brazil, Al-Sadiq Al-Othmani.
Ketua Urusan Agama Islam di Pusat Dakwah Islam Amerika Latin itu mengatakan, karena luasnya negara Brazil, internet bisa menjadi alat yang efektif untuk menyebarluaskan pesan-pesan Islam.
"Internet merupakan salah satu alat kontemporer yang bisa digunakan untuk menyukseskan dakwah," kata Al-Othmani.
"Oleh sebab itu saya mendorong para ulama untuk menyebarkan pesan-pesan dakwah mereka lewat internet, khususnya di negara yang begitu luas seperti Brazil," himbau ulama asal Maroko yang sudah menetap di Brazil selama tujuh tahun itu.
Al-Othmani mengatakan, para da'i kebanyakan mereka adalah tenaga sukarelawan rata-rata membutuhkan waktu dua sampai tiga jam untuk mencapai masjid terdekat di kota-kota tempat mereka tinggal, ketika bertugas memberikan ceramah.
"Kalau masjidnya berada di luar kota, mereka butuh waktu sampai 12 jam untuk mencapai tempat mereka memberikan ceramah," kata Al-Othmani.
Othamani menyarankan agar para da'i menggunakan fasilitas internet untuk berdakwah berdasarkan pengalamannya sendiri ketika berceramah di sebuah masjid di Sao Paulo. Ketika itu, beberapa orang yang hadir memintanya untuk menerjemahkan ceramahnya dan mempostingnya di internet.
"Dan saya melakukannya. Saya memposting ceramah saya di sebuah situs milik seorang anak muda Muslim yang membuat situs Islam bagi masyarakat Brazil. Responnya sungguhn mengejutkan, hit postingan itu mencapai 800.000 hanya dalam waktu satu minggu," tutur Al-Othmani.
"Kami juga kebanjiran surat dan email yang menanyakan seluk beluk tentang Islam dan banyak diantara pengirim pertanyaan yang akhirnya masuk Islam," ujarnya.
Setelah sukses berdakwah di internet, Othmani membuat majalan online sendiri untuk mengenalkan Islam pada masyarakat Amerika Latin. "Sampai hari ini, jumlah pengunjung majalan online itu mencapai 5.000 orang per minggunya," kata Othamani.
Masyarakat Brazil, tambah Othmani adalah masyarakat yang toleran, sehingga kegiatan dakwah di Brazil bisa berjalan efektif. "Komunitas Muslim sangat menikmati suasana toleransi di sini . Mereka bebas menjalankan ibadahnya dan membangun tempat-tempat ibadah," tukasnya.
Menurut Othmani, saat ini ada 120 masjid yang tersebar di seluruh Brazil, ditambah dengan berbagai Islamic Center, organisasi keislaman dan lembaga amal Muslim. Di Sao Paulo, ibukota Brazil, terdapat 10 masjid salah satunya masjid pertama di Amerika Latin yang dibangun tahun 1929.
Data Islamic Brazilian Federation menyebutkan, jumlah warga Muslim di Brazil saat ini sekitar 1,5 juta orang. Kebanyakan Muslim Brazil berasal dari Suriah, Palestina dan Lebanon yang sudah menetap di Brazil sejak Perang Dunia I.
Setelah invasi AS ke Irak tahun 2003, Muslim Irak juga banyak yang mengungsi ke Brazil. Komunitas Muslim di Brazil terkonsentrasi di negara bagian Parana, Goias, Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Sebagain kecil menetap di Mato Grosso do Sul dan Rio Grande do Sul.
Apa yang dilakukan ulama Brazil mungkin bisa dicontoh para juru dakwah di Indonesia yang sekarang sedang berpolemik soal pengharaman facebook.
Mengapa tidak memanfaat saja facebook sebagai lahan dakwah? (ln/iol)
Sistem Ekonomi Ribawi (sistem Bunga) (2)
Bencana utama dari riba adalah melahirkan bencana ekonomi yang tumbuh secara tidak seimbang karena tidak terdistribusikan kepada seluruh manusia, melainkan kepada kelompok pemodal lintah darat yang duduk-duduk di belakang meja-meja besar di bank-bank.
Penyebab Kegelisahan
Sebab utama kegelisahan sudah barang tentu adalah kosongnya ruh manusia yang tersiksa, sesat dan sengsara ini dari energi ruh, yaitu iman dan keyakinan terhadap Allah, serta dari tujuan-tujuan besar manusia yang digariskan iman dan dari kekhalifahan di bumi sesuai perjanjian dan syaratnya.
Bencana utama dan besar tersebut—yaitu bencana riba—melahirkan bencana ekonomi yang tumbuh secara tidak seimbang karena tidak terdistribusikan kepada seluruh manusia, melainkan kepada kelompok pemodal lintah darat yang duduk-duduk di belakang meja-meja besar di bank-bank. Mereka meminjami modal kepada industri dan bisnis dengan bunga yang telah ditetapkan dan terjamin, lalu memaksa industri dan bisnis untuk mengikuti jalur tertentu yang tujuan pertamanya bukan menjaga masyarakat dan hajat manusia, melainkan untuk menghasilkan keuntungan sebesar mungkin—meskipun dengan menghancurkan kehidupan banyak orang dan menebarkan keraguan dan kecemasan di tengah masyarakat!
Mahabenar Allah dalam firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Para lintah darat di masa Rasulullah saw memprotes pengharaman riba karena tidak menurut mereka tidak ada alasan untuk mengharamkan praktik riba dan menghalalkan praktik perdagangan:
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Kerancuan yang jadi pegangan mereka adalah jual beli menghasilkan manfaat (interest) dan keuntungan, sama seperti riba. Ini merupakan kerancuan yang lemah. Karena perdangan itu bisa untung atau rugi. Kepiawaian individu, usaha individu serta situasi dan kondisi natural dalam kehidupan-lah yang menjadi faktor untung dan rugi. Sedangkan praktik riba itu pasti untung dalam kondisi apapun. Inilah perbedaan utama dan tolok ukur halal dan haram.
Setiap transaksi yang terjamin keuntungannya dalam kondisi apapun adalah riba dan haram. Tidak ada alasan untuk negoisasi dalam hal ini!
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Karena unsur ini dan karena faktor-faktor lain, maka perdagangan secara prinsip adalah bermanfaat bagi kehidupan manusia, dan riba secara prinsip itu merusak kehidupan manusia..
Islam telah memberi sosuli praktis terhadap kondisi yang ada pada saat itu, tanpa menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.”
Islam telah menjalankan sistemnya sejak pertama ia ditetapkan. Barangsiapa yang mendengar nasihat Tuhannya lalu berhenti mengutip riba, maka tiba yang telah lalu itu tidak diambil lagi darinya dan keputusannya diserahkan kepada Allah. Ungkapan ini memberi inspirasi kepada hati bahwa keselamatan dari akibat dosa di masa lalu itu tergantung pada kehendak dan rahmat Allah, sehingga hati selalu mencemaskan hal tersebut dan berkata kepada diri sendiri: cukup bagiku dengan torehan dosa ini, semoga Allah memaafkanku dari hukumannya jika aku berhenti dari riba dan bertaubat.
“Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Ancaman dengan adzab yang sebenarnya di akhirat itu memperkuat karakter metode edukasi yang kami isyaratkan dan memperdalam pengaruhnya bagi hati. Tetapi, barangkali banyak orang yang lalai dengan akibat lamanya waktu dan tidak diketahuinya waktu yang dijanjikan, sehingga mereka menganggap akhirat masih jauh! Karena itu, al-Qur’an juga mengancam mereka dengan kemusnahan di dunia dan akhirat, menetapkan bahwa sedekah—bukan riba—itulah yang berkembang. Kemudian, ancaman ini melabeli orang-orang yang tidak merespon perintah ini dengan label kufur dan dosa dan memperlihatkan kepada mereka kebenncian Allah terhadap orang-orang kafir yang berdoa:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
Ancaman dan janji Allah itu terbukti benar. Kita lihat, tidak satu pun masyarakat yang berinteraksi dengan riba, lalu di dalamnya tersisa berkah, kemakmuran, kebahagiaan, keamanan dan ketentraman. Allah memusnahkan riba, sehingga tidak berdampak kepada masyarakat selain kekeringan dan kesengsaraan.
Sebelumnya kami telah mengisyaratkan ketidak-bahagiaan yang dirasakan manusia di negara-negara kaya dan gangguan psikologis yang tidak bisa ditolak dengan kekayaan, tetapi justeri diperparah. Dari negara-negara tersebut-lah kecemasan dan gangguan itu menjalar ke seluruh dunia pada hari ini, dimana manusia hidup dalam ancaman perang destruktif terus-menerus, seperti Anda terjaga dan tidur dalam bayang-bayang perang dingin! Kehidupan semakin memberatkan syaraf hari demi hari—baik mereka merasa atau tidak. Harta, usia dan kesehatan mereka tidak diberkahi!
Tidak ada satu masyarakat pun yang memegang prinsip solidaritas dan kerjasama—dalam bentuk sedekah wajib dan sunnah, diwarnai ruh cinta dan toleransi, pencarian terhadap karunia dan pahala Allah, serta keyakinan terhadap pertolongan Allah dan ganti-Nya terhadap sedekah secara berlipat ganda. Sifat tidak ramah dan bakhil, saling berkelahi dan saling menggilas, individualisme dan egoisme-lah yang bercokol di hati manusia, sehingga membuat harta tidak bisa berpindah kepada orang-orang yang membutuhkannya kecuali dalam bentuk riba yang busuk.
Kondisi tersebut juga membuat manusia hidup tanpa jaminan-jaminan selama mereka tidak punya setumpuk kekayaan, atau menyetor sebagian hartanya ke lembaga asuransi dengan sistem riba! Ia juga membuat perdagangan dan industri tidak memperoleh modal selama tidak dengan cara riba, sehingga tertanam dalam benak generasi penerus yang sengsara itu bahwa tidak ada sistem selain sistem ini dan bahwa kehidupan tidak bisa tegak kecuali di atas fondasi ini!
Penyebab Kegelisahan
Sebab utama kegelisahan sudah barang tentu adalah kosongnya ruh manusia yang tersiksa, sesat dan sengsara ini dari energi ruh, yaitu iman dan keyakinan terhadap Allah, serta dari tujuan-tujuan besar manusia yang digariskan iman dan dari kekhalifahan di bumi sesuai perjanjian dan syaratnya.
Bencana utama dan besar tersebut—yaitu bencana riba—melahirkan bencana ekonomi yang tumbuh secara tidak seimbang karena tidak terdistribusikan kepada seluruh manusia, melainkan kepada kelompok pemodal lintah darat yang duduk-duduk di belakang meja-meja besar di bank-bank. Mereka meminjami modal kepada industri dan bisnis dengan bunga yang telah ditetapkan dan terjamin, lalu memaksa industri dan bisnis untuk mengikuti jalur tertentu yang tujuan pertamanya bukan menjaga masyarakat dan hajat manusia, melainkan untuk menghasilkan keuntungan sebesar mungkin—meskipun dengan menghancurkan kehidupan banyak orang dan menebarkan keraguan dan kecemasan di tengah masyarakat!
Mahabenar Allah dalam firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Para lintah darat di masa Rasulullah saw memprotes pengharaman riba karena tidak menurut mereka tidak ada alasan untuk mengharamkan praktik riba dan menghalalkan praktik perdagangan:
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Kerancuan yang jadi pegangan mereka adalah jual beli menghasilkan manfaat (interest) dan keuntungan, sama seperti riba. Ini merupakan kerancuan yang lemah. Karena perdangan itu bisa untung atau rugi. Kepiawaian individu, usaha individu serta situasi dan kondisi natural dalam kehidupan-lah yang menjadi faktor untung dan rugi. Sedangkan praktik riba itu pasti untung dalam kondisi apapun. Inilah perbedaan utama dan tolok ukur halal dan haram.
Setiap transaksi yang terjamin keuntungannya dalam kondisi apapun adalah riba dan haram. Tidak ada alasan untuk negoisasi dalam hal ini!
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Karena unsur ini dan karena faktor-faktor lain, maka perdagangan secara prinsip adalah bermanfaat bagi kehidupan manusia, dan riba secara prinsip itu merusak kehidupan manusia..
Islam telah memberi sosuli praktis terhadap kondisi yang ada pada saat itu, tanpa menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.”
Islam telah menjalankan sistemnya sejak pertama ia ditetapkan. Barangsiapa yang mendengar nasihat Tuhannya lalu berhenti mengutip riba, maka tiba yang telah lalu itu tidak diambil lagi darinya dan keputusannya diserahkan kepada Allah. Ungkapan ini memberi inspirasi kepada hati bahwa keselamatan dari akibat dosa di masa lalu itu tergantung pada kehendak dan rahmat Allah, sehingga hati selalu mencemaskan hal tersebut dan berkata kepada diri sendiri: cukup bagiku dengan torehan dosa ini, semoga Allah memaafkanku dari hukumannya jika aku berhenti dari riba dan bertaubat.
“Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Ancaman dengan adzab yang sebenarnya di akhirat itu memperkuat karakter metode edukasi yang kami isyaratkan dan memperdalam pengaruhnya bagi hati. Tetapi, barangkali banyak orang yang lalai dengan akibat lamanya waktu dan tidak diketahuinya waktu yang dijanjikan, sehingga mereka menganggap akhirat masih jauh! Karena itu, al-Qur’an juga mengancam mereka dengan kemusnahan di dunia dan akhirat, menetapkan bahwa sedekah—bukan riba—itulah yang berkembang. Kemudian, ancaman ini melabeli orang-orang yang tidak merespon perintah ini dengan label kufur dan dosa dan memperlihatkan kepada mereka kebenncian Allah terhadap orang-orang kafir yang berdoa:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
Ancaman dan janji Allah itu terbukti benar. Kita lihat, tidak satu pun masyarakat yang berinteraksi dengan riba, lalu di dalamnya tersisa berkah, kemakmuran, kebahagiaan, keamanan dan ketentraman. Allah memusnahkan riba, sehingga tidak berdampak kepada masyarakat selain kekeringan dan kesengsaraan.
Sebelumnya kami telah mengisyaratkan ketidak-bahagiaan yang dirasakan manusia di negara-negara kaya dan gangguan psikologis yang tidak bisa ditolak dengan kekayaan, tetapi justeri diperparah. Dari negara-negara tersebut-lah kecemasan dan gangguan itu menjalar ke seluruh dunia pada hari ini, dimana manusia hidup dalam ancaman perang destruktif terus-menerus, seperti Anda terjaga dan tidur dalam bayang-bayang perang dingin! Kehidupan semakin memberatkan syaraf hari demi hari—baik mereka merasa atau tidak. Harta, usia dan kesehatan mereka tidak diberkahi!
Tidak ada satu masyarakat pun yang memegang prinsip solidaritas dan kerjasama—dalam bentuk sedekah wajib dan sunnah, diwarnai ruh cinta dan toleransi, pencarian terhadap karunia dan pahala Allah, serta keyakinan terhadap pertolongan Allah dan ganti-Nya terhadap sedekah secara berlipat ganda. Sifat tidak ramah dan bakhil, saling berkelahi dan saling menggilas, individualisme dan egoisme-lah yang bercokol di hati manusia, sehingga membuat harta tidak bisa berpindah kepada orang-orang yang membutuhkannya kecuali dalam bentuk riba yang busuk.
Kondisi tersebut juga membuat manusia hidup tanpa jaminan-jaminan selama mereka tidak punya setumpuk kekayaan, atau menyetor sebagian hartanya ke lembaga asuransi dengan sistem riba! Ia juga membuat perdagangan dan industri tidak memperoleh modal selama tidak dengan cara riba, sehingga tertanam dalam benak generasi penerus yang sengsara itu bahwa tidak ada sistem selain sistem ini dan bahwa kehidupan tidak bisa tegak kecuali di atas fondasi ini!
Sistem Ekonomi Ribawi (sistem Bunga) (1)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila..”
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 275-276)
Ini adalah serangan yang menakutkan dan lukisan yang menakutkan:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila..”
Tidak ada suatu ancaman yang sifatnya abstrak untuk menimbulkan pengaruh pada perasaan seperti yang ditimbulkan gambaran yang konkret, hidup dan bergerak ini..Yaitu gambaran orang yang kesurupan setan yang familiar banyak manusia.
Nash menghadirkannya agar ia menjalankan peran inspirasinya untuk menggedor perasaan, menggugah perasaan para lintah darat dan menggoncangnya dengan keras agar mereka meninggalkan sistem ekonomi yang menjadi kebiasaan mereka dan meninggalkan ketamakan mereka untuk memperoleh bunga.
Gambaran ini menjadi media stimulus edukatif yang efektif pada tempat yang sesuai, tetapi pada waktu yang sama ia mengungkapkan sebuah hakikat riil. Mayoritas tafsir mengatakan bahwa maksud kata ‘berdiri’ di sini adalah berdiri pada hari Kiamat. Tetapi, gambaran ini—seperti yang kita lihat—juga benar-benar terjadi dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Lagi pula, gambaran itu sesuai dengan peringatan sesudahnya; serangan dari Allah dan Rasul-Nya. Kami melihat bahwa serangan tersebut tengah berlangsung terhadap umat manusia yang sesat dan menggelepar seperti orang yang kesurupan di tengah sistem riba. Sebelum kami merinci bukti hakikat ini dari realitas manusia hari ini, kami memulai dengan memaparkan gambaran riba yang dihadapi al-Qur’an pertama kali di tengah Jazirah Arab dan persepsi-persepsi umat jahiliyyah tentangnya..
Riba yang dikenal masyarakat jahiliyyah dimana ayat ini turun untuk menganulirnya itu memiliki dua bentuk pokok: riba nasi’ah dan riba fadhl. Mengenai riba nasi’ah, Qatadah berkata, “Riba masyarakat jahiliyyah adalah seseorang menjual barang secara tempo. Apabila temponya telah jatuh sedangkan pembeli tidak bisa membayar, maka penjual menaikkan harganya dan mengundur waktunya.”
Dalam riwayat Abu Usamah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah.”
Adapun riba fadhl adalah seseorang membarter barang dengan barang yang sejenis tetapi ada selisih, seperti barter emas dengan emas. Jenis transaksi ini dikategorikan riba karena ada kerancuan di dalamnya.
Dari Abu Sa‘id al-Khudri, Rasulullah saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, kurma kering dengan kurma kering, garam dengan garam, secara sepadan dan kontan. Barangsiapa yang melebihkan atau meminta dilebihkan, maka ia telah berlaku riba. Yang menerima dan yang memberi adalah sama.” Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menjelaskan masalah riba ini.
Riba jenis pertama jelas dan tidak butuh penjelasan, karena unsur-unsur pokok praktik riba telah terpenuhi, yaitu selisih dari pokok harta, sifat tempo yang karenanya selisih nilai ini dibayarkan, keberadaan bunga ini menjadi sarat yang termuat dalam transaksi. Maksudnya adalah harta beranak harta hanya karena perbedaan waktu pembayaran.
Adapun jenis kedua, tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat perbedaan-pebedaan pokok pada dua barang sejenis yang menjadi faktor selisih. Hal itu tampak jelas pada peristiwa Bilal ketika ia memberi dua gantang kurma kualitas rendah dan mengambil satu gantang kurma kualitas bagus. Tetapi, karena kesamaan jenis dua barang itu menimbulkan kesamaran bahwa ada praktik riba di dalamnya, lantaran di sini kurma menghasilkan kurma, maka Rasulullah saw menyebutnya riba. Beliau menyuruh menjual barang yang dimaksud dengan ditukar uang, kemudian membeli barang yang diinginkan dengan uang juga. Hal itu untuk menjauhkan bayang-bayang riba dari transaksi!
Demikian pula syarat konstan, agar jual beli tempo untuk barang yang sepadan, meskipun tanpa selisih itu tidak mengandung aroma riba dan salah satu unsurnya!
Sampai batas inilah sensitifitas Rasulullah saw terhadap aroma riba dalam suatu transaksi. Tetapi, orang-orang yang hari ini tunduk kepada persepsi dan sistem kapitalis barat ingin membatasi keharaman riba pada satu bentuk riba saja, yaitu nasi’ah, dengan bersandar pada hadits Usamah di atas dan penjelasan ulama salaf mengenai praktik riba di masa jahiliyyah.
Islam bukan sistem formalitas, melainkan sistem yang berfondasikan persepsi yang orisinil. Ketika Islam mengharamkan riba, maka ia bukan mengharamkan satu bentuk saja. Islam melawan persepsi yang bertolak belakang dengan persepsinya dan memerangi logika yang tidak sejalan dengan logikanya. Dan sampai batas inilah sensitifitas Islam dalam mengharamkan riba fadhl, untuk menjauhkan bayangan logika dan rasa riba sejauh-jauhnya.
Karena itu, sepantasnya kita mengetahui hakikat ini dengan baik dan meyakini perang yang dikumandangkan Allah dan Rasul-Nya itu tertuju kepada masyarakat penganut sistem riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Orang-orang yang makan riba itu bukan hanya yang mengambil bunga saja—meskipun mereka adalah kelompok yang pertama diancam oleh nash yang menakutkan ini. Tetapi mereka adalah setiap bagian dari masyarakat penganut sistem riba.
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata, “Rasulullah saw melaknat orang yang mengambil riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya dan pencatatnya. Beliau bersabda, “Mereka sama.”
Mereka tidak berdiri dan bergerak kecuali seperti orang yang kesurupan, gelisah, cemas, tidak memperoleh ketentraman dan ketenangan. Kalau dulu ada keraguan terhadap hakikat tersebut pada masa berdirinya sistem kapitalis empat abad yang lalu, maka pengalaman tidak menyisakan lagi ruang bagi keraguan.
Dunia tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia kecemasan dan ketakutan, dipenuhi penyakit syaraf dan psikologis—menurut pengakuan pada pakar dan penelitinya. Meskipun sedemikian hebat apa yang dicapai peradaban materi dan produk industri. Selain itu, dunia ini adalah dunia perang yang luas, ancaman genosida, perang urat syaraf dan konflik-konflik yang tidak pernah berhenti di sana-sini!
Di Amerika, Swedia dan negara-negara lain yang makmur secara materi, masyarakatnya bukan masyarakat yang bahagia. Kecemasan tampak jelas terlihat di mata mereka, padahal mereka orang-orang berada! Kejemuan merapuhkan kehidupan mereka saat mereka sibuk berproduksi! Ada kalanya mereka dibayangi kejemuan padahal di tengah keriaan yang hingar bingar, atau dalam ‘keranjingan’ yang aneh dan menyimpang, penyimpangan seksual dan psikologis.
Kemudian mereka merasa butuh lari dari diri sendiri dan kehampaan! Juga dari ketidak-bahagiaan yang tidak ada hubungannya dengan fasilitas hidup. Mereka lari dengan cara bunuh diri, gila dan menyimpang! Hantu kecemasan dan kehampaan itu terus mengejar mereka dan tidak pernah membiarkan mereka rileks sama sekali. Mengapa?
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 275-276)
Ini adalah serangan yang menakutkan dan lukisan yang menakutkan:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila..”
Tidak ada suatu ancaman yang sifatnya abstrak untuk menimbulkan pengaruh pada perasaan seperti yang ditimbulkan gambaran yang konkret, hidup dan bergerak ini..Yaitu gambaran orang yang kesurupan setan yang familiar banyak manusia.
Nash menghadirkannya agar ia menjalankan peran inspirasinya untuk menggedor perasaan, menggugah perasaan para lintah darat dan menggoncangnya dengan keras agar mereka meninggalkan sistem ekonomi yang menjadi kebiasaan mereka dan meninggalkan ketamakan mereka untuk memperoleh bunga.
Gambaran ini menjadi media stimulus edukatif yang efektif pada tempat yang sesuai, tetapi pada waktu yang sama ia mengungkapkan sebuah hakikat riil. Mayoritas tafsir mengatakan bahwa maksud kata ‘berdiri’ di sini adalah berdiri pada hari Kiamat. Tetapi, gambaran ini—seperti yang kita lihat—juga benar-benar terjadi dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Lagi pula, gambaran itu sesuai dengan peringatan sesudahnya; serangan dari Allah dan Rasul-Nya. Kami melihat bahwa serangan tersebut tengah berlangsung terhadap umat manusia yang sesat dan menggelepar seperti orang yang kesurupan di tengah sistem riba. Sebelum kami merinci bukti hakikat ini dari realitas manusia hari ini, kami memulai dengan memaparkan gambaran riba yang dihadapi al-Qur’an pertama kali di tengah Jazirah Arab dan persepsi-persepsi umat jahiliyyah tentangnya..
Riba yang dikenal masyarakat jahiliyyah dimana ayat ini turun untuk menganulirnya itu memiliki dua bentuk pokok: riba nasi’ah dan riba fadhl. Mengenai riba nasi’ah, Qatadah berkata, “Riba masyarakat jahiliyyah adalah seseorang menjual barang secara tempo. Apabila temponya telah jatuh sedangkan pembeli tidak bisa membayar, maka penjual menaikkan harganya dan mengundur waktunya.”
Dalam riwayat Abu Usamah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah.”
Adapun riba fadhl adalah seseorang membarter barang dengan barang yang sejenis tetapi ada selisih, seperti barter emas dengan emas. Jenis transaksi ini dikategorikan riba karena ada kerancuan di dalamnya.
Dari Abu Sa‘id al-Khudri, Rasulullah saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, kurma kering dengan kurma kering, garam dengan garam, secara sepadan dan kontan. Barangsiapa yang melebihkan atau meminta dilebihkan, maka ia telah berlaku riba. Yang menerima dan yang memberi adalah sama.” Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menjelaskan masalah riba ini.
Riba jenis pertama jelas dan tidak butuh penjelasan, karena unsur-unsur pokok praktik riba telah terpenuhi, yaitu selisih dari pokok harta, sifat tempo yang karenanya selisih nilai ini dibayarkan, keberadaan bunga ini menjadi sarat yang termuat dalam transaksi. Maksudnya adalah harta beranak harta hanya karena perbedaan waktu pembayaran.
Adapun jenis kedua, tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat perbedaan-pebedaan pokok pada dua barang sejenis yang menjadi faktor selisih. Hal itu tampak jelas pada peristiwa Bilal ketika ia memberi dua gantang kurma kualitas rendah dan mengambil satu gantang kurma kualitas bagus. Tetapi, karena kesamaan jenis dua barang itu menimbulkan kesamaran bahwa ada praktik riba di dalamnya, lantaran di sini kurma menghasilkan kurma, maka Rasulullah saw menyebutnya riba. Beliau menyuruh menjual barang yang dimaksud dengan ditukar uang, kemudian membeli barang yang diinginkan dengan uang juga. Hal itu untuk menjauhkan bayang-bayang riba dari transaksi!
Demikian pula syarat konstan, agar jual beli tempo untuk barang yang sepadan, meskipun tanpa selisih itu tidak mengandung aroma riba dan salah satu unsurnya!
Sampai batas inilah sensitifitas Rasulullah saw terhadap aroma riba dalam suatu transaksi. Tetapi, orang-orang yang hari ini tunduk kepada persepsi dan sistem kapitalis barat ingin membatasi keharaman riba pada satu bentuk riba saja, yaitu nasi’ah, dengan bersandar pada hadits Usamah di atas dan penjelasan ulama salaf mengenai praktik riba di masa jahiliyyah.
Islam bukan sistem formalitas, melainkan sistem yang berfondasikan persepsi yang orisinil. Ketika Islam mengharamkan riba, maka ia bukan mengharamkan satu bentuk saja. Islam melawan persepsi yang bertolak belakang dengan persepsinya dan memerangi logika yang tidak sejalan dengan logikanya. Dan sampai batas inilah sensitifitas Islam dalam mengharamkan riba fadhl, untuk menjauhkan bayangan logika dan rasa riba sejauh-jauhnya.
Karena itu, sepantasnya kita mengetahui hakikat ini dengan baik dan meyakini perang yang dikumandangkan Allah dan Rasul-Nya itu tertuju kepada masyarakat penganut sistem riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Orang-orang yang makan riba itu bukan hanya yang mengambil bunga saja—meskipun mereka adalah kelompok yang pertama diancam oleh nash yang menakutkan ini. Tetapi mereka adalah setiap bagian dari masyarakat penganut sistem riba.
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata, “Rasulullah saw melaknat orang yang mengambil riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya dan pencatatnya. Beliau bersabda, “Mereka sama.”
Mereka tidak berdiri dan bergerak kecuali seperti orang yang kesurupan, gelisah, cemas, tidak memperoleh ketentraman dan ketenangan. Kalau dulu ada keraguan terhadap hakikat tersebut pada masa berdirinya sistem kapitalis empat abad yang lalu, maka pengalaman tidak menyisakan lagi ruang bagi keraguan.
Dunia tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia kecemasan dan ketakutan, dipenuhi penyakit syaraf dan psikologis—menurut pengakuan pada pakar dan penelitinya. Meskipun sedemikian hebat apa yang dicapai peradaban materi dan produk industri. Selain itu, dunia ini adalah dunia perang yang luas, ancaman genosida, perang urat syaraf dan konflik-konflik yang tidak pernah berhenti di sana-sini!
Di Amerika, Swedia dan negara-negara lain yang makmur secara materi, masyarakatnya bukan masyarakat yang bahagia. Kecemasan tampak jelas terlihat di mata mereka, padahal mereka orang-orang berada! Kejemuan merapuhkan kehidupan mereka saat mereka sibuk berproduksi! Ada kalanya mereka dibayangi kejemuan padahal di tengah keriaan yang hingar bingar, atau dalam ‘keranjingan’ yang aneh dan menyimpang, penyimpangan seksual dan psikologis.
Kemudian mereka merasa butuh lari dari diri sendiri dan kehampaan! Juga dari ketidak-bahagiaan yang tidak ada hubungannya dengan fasilitas hidup. Mereka lari dengan cara bunuh diri, gila dan menyimpang! Hantu kecemasan dan kehampaan itu terus mengejar mereka dan tidak pernah membiarkan mereka rileks sama sekali. Mengapa?
Kepemimpinan Dalam Al-Qur'an (1)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Ini merupakan tema penting yang dikupas dalam pelajaran ini, selain penjelasan tentang tugas umat Islam di muka bumi. Tema tersebut adalah menetapkan prinsip-prinsip keadilan dan etika di atas dasar-dasar manhaj Allah yang lurus dan bersih.
Sebelumnya kami telah menjelaskannya secara global, maka mari kita memasuki nash-nash secara rinci.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)
Inilah tugas-tugas komunitas muslim dan etika mereka: menyampaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil; sesuai manhaj dan instruksi Allah.
Berbagai amanah berawal dari amanah terbesar. Amanah yang disematkan Allah pada fitrah manusia. Langit, bumi dan gunung-gunung saja menolak amanah tersebt. Bahkan mereka gentar terhadapnya. Tetapi manusia berani memikulnya. Itulah amanah hidayah, ma’rifat dan iman kepada Allah atas dasar keinginan yang bebas, usaha dan orientasi. Inilah amanah fitrah insani secara khusus. Sedangkan segala sesuatu selain manusia itu diberi insting oleh Allah untuk beriman kepada-Nya, menemukan jalan-Nya, mengenal-Nya, beribadah dan menaati-Nya.
Allah meniscayaka untuk menaati aturan-Nya tanpa disertai jerih payah, tanpa ada maksud, kehendak, dan tujuan. Hanya manusia saja yang diserahi tugas untuk mendayagunakan fitrah, akal, pengetahuan, kehendak, orientasi, dan jerih payahnya untuk sampai kepada Allah, dan sudah barang tentu dengan bantuan dari Allah: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-’Ankabut: 29) Inilah amanah yang dipikul manusia, dan inilah amanah pertama yang harus ditunaikannya.
Dari amanah terbesar inilah lahir seluruh amanah yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan.
Di antara amanah-amanah tersebut adalah: amanah kesaksian terhadap agama ini. Kesaksian yang pertama adalah kesaksian dalam hati, dengan melakukan mujahadatun-nafs hingga mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terjemah yang hidup dalam perasaan dan perilakunya, hingga manusia dapat melihat bentuk iman di dalam jiwa, lalu mereka mengatakan, “Betapa indah dan bersihnya iman ketika ia mewarnai jiwa seseorang dengan akhlak dan kesempurnaan seperti ini!” Dengan demikian, kesaksian terhadap agama di dalam diri itu memengaruhi orang lain.
Yang kedua adalah kesaksian dengan mengajak orang lain untuk mengikuti Islam, menjelaskan keutamaan dan keistimewaannya—setelah mengejawantahkan keutamaan dan keistimewaan ini dalam diri dai. Karena seorang mukmin tidak cukup menyampaikan kesaksian terhadap iman dalam dirinya, apabila ia tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Ia belum menjalankan amanah dakwah, tabhligh, dan penyampaikan informasi, yang merupakan salah satu dari sekian banyak amanah. Di susul dengan kesaksian terhadap agama dengan berusaha menancapkannya di bumi sebagai manhaj bagi komunitas yang beriman dan manhaj bagi seluruh umat manusia. Yaitu usaha dengan segenap sarana yang dimiliki individu dan jama’ah. Karena mengaplikasikan manhaj ini dalam kehidupan manusia merupakan amanah terbesar, sesudah amanah iman itu sendiri..Tidak ada satu individu atau kelompok pun yang terbebas dari beban amanah ini. Dari sini, “jihad itu terus berlangsung hingga hari Kiamat”, untuk menunaikan salah satu amanah..
Di antara amanah-amanah tersebut adalah amanah interaksi dengan sesama manusia dan mengembalikan amanah kepada mereka: amanah mu’amalah dan titipan materi, amanah nasihat kepada pemimpin dan rakyat, amanah membangun generasi, amanah memelihara kehormatan dan harta benda jama’ah, serta hal-hal yang dijadikan manhaj robbani sebagai kewajiban dan tugas dalam setiap ruang kehidupan secara keseluruhan..Inilah amanah-amanah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan, dan dikemukakan nash secara global tersebut.
Mengenai memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, nash menyebut keadilan yang menjangkau semua manusia, bukan keadilan di antara sesama orang Islam, dan bukan keadilan di antara sesama Ahli Kitab. Keadilan adalah hak setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai “manusia”. Label “manusia” inilah yang mengimplikasikan hak keadilan dalam manhaj Robbani, dan label inilah yang mempertemukan semua manusia: baik mukmin atau kafir, kawan atau lawan, hitam atau putih, Arab atau non-Arab.
Umat Islam berdiri membuat keputusan di antara manusia dengan adil—ketika ia memegang otoritas atas urusan mereka. Keadilan inilah yang belum pernah dikenal umat manusia sama sekali—dalam bentuknya yang demikian—kecuali di tangan Islam, kecuali dalam pemerintahan umat Islam, dan kecuali pada masa kepemimpinan Islam. Keadilan ini hilang sebelum dan sesudah kepemimpinan tersebut. Umat manusia sama sekali tidak merasakan keadilan dalam bentuk mulia seperti ini, yang diberikan kepada semua manusia karena mereka adalah “manusia”, bukan karena label tambahan lain di luar label yang menjadi milik bersama umat manusia ini!
Itulah dasar pemerintahan dalam Islam. Sebagaimana amanah—dengan setiap indikasinya—merupakan dasar kehidupan dalam masyarakat Islami.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Ini merupakan tema penting yang dikupas dalam pelajaran ini, selain penjelasan tentang tugas umat Islam di muka bumi. Tema tersebut adalah menetapkan prinsip-prinsip keadilan dan etika di atas dasar-dasar manhaj Allah yang lurus dan bersih.
Sebelumnya kami telah menjelaskannya secara global, maka mari kita memasuki nash-nash secara rinci.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)
Inilah tugas-tugas komunitas muslim dan etika mereka: menyampaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil; sesuai manhaj dan instruksi Allah.
Berbagai amanah berawal dari amanah terbesar. Amanah yang disematkan Allah pada fitrah manusia. Langit, bumi dan gunung-gunung saja menolak amanah tersebt. Bahkan mereka gentar terhadapnya. Tetapi manusia berani memikulnya. Itulah amanah hidayah, ma’rifat dan iman kepada Allah atas dasar keinginan yang bebas, usaha dan orientasi. Inilah amanah fitrah insani secara khusus. Sedangkan segala sesuatu selain manusia itu diberi insting oleh Allah untuk beriman kepada-Nya, menemukan jalan-Nya, mengenal-Nya, beribadah dan menaati-Nya.
Allah meniscayaka untuk menaati aturan-Nya tanpa disertai jerih payah, tanpa ada maksud, kehendak, dan tujuan. Hanya manusia saja yang diserahi tugas untuk mendayagunakan fitrah, akal, pengetahuan, kehendak, orientasi, dan jerih payahnya untuk sampai kepada Allah, dan sudah barang tentu dengan bantuan dari Allah: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-’Ankabut: 29) Inilah amanah yang dipikul manusia, dan inilah amanah pertama yang harus ditunaikannya.
Dari amanah terbesar inilah lahir seluruh amanah yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan.
Di antara amanah-amanah tersebut adalah: amanah kesaksian terhadap agama ini. Kesaksian yang pertama adalah kesaksian dalam hati, dengan melakukan mujahadatun-nafs hingga mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terjemah yang hidup dalam perasaan dan perilakunya, hingga manusia dapat melihat bentuk iman di dalam jiwa, lalu mereka mengatakan, “Betapa indah dan bersihnya iman ketika ia mewarnai jiwa seseorang dengan akhlak dan kesempurnaan seperti ini!” Dengan demikian, kesaksian terhadap agama di dalam diri itu memengaruhi orang lain.
Yang kedua adalah kesaksian dengan mengajak orang lain untuk mengikuti Islam, menjelaskan keutamaan dan keistimewaannya—setelah mengejawantahkan keutamaan dan keistimewaan ini dalam diri dai. Karena seorang mukmin tidak cukup menyampaikan kesaksian terhadap iman dalam dirinya, apabila ia tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Ia belum menjalankan amanah dakwah, tabhligh, dan penyampaikan informasi, yang merupakan salah satu dari sekian banyak amanah. Di susul dengan kesaksian terhadap agama dengan berusaha menancapkannya di bumi sebagai manhaj bagi komunitas yang beriman dan manhaj bagi seluruh umat manusia. Yaitu usaha dengan segenap sarana yang dimiliki individu dan jama’ah. Karena mengaplikasikan manhaj ini dalam kehidupan manusia merupakan amanah terbesar, sesudah amanah iman itu sendiri..Tidak ada satu individu atau kelompok pun yang terbebas dari beban amanah ini. Dari sini, “jihad itu terus berlangsung hingga hari Kiamat”, untuk menunaikan salah satu amanah..
Di antara amanah-amanah tersebut adalah amanah interaksi dengan sesama manusia dan mengembalikan amanah kepada mereka: amanah mu’amalah dan titipan materi, amanah nasihat kepada pemimpin dan rakyat, amanah membangun generasi, amanah memelihara kehormatan dan harta benda jama’ah, serta hal-hal yang dijadikan manhaj robbani sebagai kewajiban dan tugas dalam setiap ruang kehidupan secara keseluruhan..Inilah amanah-amanah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan, dan dikemukakan nash secara global tersebut.
Mengenai memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, nash menyebut keadilan yang menjangkau semua manusia, bukan keadilan di antara sesama orang Islam, dan bukan keadilan di antara sesama Ahli Kitab. Keadilan adalah hak setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai “manusia”. Label “manusia” inilah yang mengimplikasikan hak keadilan dalam manhaj Robbani, dan label inilah yang mempertemukan semua manusia: baik mukmin atau kafir, kawan atau lawan, hitam atau putih, Arab atau non-Arab.
Umat Islam berdiri membuat keputusan di antara manusia dengan adil—ketika ia memegang otoritas atas urusan mereka. Keadilan inilah yang belum pernah dikenal umat manusia sama sekali—dalam bentuknya yang demikian—kecuali di tangan Islam, kecuali dalam pemerintahan umat Islam, dan kecuali pada masa kepemimpinan Islam. Keadilan ini hilang sebelum dan sesudah kepemimpinan tersebut. Umat manusia sama sekali tidak merasakan keadilan dalam bentuk mulia seperti ini, yang diberikan kepada semua manusia karena mereka adalah “manusia”, bukan karena label tambahan lain di luar label yang menjadi milik bersama umat manusia ini!
Itulah dasar pemerintahan dalam Islam. Sebagaimana amanah—dengan setiap indikasinya—merupakan dasar kehidupan dalam masyarakat Islami.
Kepemimpinan dalam Alquran (2)
Allah meletakkan standar ini bagi manusia untuk amanah dan keadilan, untuk semua nilai, untuk semua keputusan, dan untuk semua bidang kegiatan, dalam setiap ranah kehidupan.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil ini dikomentari dengan peringatan bahwa perintah tersebut merupakan sebagian dari nasihat dan arahan Allah, dan betapa bagusnya apa yang dinasihatkan dan diinstruksikan Allah.
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Mari kita merenung sejak ungkapan ini dari sisi gaya bahasanya. Karena pada mulanya susunan kalimat ini berbunyi: innahu ni’ma ma ya’izhukumullahu bihi (sesungguhnya ia adalah sebaik-baik yang dinasihatkan Allah kepada kalian).
Tetapi, ungkapan ini mendahulukan lafzhul Jalalah, dengan menjadikannya sebagai isim (kata benda) bagi partikel inna, dan menempatkan lafazh ni’imma dan kata-kata yang terkait itu pada kedudukan khabar bagi inna sesudah khabar-nya dihilangkan..Hal itu untuk menginspirasikan kuatnya hubungan antara Allah Subhanah dengan apa yang dinasihatkan-Nya kepada mereka ini.
Kemudian, sebenarnya itu bukan “nasihat”, melainkan “perintah..” Tetapi ungkapan ini menyebutnya nasihat, karena nasihat itu lebih menyentuh hati, lebih cepat merasuk ke dalam emosi, dan lebih memotivasi untuk melaksanakannya secara suka rela dan rasa malu!
Kemudian hadirlah komentar terakhir dalam ayat, yaitu perintah untuk merasa diawasi Allah (muraqabah), takut dan berharap kepada-Nya.
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Korelasi antara tugas-tugas yang diperintahkan, yaitu menunaikan amanah dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, (korelasinya) dengan sifat Allah sebagai Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, merupakan korelasi yang jelas sekaligus halus: Allah mendengar dan melihat masalah-masalah keadilan dan amanah. Selain itu, keadilan perlu didengar, dilihat, dan dihargai dengan baik, perlu diperhatikan hal-hal yang melingkupinya dan fenomena-fenomenanya, dan perlu didalami apa ada di balik situasi dan kondisi serta fenomena-fenomenanya. Dan yang terakhir, perintah menyampaikan amanah dan berbuat adil itu bersumber dari Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat segala perkara.
Selanjutnya, apa tolok ukur amanah dan keadilan? Apa metode untuk mempersepsi, mendefinisikan, dan melaksanakannya? Apakah ia berlaku dalam setiap aspek dan aktivitas kehidupan?
Apakah kita menyerahkan konsep amanah dan keadilan, media-media implementasi dan realisasinya kepada kebiasaan dan terminologi masyarakat? Apakah kita menyerahkannya kepada keputusan akal mereka—atau selera mereka?
Sesungguhnya akal manusia itu memiliki kriteria dan nilai sendiri dalam kapasitasnya sebagai salah satu alat untuk mengetahui dan mencari petunjuk dalam diri manusia. Hal ini memang benar, tetapi akal manusia itu adalah akal individu-individu dan kelompok-kelompok dalam suatu lingkungan yang sangat terpengaruh dengan berbagai stimulasi..Tidak ada yang disebut “akal manusia” dalam arti yang mutlak! Yang ada adalah akalku, akalmu, akal fulan, dan akal sekumpulan manusia, di suatu ruang atau waktu..Semua ini terjadi di bawah beragam pengaruh, menyayun-ayun seperti pendulum..
Harus ada kriteria baku yang menjadi referensi akal yang banyak ini, sehingga akal-akal tersebut mengetahui sejauh mana salah dan benarnya keputusan dan persepsi akal, sejauh mana akal melampaui batas dan kurang dari batas dalam membuat keputusan dan persepsi tersebut. Nilai akal manusia di sini adalah sebagai piranti yang disiapkan bagi manusia untuk mengetahui kriteria keputusan-keputusannya dalam kriteria ini, yaitu kriteria baku yang tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak terpengaruh oleh berbagai stimulus.
Standar-standar yang diletakkan sendiri oleh manusia itu tidak berlaku. Karena terkadang ada cacat dalam standar-standar itu sendiri, sehingga semua nilai menjadi tumbang. Hal itu terjadi selama manusia tidak kembali kepada standar-standar yang baku dan lurus.
Allah meletakkan standar ini bagi manusia untuk amanah dan keadilan, untuk semua nilai, untuk semua keputusan, dan untuk semua bidang kegiatan, dalam setiap ranah kehidupan.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Di dalam nash yang pendek ini Allah Subhanah menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Pada waktu yang sama, Allah juga menjelaskan kaidah aturan pokok dalam jama’ah muslim, kaidah memerintah, dan sumber kekuasaan.
Seluruhnya berawal dan berakhir pada talaqqi (penerimaan titah) dari Allah semata, dan kembali kepada-Nya dalam hal-hal yang tidak diredaksikan-Nya, yaitu perkara-perkara parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia di sepanjang sejarah, yang diperselisihkan oleh berbagai akal, pendapat, dan faham. Semua itu agar ada tolok ukur baku yang menjadi referensi semua akal, pendapat, dan faham
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil ini dikomentari dengan peringatan bahwa perintah tersebut merupakan sebagian dari nasihat dan arahan Allah, dan betapa bagusnya apa yang dinasihatkan dan diinstruksikan Allah.
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Mari kita merenung sejak ungkapan ini dari sisi gaya bahasanya. Karena pada mulanya susunan kalimat ini berbunyi: innahu ni’ma ma ya’izhukumullahu bihi (sesungguhnya ia adalah sebaik-baik yang dinasihatkan Allah kepada kalian).
Tetapi, ungkapan ini mendahulukan lafzhul Jalalah, dengan menjadikannya sebagai isim (kata benda) bagi partikel inna, dan menempatkan lafazh ni’imma dan kata-kata yang terkait itu pada kedudukan khabar bagi inna sesudah khabar-nya dihilangkan..Hal itu untuk menginspirasikan kuatnya hubungan antara Allah Subhanah dengan apa yang dinasihatkan-Nya kepada mereka ini.
Kemudian, sebenarnya itu bukan “nasihat”, melainkan “perintah..” Tetapi ungkapan ini menyebutnya nasihat, karena nasihat itu lebih menyentuh hati, lebih cepat merasuk ke dalam emosi, dan lebih memotivasi untuk melaksanakannya secara suka rela dan rasa malu!
Kemudian hadirlah komentar terakhir dalam ayat, yaitu perintah untuk merasa diawasi Allah (muraqabah), takut dan berharap kepada-Nya.
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Korelasi antara tugas-tugas yang diperintahkan, yaitu menunaikan amanah dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, (korelasinya) dengan sifat Allah sebagai Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, merupakan korelasi yang jelas sekaligus halus: Allah mendengar dan melihat masalah-masalah keadilan dan amanah. Selain itu, keadilan perlu didengar, dilihat, dan dihargai dengan baik, perlu diperhatikan hal-hal yang melingkupinya dan fenomena-fenomenanya, dan perlu didalami apa ada di balik situasi dan kondisi serta fenomena-fenomenanya. Dan yang terakhir, perintah menyampaikan amanah dan berbuat adil itu bersumber dari Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat segala perkara.
Selanjutnya, apa tolok ukur amanah dan keadilan? Apa metode untuk mempersepsi, mendefinisikan, dan melaksanakannya? Apakah ia berlaku dalam setiap aspek dan aktivitas kehidupan?
Apakah kita menyerahkan konsep amanah dan keadilan, media-media implementasi dan realisasinya kepada kebiasaan dan terminologi masyarakat? Apakah kita menyerahkannya kepada keputusan akal mereka—atau selera mereka?
Sesungguhnya akal manusia itu memiliki kriteria dan nilai sendiri dalam kapasitasnya sebagai salah satu alat untuk mengetahui dan mencari petunjuk dalam diri manusia. Hal ini memang benar, tetapi akal manusia itu adalah akal individu-individu dan kelompok-kelompok dalam suatu lingkungan yang sangat terpengaruh dengan berbagai stimulasi..Tidak ada yang disebut “akal manusia” dalam arti yang mutlak! Yang ada adalah akalku, akalmu, akal fulan, dan akal sekumpulan manusia, di suatu ruang atau waktu..Semua ini terjadi di bawah beragam pengaruh, menyayun-ayun seperti pendulum..
Harus ada kriteria baku yang menjadi referensi akal yang banyak ini, sehingga akal-akal tersebut mengetahui sejauh mana salah dan benarnya keputusan dan persepsi akal, sejauh mana akal melampaui batas dan kurang dari batas dalam membuat keputusan dan persepsi tersebut. Nilai akal manusia di sini adalah sebagai piranti yang disiapkan bagi manusia untuk mengetahui kriteria keputusan-keputusannya dalam kriteria ini, yaitu kriteria baku yang tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak terpengaruh oleh berbagai stimulus.
Standar-standar yang diletakkan sendiri oleh manusia itu tidak berlaku. Karena terkadang ada cacat dalam standar-standar itu sendiri, sehingga semua nilai menjadi tumbang. Hal itu terjadi selama manusia tidak kembali kepada standar-standar yang baku dan lurus.
Allah meletakkan standar ini bagi manusia untuk amanah dan keadilan, untuk semua nilai, untuk semua keputusan, dan untuk semua bidang kegiatan, dalam setiap ranah kehidupan.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Di dalam nash yang pendek ini Allah Subhanah menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Pada waktu yang sama, Allah juga menjelaskan kaidah aturan pokok dalam jama’ah muslim, kaidah memerintah, dan sumber kekuasaan.
Seluruhnya berawal dan berakhir pada talaqqi (penerimaan titah) dari Allah semata, dan kembali kepada-Nya dalam hal-hal yang tidak diredaksikan-Nya, yaitu perkara-perkara parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia di sepanjang sejarah, yang diperselisihkan oleh berbagai akal, pendapat, dan faham. Semua itu agar ada tolok ukur baku yang menjadi referensi semua akal, pendapat, dan faham
Kepemimpinan dalam Alquran (3)
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Sesungguhnya hakimiyyah (otoritas legislasi) dalam kehidupan manusia itu milik Allah semata, baik kecil atau besar. Allah telah menetapkan aturan di dalam al-Qur’an, dan mengutus Rasul untuk menjelaskannya kepada manusia. Beliau tidak berbicara menurut inisiatif dirinya, karena Sunnah beliau merupakan ketetapan dari Allah.
Allah wajib ditaati. Di antara karakteristik uluhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat. Jadi, syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib menaati Allah secara primordial, dan menaati Rasulullah lantaran sifat yang dimilikinya ini. Yaitu sifat kerasulan dari Allah. Jadi, taat kepada Rasulullah merupakan bagian dari taat kepada Allah yang mengutusnya untuk membawa syari’at ini dan menjelaskannya kepada manusia dalam Sunnahnya. Sunnah dan keputusan Rasulullah—dengan demikian—merupakan bagian dari syari’at yang wajib dilaksanakan. Ada dan tiadanya iman itu tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syari’at, sesuai nash al-Qur’an:
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun Ulul Amr (pemegang otoritas), nash mendefinisikan siapa mereka. “Dan ulil amri di antara kamu..”
Maksudnya di antara orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat ini. Yaitu menaati Allah dan menaati Rasulullah, memonopolikan Allah sebagai pemilik hakimiyyah dan hak membuat aturan bagi manusia secara primordial, menerima perintah dari-Nya saja, dan kembali kepada-Nya dalam perkara-perkara yang diperselisihkan akal, faham, dan pendapat yang tidak ada teksnya, untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari nash.
Nash menganggap ketaatan kepada Allah sebagai basis, dan begitu juga ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan nash menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri di antara kalian itu sebagai subordinan terhadap ketaatan kepada Allah dan ketatan kepada Rasul-Nya. Di sini nash tidak mengulang kata taat saat menyebut mereka, sebagaimana nash mengulangnya saat menyebut Rasul saw. Hal itu untuk menetapkan bahwa ketaatan terhadap mereka itu bersumber dari ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya, sesudah menetapkan bahwa Ulil Amri itu berasal dari kalangan kalian, yaitu dengan batasan dan syarat iman.
Taat kepada Ulil Amri di antara kalian itu diperintahkan sesudah ketetapan-ketetapan ini, dalam batas-batas perkara yang ma’ruf dan disyari’atkan, tidak diredaksikan keharamannya, dan tidak termasuk diharamkan ketika dikembalikan kepada prinsip-prinsip syari’at—pada waktu diperselisihkan. Sunnah telah menetapkan batasan-batasan ketaatan terhadap Ulil Amri secara tegas dan pasti.
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Muslim meriwayatkan dari Ummu Hushain, “Seandainya seorang budak diangkat menjadi pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian berdasarkan Kitab Allah, maka dengarlah dan taatilah dia.”
Dengan demikian, Islam menjadikan setiap individu sebagai pembawa amanah atas syari’at Allah dan Sunnah Rasul-Nya, pembawa amanah atas iman dan agamanya, pembawa amanah atas diri dan akalnya, dan pembawa amanah atas masa depannya di dunia dan akhirat. Islam tidak menganggap manusia sebagai gembala di ladang ternak, yang dihalau kesana kemari, lalu mereka mendengar dan taat! Karena manhajnya jelas, dan batasan-batasan taat juga jelas. Syari’at yang ditaati dan Sunnah yang diikuti itu satu, tidak berbilang, tidak terpecah belah, dan tidak mengombang-ambingkan individu di antara berbagai dugaan!
Semua ketentuan itu berlaku dalam hal yang ada nash eksplisitnya. Mengenai hal yang tidak ada nashnya, dan mengenai berbagai problematika dan perkara yang terjadi sering zaman, perkembangan kebutuhan, dan lingkungan yang berbeda-beda, sementara tidak ada nash yang pasti, atau tidak ada nash tentangnya sama sekali..padahal akal, pendapat, dan pemahaman berbeda dalam menilainya..mengenai semua ini, Allah juga tidak membiarkan manusia dalam keadaan bingung tanpa timbangan, dan tidak membiarkan mereka tanpa manhaj untuk membuat aturan dan hukum cabang. Allah menjadikan nash yang pendek ini sebagai manhaj dalam ijtihad seluruhnya, dan menetapkan batasan-batasannya. Allah telah mendirikan “pokok” yang mengatur manhaj ijtihad.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)..”
Kembalikanlah kepada nash-nash yang secara dengannya secara implisit. Jika tidak ada nash-nash yang sesuai sedemikian rupa, maka kembalikanlah masalah itu kepada prinsip-prinsip universal umum dalam manhaj dan syari’at Allah. Ini bukan sesuatu yang mengapung, bukan kekacauan, dan bukan termasuk terra incognita dimana akal tersesat di dalamnya, seperti yang coba dikatakan oleh sebagian penipu. Di dalam agama terdapat prinsip-prinsip dasar yang jelas sejelas-jelasnya. Ia meng-cover seluruh aspek pokok kehidupan, dan meletakkan satu pagar yang mudah ditembus hati seorang muslim yang terbentuk oleh timbangan agama ini.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Sesungguhnya hakimiyyah (otoritas legislasi) dalam kehidupan manusia itu milik Allah semata, baik kecil atau besar. Allah telah menetapkan aturan di dalam al-Qur’an, dan mengutus Rasul untuk menjelaskannya kepada manusia. Beliau tidak berbicara menurut inisiatif dirinya, karena Sunnah beliau merupakan ketetapan dari Allah.
Allah wajib ditaati. Di antara karakteristik uluhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat. Jadi, syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib menaati Allah secara primordial, dan menaati Rasulullah lantaran sifat yang dimilikinya ini. Yaitu sifat kerasulan dari Allah. Jadi, taat kepada Rasulullah merupakan bagian dari taat kepada Allah yang mengutusnya untuk membawa syari’at ini dan menjelaskannya kepada manusia dalam Sunnahnya. Sunnah dan keputusan Rasulullah—dengan demikian—merupakan bagian dari syari’at yang wajib dilaksanakan. Ada dan tiadanya iman itu tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syari’at, sesuai nash al-Qur’an:
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun Ulul Amr (pemegang otoritas), nash mendefinisikan siapa mereka. “Dan ulil amri di antara kamu..”
Maksudnya di antara orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat ini. Yaitu menaati Allah dan menaati Rasulullah, memonopolikan Allah sebagai pemilik hakimiyyah dan hak membuat aturan bagi manusia secara primordial, menerima perintah dari-Nya saja, dan kembali kepada-Nya dalam perkara-perkara yang diperselisihkan akal, faham, dan pendapat yang tidak ada teksnya, untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari nash.
Nash menganggap ketaatan kepada Allah sebagai basis, dan begitu juga ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan nash menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri di antara kalian itu sebagai subordinan terhadap ketaatan kepada Allah dan ketatan kepada Rasul-Nya. Di sini nash tidak mengulang kata taat saat menyebut mereka, sebagaimana nash mengulangnya saat menyebut Rasul saw. Hal itu untuk menetapkan bahwa ketaatan terhadap mereka itu bersumber dari ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya, sesudah menetapkan bahwa Ulil Amri itu berasal dari kalangan kalian, yaitu dengan batasan dan syarat iman.
Taat kepada Ulil Amri di antara kalian itu diperintahkan sesudah ketetapan-ketetapan ini, dalam batas-batas perkara yang ma’ruf dan disyari’atkan, tidak diredaksikan keharamannya, dan tidak termasuk diharamkan ketika dikembalikan kepada prinsip-prinsip syari’at—pada waktu diperselisihkan. Sunnah telah menetapkan batasan-batasan ketaatan terhadap Ulil Amri secara tegas dan pasti.
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Muslim meriwayatkan dari Ummu Hushain, “Seandainya seorang budak diangkat menjadi pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian berdasarkan Kitab Allah, maka dengarlah dan taatilah dia.”
Dengan demikian, Islam menjadikan setiap individu sebagai pembawa amanah atas syari’at Allah dan Sunnah Rasul-Nya, pembawa amanah atas iman dan agamanya, pembawa amanah atas diri dan akalnya, dan pembawa amanah atas masa depannya di dunia dan akhirat. Islam tidak menganggap manusia sebagai gembala di ladang ternak, yang dihalau kesana kemari, lalu mereka mendengar dan taat! Karena manhajnya jelas, dan batasan-batasan taat juga jelas. Syari’at yang ditaati dan Sunnah yang diikuti itu satu, tidak berbilang, tidak terpecah belah, dan tidak mengombang-ambingkan individu di antara berbagai dugaan!
Semua ketentuan itu berlaku dalam hal yang ada nash eksplisitnya. Mengenai hal yang tidak ada nashnya, dan mengenai berbagai problematika dan perkara yang terjadi sering zaman, perkembangan kebutuhan, dan lingkungan yang berbeda-beda, sementara tidak ada nash yang pasti, atau tidak ada nash tentangnya sama sekali..padahal akal, pendapat, dan pemahaman berbeda dalam menilainya..mengenai semua ini, Allah juga tidak membiarkan manusia dalam keadaan bingung tanpa timbangan, dan tidak membiarkan mereka tanpa manhaj untuk membuat aturan dan hukum cabang. Allah menjadikan nash yang pendek ini sebagai manhaj dalam ijtihad seluruhnya, dan menetapkan batasan-batasannya. Allah telah mendirikan “pokok” yang mengatur manhaj ijtihad.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)..”
Kembalikanlah kepada nash-nash yang secara dengannya secara implisit. Jika tidak ada nash-nash yang sesuai sedemikian rupa, maka kembalikanlah masalah itu kepada prinsip-prinsip universal umum dalam manhaj dan syari’at Allah. Ini bukan sesuatu yang mengapung, bukan kekacauan, dan bukan termasuk terra incognita dimana akal tersesat di dalamnya, seperti yang coba dikatakan oleh sebagian penipu. Di dalam agama terdapat prinsip-prinsip dasar yang jelas sejelas-jelasnya. Ia meng-cover seluruh aspek pokok kehidupan, dan meletakkan satu pagar yang mudah ditembus hati seorang muslim yang terbentuk oleh timbangan agama ini.
Kepemimpinan dalam Alquran (3)
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Sesungguhnya hakimiyyah (otoritas legislasi) dalam kehidupan manusia itu milik Allah semata, baik kecil atau besar. Allah telah menetapkan aturan di dalam al-Qur’an, dan mengutus Rasul untuk menjelaskannya kepada manusia. Beliau tidak berbicara menurut inisiatif dirinya, karena Sunnah beliau merupakan ketetapan dari Allah.
Allah wajib ditaati. Di antara karakteristik uluhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat. Jadi, syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib menaati Allah secara primordial, dan menaati Rasulullah lantaran sifat yang dimilikinya ini. Yaitu sifat kerasulan dari Allah. Jadi, taat kepada Rasulullah merupakan bagian dari taat kepada Allah yang mengutusnya untuk membawa syari’at ini dan menjelaskannya kepada manusia dalam Sunnahnya. Sunnah dan keputusan Rasulullah—dengan demikian—merupakan bagian dari syari’at yang wajib dilaksanakan. Ada dan tiadanya iman itu tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syari’at, sesuai nash al-Qur’an:
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun Ulul Amr (pemegang otoritas), nash mendefinisikan siapa mereka. “Dan ulil amri di antara kamu..”
Maksudnya di antara orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat ini. Yaitu menaati Allah dan menaati Rasulullah, memonopolikan Allah sebagai pemilik hakimiyyah dan hak membuat aturan bagi manusia secara primordial, menerima perintah dari-Nya saja, dan kembali kepada-Nya dalam perkara-perkara yang diperselisihkan akal, faham, dan pendapat yang tidak ada teksnya, untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari nash.
Nash menganggap ketaatan kepada Allah sebagai basis, dan begitu juga ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan nash menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri di antara kalian itu sebagai subordinan terhadap ketaatan kepada Allah dan ketatan kepada Rasul-Nya. Di sini nash tidak mengulang kata taat saat menyebut mereka, sebagaimana nash mengulangnya saat menyebut Rasul saw. Hal itu untuk menetapkan bahwa ketaatan terhadap mereka itu bersumber dari ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya, sesudah menetapkan bahwa Ulil Amri itu berasal dari kalangan kalian, yaitu dengan batasan dan syarat iman.
Taat kepada Ulil Amri di antara kalian itu diperintahkan sesudah ketetapan-ketetapan ini, dalam batas-batas perkara yang ma’ruf dan disyari’atkan, tidak diredaksikan keharamannya, dan tidak termasuk diharamkan ketika dikembalikan kepada prinsip-prinsip syari’at—pada waktu diperselisihkan. Sunnah telah menetapkan batasan-batasan ketaatan terhadap Ulil Amri secara tegas dan pasti.
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Muslim meriwayatkan dari Ummu Hushain, “Seandainya seorang budak diangkat menjadi pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian berdasarkan Kitab Allah, maka dengarlah dan taatilah dia.”
Dengan demikian, Islam menjadikan setiap individu sebagai pembawa amanah atas syari’at Allah dan Sunnah Rasul-Nya, pembawa amanah atas iman dan agamanya, pembawa amanah atas diri dan akalnya, dan pembawa amanah atas masa depannya di dunia dan akhirat. Islam tidak menganggap manusia sebagai gembala di ladang ternak, yang dihalau kesana kemari, lalu mereka mendengar dan taat! Karena manhajnya jelas, dan batasan-batasan taat juga jelas. Syari’at yang ditaati dan Sunnah yang diikuti itu satu, tidak berbilang, tidak terpecah belah, dan tidak mengombang-ambingkan individu di antara berbagai dugaan!
Semua ketentuan itu berlaku dalam hal yang ada nash eksplisitnya. Mengenai hal yang tidak ada nashnya, dan mengenai berbagai problematika dan perkara yang terjadi sering zaman, perkembangan kebutuhan, dan lingkungan yang berbeda-beda, sementara tidak ada nash yang pasti, atau tidak ada nash tentangnya sama sekali..padahal akal, pendapat, dan pemahaman berbeda dalam menilainya..mengenai semua ini, Allah juga tidak membiarkan manusia dalam keadaan bingung tanpa timbangan, dan tidak membiarkan mereka tanpa manhaj untuk membuat aturan dan hukum cabang. Allah menjadikan nash yang pendek ini sebagai manhaj dalam ijtihad seluruhnya, dan menetapkan batasan-batasannya. Allah telah mendirikan “pokok” yang mengatur manhaj ijtihad.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)..”
Kembalikanlah kepada nash-nash yang secara dengannya secara implisit. Jika tidak ada nash-nash yang sesuai sedemikian rupa, maka kembalikanlah masalah itu kepada prinsip-prinsip universal umum dalam manhaj dan syari’at Allah. Ini bukan sesuatu yang mengapung, bukan kekacauan, dan bukan termasuk terra incognita dimana akal tersesat di dalamnya, seperti yang coba dikatakan oleh sebagian penipu. Di dalam agama terdapat prinsip-prinsip dasar yang jelas sejelas-jelasnya. Ia meng-cover seluruh aspek pokok kehidupan, dan meletakkan satu pagar yang mudah ditembus hati seorang muslim yang terbentuk oleh timbangan agama ini.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Sesungguhnya hakimiyyah (otoritas legislasi) dalam kehidupan manusia itu milik Allah semata, baik kecil atau besar. Allah telah menetapkan aturan di dalam al-Qur’an, dan mengutus Rasul untuk menjelaskannya kepada manusia. Beliau tidak berbicara menurut inisiatif dirinya, karena Sunnah beliau merupakan ketetapan dari Allah.
Allah wajib ditaati. Di antara karakteristik uluhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat. Jadi, syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib menaati Allah secara primordial, dan menaati Rasulullah lantaran sifat yang dimilikinya ini. Yaitu sifat kerasulan dari Allah. Jadi, taat kepada Rasulullah merupakan bagian dari taat kepada Allah yang mengutusnya untuk membawa syari’at ini dan menjelaskannya kepada manusia dalam Sunnahnya. Sunnah dan keputusan Rasulullah—dengan demikian—merupakan bagian dari syari’at yang wajib dilaksanakan. Ada dan tiadanya iman itu tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syari’at, sesuai nash al-Qur’an:
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun Ulul Amr (pemegang otoritas), nash mendefinisikan siapa mereka. “Dan ulil amri di antara kamu..”
Maksudnya di antara orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat ini. Yaitu menaati Allah dan menaati Rasulullah, memonopolikan Allah sebagai pemilik hakimiyyah dan hak membuat aturan bagi manusia secara primordial, menerima perintah dari-Nya saja, dan kembali kepada-Nya dalam perkara-perkara yang diperselisihkan akal, faham, dan pendapat yang tidak ada teksnya, untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari nash.
Nash menganggap ketaatan kepada Allah sebagai basis, dan begitu juga ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan nash menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri di antara kalian itu sebagai subordinan terhadap ketaatan kepada Allah dan ketatan kepada Rasul-Nya. Di sini nash tidak mengulang kata taat saat menyebut mereka, sebagaimana nash mengulangnya saat menyebut Rasul saw. Hal itu untuk menetapkan bahwa ketaatan terhadap mereka itu bersumber dari ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya, sesudah menetapkan bahwa Ulil Amri itu berasal dari kalangan kalian, yaitu dengan batasan dan syarat iman.
Taat kepada Ulil Amri di antara kalian itu diperintahkan sesudah ketetapan-ketetapan ini, dalam batas-batas perkara yang ma’ruf dan disyari’atkan, tidak diredaksikan keharamannya, dan tidak termasuk diharamkan ketika dikembalikan kepada prinsip-prinsip syari’at—pada waktu diperselisihkan. Sunnah telah menetapkan batasan-batasan ketaatan terhadap Ulil Amri secara tegas dan pasti.
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Muslim meriwayatkan dari Ummu Hushain, “Seandainya seorang budak diangkat menjadi pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian berdasarkan Kitab Allah, maka dengarlah dan taatilah dia.”
Dengan demikian, Islam menjadikan setiap individu sebagai pembawa amanah atas syari’at Allah dan Sunnah Rasul-Nya, pembawa amanah atas iman dan agamanya, pembawa amanah atas diri dan akalnya, dan pembawa amanah atas masa depannya di dunia dan akhirat. Islam tidak menganggap manusia sebagai gembala di ladang ternak, yang dihalau kesana kemari, lalu mereka mendengar dan taat! Karena manhajnya jelas, dan batasan-batasan taat juga jelas. Syari’at yang ditaati dan Sunnah yang diikuti itu satu, tidak berbilang, tidak terpecah belah, dan tidak mengombang-ambingkan individu di antara berbagai dugaan!
Semua ketentuan itu berlaku dalam hal yang ada nash eksplisitnya. Mengenai hal yang tidak ada nashnya, dan mengenai berbagai problematika dan perkara yang terjadi sering zaman, perkembangan kebutuhan, dan lingkungan yang berbeda-beda, sementara tidak ada nash yang pasti, atau tidak ada nash tentangnya sama sekali..padahal akal, pendapat, dan pemahaman berbeda dalam menilainya..mengenai semua ini, Allah juga tidak membiarkan manusia dalam keadaan bingung tanpa timbangan, dan tidak membiarkan mereka tanpa manhaj untuk membuat aturan dan hukum cabang. Allah menjadikan nash yang pendek ini sebagai manhaj dalam ijtihad seluruhnya, dan menetapkan batasan-batasannya. Allah telah mendirikan “pokok” yang mengatur manhaj ijtihad.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)..”
Kembalikanlah kepada nash-nash yang secara dengannya secara implisit. Jika tidak ada nash-nash yang sesuai sedemikian rupa, maka kembalikanlah masalah itu kepada prinsip-prinsip universal umum dalam manhaj dan syari’at Allah. Ini bukan sesuatu yang mengapung, bukan kekacauan, dan bukan termasuk terra incognita dimana akal tersesat di dalamnya, seperti yang coba dikatakan oleh sebagian penipu. Di dalam agama terdapat prinsip-prinsip dasar yang jelas sejelas-jelasnya. Ia meng-cover seluruh aspek pokok kehidupan, dan meletakkan satu pagar yang mudah ditembus hati seorang muslim yang terbentuk oleh timbangan agama ini.
Hubbud-dunya adalah Akar Korupsi
Kita semua sudah anti korupsi, kecuali para koruptor itu sendiri. Kemudian, ada juga banyak orang yang ingin memecahkan problem korupsi, sepertinya berputar-putar di situ saja. Kyai-kyai yang diharapkan menjadi pewaris nabi dengan kepahamannya atas segala macam, ternyata juga banyak yang belum paham.
Apakah problem korupsi seolah lingkaran setan? Dari mana? Kenapa ada masalah korupsi, nepotisme, dst? Saya berpikir bahwa korupsi dan saudara-saudaranya itu jelas ada asal muasalnya. Menurut saya sumbernya adalah dunia itu sendiri. Kita sebenarnya sudah hafal dengan maqalah bahwa:
حُبُ الدُّنْيَا رَآْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka
Sayangnya, justru seringkali tanpa sadar kita amalkan juga. Nah, saya sangat percaya bahwa sumber malapetaka di negeri ini bermuara kepada cinta dunia yang belebihan, termasuk dalam soal korupsi ini. Jadi, kalau zaman Bung Karno panglimanya politik, zaman Pak Harto panglimanya politik ekonomi, zaman sekarang panglimanya kepentingan; kepentingan duniawi. Ada orang berkelahi, coba cari sumbernya, tentu kepentingan. Orang Islam dengan orang Islam berkelahi, orang NU dengan orang NU berkelahi, itu tidak mungkin berebut surga, tapi sumbernya adalah kepentingan.
Kita semua, dari kyai-kyai pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya sekedar wasilah, bukan ghayah (tujuan). Bahwa hidup di dunia ini ibarat sekedar mampir minum. Tapi negara yang membangun ekonomi sejak Suharto ini meniru negara barat yang berorientasi dunia (material). Akhirnya masyarakatnya juga sama dengan masyarakat sana. Kalau sudah segalanya dunia, al Quran dibaca beribu kali itu tidak akan berpengaruh, apalagi al Quran hanya dagingnya saja (dipahami simbolik saja). Dzikir atau istighatsah tidak akan ada gunanya, kalau Cuma daging saja. Sama dengan dzikirnya Inul, daging saja. Karena itu, seperti apa yang saya katakan, bahwa sumber dari segala sumber itu adalah konsep dunianya kita sudah berubah jauh. Di bawah sadar, diam-diam kita sudah tidak lagi menganggap dunia sebagai perantara/wasilah, tetapi sebagai tujuan. Jadi, karena orientasi inilah korupsi terjadi. Karena itu, kalau ada kesempatan, walaupun tidak ada niat, tidak akan terjadi, dan niat ini, melalui orientasi niat dia semata terhadap dunia.
Orientasi dunia ini dipertebal dengan orientasi yang begitu simbolik atas keberagaman kita. Terlihat situasi sekarang yang berkembang adalah bahwa kita beragama lebih bersifat simbolik, atau tidak substansial. Bahasa saya simbolik itu saya katakan ‘daging’. Negeri kita Indonesia ini, mungkin sudah dapat dikatakan sebagai ‘negeri daging’. Dan akhir-akhir ini, simbol daging yang paling daging pernah terjadi pada rebut-ribut fenomena Inul. Karena itu, lukisan yang saya buat menanggapi fenomena itu, saya beri judul "Dzikir bersama Inul". Semua ini bagian kecil saja dari hal yang meliputi problem kita tentang korupsi.
Tampaknya, keberagaman kita sudah jatuh pada yang sifatnya daging-daging saja. Saat ini, saya kira kita menyaksikan orang jihad fi sabilillah untuk mengegolkan pelajaran agama dimasukkan dalam sekolah-sekolah formal, mulai TK sampai perguruan tinggi. Tetapi, mereka sama sekali tidak melihat pelajarannya itu seperti apa. Padahal, ujiannya hanya seperti berapakah rukun shalat? Kalau jawaban angkanya benar, lulus begitu saja, entah soal paham makna shalat atau tidak, tidak menjadi masalah. Jadi, daging semua. Sekarang ini, substansial/ruh itu sudah semakin jauh, karena kita sudah ke daging dan daging. Jadi, kalau kita ingin mengembangkan gerakan anti korupsi, kita tidak boleh terjebak pada gerakan anti korupsi yang sifatnya ‘daging’nya saja. Sejak awal, kita juga harus mulai melihat dari akarnya, hingga menghentikan korupsi waktu dan lain sebagainya.
Melihat kondisi yang sudah carut marut demikian, seringkali karenanya saya menaruh harapan pada yang muda. Memang, harapan saya tinggal anak-anak muda dan kyai-kyai yang muda juga. Kenapa demikian? Karena, seperti yang sudah saya sebut di atas, banyak yang tua-tua itu, selam 30 tahun ini dididik dan terdidik dengan kecintaan dunia yang mungkin sebagian besar juga mengambil keteladanan Pak Harto. Kita ini sudah jauh dari nilai-nilai kita sendiri. Bagaimana kita mau melawan kebusukan-kebusukan dan semua yang korup, kalau kita sendiri tidak tahu bahwa kita ini busuk atau tidak? Jadi, harapan memang pada yang muda. Karena, yang muda-muda ini relatif belum tercemari model pendidikan hubb al dunya itu dan masih dapat menjaga diri mereka. Merekalah kini memang yang mengerti ‘aturan’ itu, juga yang sebenarnya paham al Quran, seperti telah saya katakan tadi. Selain modal sikap ‘tidak serba dunia’ ini, penting pula mereka yang muda ini paham juga masalahnya, asal-usul korupsi itu apa, dan kalau kita mau melawan dengan model seperti apa.
Dari kalangan NU kultural telah muncul gagasan, bahwa Bahtsul Masail pun bisa kita jadikan sarana untuk berjuang mengingatkan atau (bahkan) mem-pressure orang. Malah Musyawarah Nasional Ulama NU sendiri telah mengeluarkan suatu keputusan mengenai koruptor mati tidak dishalati, yang bisa menjadi awalan sanksi sosial yang berani untuk membangun gerakan anti korupsi dari masyarakat atau rakyat yang selama ini paling banyak dirugikan tindak korupsi tersebut. Nah, di sini kita masih punya optimisme, bahwa mereka dapat mengurangi dan mencegah kecarutmarutan, termasuk yang sangat merusak bangsa seperti korupsi ini.
Saya tadi sudah menyampaikan, sumber korupsi yang paling utama adalah dunia ini. Kita semua, dari kyai-kyai pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya wasilah, bukan ghayah. Kemudian dari pemahaman ini tergantung kitanya sendiri. Mereka yang di pemerintahan siap menerima masukan, kalau kita tidak siap menyampaikan apa-apa, ya tetap saja seperti itu. Sekarang ini kesempatan, NU/kyai sedang jadi primadona lagi di Indonesia ini. Tapi sekali lagi, karena kita juga murid-murid perdagingan itu semua, kyai-kyai sekarang ini mikirnya calon presiden, pilkada dan yang sebangsa itu. Dukungan ini, itu, gitu thok. Itukan sama dengan orang bilang Allahu Akbar di jalan-jalan yang hanya gembar gembor daging.
Nah, saya mengharapkan supaya kyai-kyai muda ini tidak menduplikat model sebagian kyai-kyai lama yang sudah merasa puas dengan apa yang disebut yang simbolik tadi. Kita mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan hanya memandaikan masyarakat, tetapi juga menyejahterakan, membikin maslahah bagi masyarakat. Kalau masyarakat ini kacau, karena adanya mereka yang korup-korup, bagaimana kita menolong masyarakat itu, dengan memperbaiki yang korup-korup. Dengan kata yang lebih singkat, kita harus menyadari bahwa tanggung jawab kita itu seberapa besar. Apakah tanggung jawab kyai itu hanya di pesantrer saja ataukah ingin lebih dari itu? Sekarang yang diwarisi itu siapa? Kalau yang diwarisi itu Nabi Muhammad SAW, kita tahu, selain dia nabi juga rasul. Jadi yang diwariskan adalah nubuwwah dan risalah. Bahkan, kyai-kyai telah melaksanakan yang nubuwwah itu, tapi yang risalah sudah diwarisi atau belum? Istilah saya, ada kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Ternyata yang sosial itu sudah jarang disentuh. Kita perlu memikirkan bagaimana keagamaan kita hingga persoalan sosial ini dapat dimengerti akar, daging dan juga kulitnya. Sementara ini, di kalangan NU cultural mulai berkembang, misalnya bagaimana bisa ada fiqh tembakau, dulu ada fiqh tanah, nanti ada fiqh tebu. Tujuan berbagai macam fiqh itu, bukan hanya membahas masalahnya, tetapi ada ikut-ikutannya, ada tindak lanjut dan rekomendasi dari Bahtsul Masail itu. Ini tidak bisa dilakukan, kecuali kita memahami sejauh mana tanggung jawab kita yang sebenarnya. Di sini, kata orang Jakarta, kita perlu paradigma keagamaan yang bisa membangun pemberdayaan rakyat yang terpinggirkan. Atau istilah tadi, selain kesalehan ritual, kita perlu sekali membangun kesalehan sosial.
Jadi, saya menaruh harapan bahwa reformasi di Indonesia (termasuk terhadap korupsi yang besar) tidak bisa dilakukan, kalau tidak ada reformasi keberagamaan. Reformasi keberagamaan juga tidak bisa diharapkan, kecuali melalui kyai-kyai dan santri-santri yang masih segar dan jernih, yang belum terkontaminasi budaya berorientasi dunia itu. Tapi, kita juga perlu peta perhatian kyai itu apa saja dan apa yang kita bisa lakukan. Ini semua harus kita pahami. Kalau tidak kita akan menambah jumlah orang yang antikorupsi, tetapi tidak menyelesaikan apa-apa. Anti-anti tok! Sekali lagi, saya mengharapkan kaum muda untuk betul-betul peduli secara menyeluruh terhadap persoalan-persoalan yang kita hadapi, terutama terkait korupsi. Kemudian, keluarkan perbendaharaan Anda mengenai pedoman-pedoman peraturan keagamaan yang sudah Anda kuasai, bagaimana kita menyiasati itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sudah Anda ketahui itu. Dengan demikian, Anda akan memberikan sumbangan yang luar biasa dan tidak hanya ilmiah saja, tetapi (lebih dari itu) juga sebagai sumbangsih pengkhidmatan kepada masyarakat.
KHA. Mustofa Bisri
Apakah problem korupsi seolah lingkaran setan? Dari mana? Kenapa ada masalah korupsi, nepotisme, dst? Saya berpikir bahwa korupsi dan saudara-saudaranya itu jelas ada asal muasalnya. Menurut saya sumbernya adalah dunia itu sendiri. Kita sebenarnya sudah hafal dengan maqalah bahwa:
حُبُ الدُّنْيَا رَآْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka
Sayangnya, justru seringkali tanpa sadar kita amalkan juga. Nah, saya sangat percaya bahwa sumber malapetaka di negeri ini bermuara kepada cinta dunia yang belebihan, termasuk dalam soal korupsi ini. Jadi, kalau zaman Bung Karno panglimanya politik, zaman Pak Harto panglimanya politik ekonomi, zaman sekarang panglimanya kepentingan; kepentingan duniawi. Ada orang berkelahi, coba cari sumbernya, tentu kepentingan. Orang Islam dengan orang Islam berkelahi, orang NU dengan orang NU berkelahi, itu tidak mungkin berebut surga, tapi sumbernya adalah kepentingan.
Kita semua, dari kyai-kyai pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya sekedar wasilah, bukan ghayah (tujuan). Bahwa hidup di dunia ini ibarat sekedar mampir minum. Tapi negara yang membangun ekonomi sejak Suharto ini meniru negara barat yang berorientasi dunia (material). Akhirnya masyarakatnya juga sama dengan masyarakat sana. Kalau sudah segalanya dunia, al Quran dibaca beribu kali itu tidak akan berpengaruh, apalagi al Quran hanya dagingnya saja (dipahami simbolik saja). Dzikir atau istighatsah tidak akan ada gunanya, kalau Cuma daging saja. Sama dengan dzikirnya Inul, daging saja. Karena itu, seperti apa yang saya katakan, bahwa sumber dari segala sumber itu adalah konsep dunianya kita sudah berubah jauh. Di bawah sadar, diam-diam kita sudah tidak lagi menganggap dunia sebagai perantara/wasilah, tetapi sebagai tujuan. Jadi, karena orientasi inilah korupsi terjadi. Karena itu, kalau ada kesempatan, walaupun tidak ada niat, tidak akan terjadi, dan niat ini, melalui orientasi niat dia semata terhadap dunia.
Orientasi dunia ini dipertebal dengan orientasi yang begitu simbolik atas keberagaman kita. Terlihat situasi sekarang yang berkembang adalah bahwa kita beragama lebih bersifat simbolik, atau tidak substansial. Bahasa saya simbolik itu saya katakan ‘daging’. Negeri kita Indonesia ini, mungkin sudah dapat dikatakan sebagai ‘negeri daging’. Dan akhir-akhir ini, simbol daging yang paling daging pernah terjadi pada rebut-ribut fenomena Inul. Karena itu, lukisan yang saya buat menanggapi fenomena itu, saya beri judul "Dzikir bersama Inul". Semua ini bagian kecil saja dari hal yang meliputi problem kita tentang korupsi.
Tampaknya, keberagaman kita sudah jatuh pada yang sifatnya daging-daging saja. Saat ini, saya kira kita menyaksikan orang jihad fi sabilillah untuk mengegolkan pelajaran agama dimasukkan dalam sekolah-sekolah formal, mulai TK sampai perguruan tinggi. Tetapi, mereka sama sekali tidak melihat pelajarannya itu seperti apa. Padahal, ujiannya hanya seperti berapakah rukun shalat? Kalau jawaban angkanya benar, lulus begitu saja, entah soal paham makna shalat atau tidak, tidak menjadi masalah. Jadi, daging semua. Sekarang ini, substansial/ruh itu sudah semakin jauh, karena kita sudah ke daging dan daging. Jadi, kalau kita ingin mengembangkan gerakan anti korupsi, kita tidak boleh terjebak pada gerakan anti korupsi yang sifatnya ‘daging’nya saja. Sejak awal, kita juga harus mulai melihat dari akarnya, hingga menghentikan korupsi waktu dan lain sebagainya.
Melihat kondisi yang sudah carut marut demikian, seringkali karenanya saya menaruh harapan pada yang muda. Memang, harapan saya tinggal anak-anak muda dan kyai-kyai yang muda juga. Kenapa demikian? Karena, seperti yang sudah saya sebut di atas, banyak yang tua-tua itu, selam 30 tahun ini dididik dan terdidik dengan kecintaan dunia yang mungkin sebagian besar juga mengambil keteladanan Pak Harto. Kita ini sudah jauh dari nilai-nilai kita sendiri. Bagaimana kita mau melawan kebusukan-kebusukan dan semua yang korup, kalau kita sendiri tidak tahu bahwa kita ini busuk atau tidak? Jadi, harapan memang pada yang muda. Karena, yang muda-muda ini relatif belum tercemari model pendidikan hubb al dunya itu dan masih dapat menjaga diri mereka. Merekalah kini memang yang mengerti ‘aturan’ itu, juga yang sebenarnya paham al Quran, seperti telah saya katakan tadi. Selain modal sikap ‘tidak serba dunia’ ini, penting pula mereka yang muda ini paham juga masalahnya, asal-usul korupsi itu apa, dan kalau kita mau melawan dengan model seperti apa.
Dari kalangan NU kultural telah muncul gagasan, bahwa Bahtsul Masail pun bisa kita jadikan sarana untuk berjuang mengingatkan atau (bahkan) mem-pressure orang. Malah Musyawarah Nasional Ulama NU sendiri telah mengeluarkan suatu keputusan mengenai koruptor mati tidak dishalati, yang bisa menjadi awalan sanksi sosial yang berani untuk membangun gerakan anti korupsi dari masyarakat atau rakyat yang selama ini paling banyak dirugikan tindak korupsi tersebut. Nah, di sini kita masih punya optimisme, bahwa mereka dapat mengurangi dan mencegah kecarutmarutan, termasuk yang sangat merusak bangsa seperti korupsi ini.
Saya tadi sudah menyampaikan, sumber korupsi yang paling utama adalah dunia ini. Kita semua, dari kyai-kyai pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya wasilah, bukan ghayah. Kemudian dari pemahaman ini tergantung kitanya sendiri. Mereka yang di pemerintahan siap menerima masukan, kalau kita tidak siap menyampaikan apa-apa, ya tetap saja seperti itu. Sekarang ini kesempatan, NU/kyai sedang jadi primadona lagi di Indonesia ini. Tapi sekali lagi, karena kita juga murid-murid perdagingan itu semua, kyai-kyai sekarang ini mikirnya calon presiden, pilkada dan yang sebangsa itu. Dukungan ini, itu, gitu thok. Itukan sama dengan orang bilang Allahu Akbar di jalan-jalan yang hanya gembar gembor daging.
Nah, saya mengharapkan supaya kyai-kyai muda ini tidak menduplikat model sebagian kyai-kyai lama yang sudah merasa puas dengan apa yang disebut yang simbolik tadi. Kita mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan hanya memandaikan masyarakat, tetapi juga menyejahterakan, membikin maslahah bagi masyarakat. Kalau masyarakat ini kacau, karena adanya mereka yang korup-korup, bagaimana kita menolong masyarakat itu, dengan memperbaiki yang korup-korup. Dengan kata yang lebih singkat, kita harus menyadari bahwa tanggung jawab kita itu seberapa besar. Apakah tanggung jawab kyai itu hanya di pesantrer saja ataukah ingin lebih dari itu? Sekarang yang diwarisi itu siapa? Kalau yang diwarisi itu Nabi Muhammad SAW, kita tahu, selain dia nabi juga rasul. Jadi yang diwariskan adalah nubuwwah dan risalah. Bahkan, kyai-kyai telah melaksanakan yang nubuwwah itu, tapi yang risalah sudah diwarisi atau belum? Istilah saya, ada kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Ternyata yang sosial itu sudah jarang disentuh. Kita perlu memikirkan bagaimana keagamaan kita hingga persoalan sosial ini dapat dimengerti akar, daging dan juga kulitnya. Sementara ini, di kalangan NU cultural mulai berkembang, misalnya bagaimana bisa ada fiqh tembakau, dulu ada fiqh tanah, nanti ada fiqh tebu. Tujuan berbagai macam fiqh itu, bukan hanya membahas masalahnya, tetapi ada ikut-ikutannya, ada tindak lanjut dan rekomendasi dari Bahtsul Masail itu. Ini tidak bisa dilakukan, kecuali kita memahami sejauh mana tanggung jawab kita yang sebenarnya. Di sini, kata orang Jakarta, kita perlu paradigma keagamaan yang bisa membangun pemberdayaan rakyat yang terpinggirkan. Atau istilah tadi, selain kesalehan ritual, kita perlu sekali membangun kesalehan sosial.
Jadi, saya menaruh harapan bahwa reformasi di Indonesia (termasuk terhadap korupsi yang besar) tidak bisa dilakukan, kalau tidak ada reformasi keberagamaan. Reformasi keberagamaan juga tidak bisa diharapkan, kecuali melalui kyai-kyai dan santri-santri yang masih segar dan jernih, yang belum terkontaminasi budaya berorientasi dunia itu. Tapi, kita juga perlu peta perhatian kyai itu apa saja dan apa yang kita bisa lakukan. Ini semua harus kita pahami. Kalau tidak kita akan menambah jumlah orang yang antikorupsi, tetapi tidak menyelesaikan apa-apa. Anti-anti tok! Sekali lagi, saya mengharapkan kaum muda untuk betul-betul peduli secara menyeluruh terhadap persoalan-persoalan yang kita hadapi, terutama terkait korupsi. Kemudian, keluarkan perbendaharaan Anda mengenai pedoman-pedoman peraturan keagamaan yang sudah Anda kuasai, bagaimana kita menyiasati itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sudah Anda ketahui itu. Dengan demikian, Anda akan memberikan sumbangan yang luar biasa dan tidak hanya ilmiah saja, tetapi (lebih dari itu) juga sebagai sumbangsih pengkhidmatan kepada masyarakat.
KHA. Mustofa Bisri
Pencuri dalam Salat
Ulama Faqih, Abu Laits as-Samarkandi bercerita bahwa Salman al-Farisi menyampaikan sebuah hadits:
"Salat adalah ukuran. Barangsiapa memenuhi ukuran tersebut maka dipenuhilah kebutuhan orang tersebut. Barangsiapa mengurangi ukuran, maka Aku telah mengetahui kamu sekalian."
Yang dimaksud dengan "ukuran" adalah sampai di manakah kekhusyukan kita di dalam salat. Sebab yang dinilai dalam salat adalah kekhusyukannya. Standar salat adalah bila kita melakukan salat semestinya harus khusyuk mulai dari takbir sampai salam. Hati harus ingat kepada Allah. Untuk mencapai kekhusyukan itu kita harus merenungi makna dari bacaan salat. Jika kita ingat kepada Allah hanya waktu takbir saja, bisa jadi pahala kita hanya pada waktu ingat itu saja. Diriwayatkan dari Imam Hasan al-Basri bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Akan kuberitahukan kepada kalian semua tentang seburuk-buruk manusia. Orang yang paling jelek adalah orang yang mencuri sebagian dari salatnya."
Sahabat bertanya,
"Dalam keadaan bagaimanakah seseorang disebut mencuri sebagian dari salatnya?"
Rasulullah menjawab,
"Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya dalam salat."
Hadits ini memerintahkan kita agar melakukan ruku' dan sujud dengan tumakninah.
Memunculkan kekhusyukan memang berat. Karena itu perlu dilatih, minimal bisa kita tempuh dengan mencoba mengerti dan mengangan-angan makna atau arti bacaan salat. Kalau kita tidak mengetahui makna bacaan dalam salat, maka akan sulit bagi kita untuk khusyuk. Mestinya kita merasa aneh, salat jungkir balik tetapi tidak tahu makna yang kita baca. Tidakkah kita tahu bahwa salat itu adalah bentuk komunikasi hamba dengan Allah. Bagaimana mungkin kita berkomunikasi dengan Allah tapi kita tidak tahu maksud yang kita bicarakan di hadapan Allah? Sahabat Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa yang salatnya ternyata tidak bisa membawanya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, maka salat yang dilakukan itu menambah jauh dari Allah."
Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang yang tidak mampu khusuk dalam salatnya. Ketidakmampuan khusyuk antara lain karena tidak ada usaha sama sekali untuk konsentrasi berkomunikasi dengan Allah, atau sudah berusaha untuk khusyuk tetapi tidak bisa. Ibadah salat memiliki keistimewaan yang luar biasa. Rasulullah mengatakan kepada para sahabat,
"Telah sampai kepadaku bahwa Tuhanmu bangga dengan tiga orang. Siapakah orang itu?
Laki-laki yang berada di tempat asing kemudian mengumandangkan adzan dan mendirikan salat. Lalu ia salat sendirian. Kemudian Allah berfirman:
"Perhatikanlah hai Malaikat-Ku kepada hamba-Ku yang tidak ada yang melihatnya kecuali Aku. Hendaklah turun tujuh ribu malaikat dan hendaklah melakukan salat di belakangnya."
Laki-laki yang mendirikan salat malam kemudian salat dalam keadaan sendirian dan bersujud kepada Allah, kemudian tidur dalam keadaan sujud, Allah berfirman:
"Perhatikanlah olehmu wahai Malaikat terhadap hamba-Ku ini, nyawanya ada pada-Ku dan jasadnya sujud kepada-Ku."
Kemuliaan seorang mukmin apabila ia tidak meminta-minta kepada manusia dan kemuliaan seorang mukmin adalah salat pada tengah malam. Masihkah kita mengidentifikasi diri sebagai seorang pencuri dalam salat? Tidakkah kita merasa Allah sedang menunggu keseriusan kita berkomunikasi dengan-Nya?
KH. Masduqi Machfudh
"Salat adalah ukuran. Barangsiapa memenuhi ukuran tersebut maka dipenuhilah kebutuhan orang tersebut. Barangsiapa mengurangi ukuran, maka Aku telah mengetahui kamu sekalian."
Yang dimaksud dengan "ukuran" adalah sampai di manakah kekhusyukan kita di dalam salat. Sebab yang dinilai dalam salat adalah kekhusyukannya. Standar salat adalah bila kita melakukan salat semestinya harus khusyuk mulai dari takbir sampai salam. Hati harus ingat kepada Allah. Untuk mencapai kekhusyukan itu kita harus merenungi makna dari bacaan salat. Jika kita ingat kepada Allah hanya waktu takbir saja, bisa jadi pahala kita hanya pada waktu ingat itu saja. Diriwayatkan dari Imam Hasan al-Basri bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Akan kuberitahukan kepada kalian semua tentang seburuk-buruk manusia. Orang yang paling jelek adalah orang yang mencuri sebagian dari salatnya."
Sahabat bertanya,
"Dalam keadaan bagaimanakah seseorang disebut mencuri sebagian dari salatnya?"
Rasulullah menjawab,
"Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya dalam salat."
Hadits ini memerintahkan kita agar melakukan ruku' dan sujud dengan tumakninah.
Memunculkan kekhusyukan memang berat. Karena itu perlu dilatih, minimal bisa kita tempuh dengan mencoba mengerti dan mengangan-angan makna atau arti bacaan salat. Kalau kita tidak mengetahui makna bacaan dalam salat, maka akan sulit bagi kita untuk khusyuk. Mestinya kita merasa aneh, salat jungkir balik tetapi tidak tahu makna yang kita baca. Tidakkah kita tahu bahwa salat itu adalah bentuk komunikasi hamba dengan Allah. Bagaimana mungkin kita berkomunikasi dengan Allah tapi kita tidak tahu maksud yang kita bicarakan di hadapan Allah? Sahabat Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa yang salatnya ternyata tidak bisa membawanya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, maka salat yang dilakukan itu menambah jauh dari Allah."
Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang yang tidak mampu khusuk dalam salatnya. Ketidakmampuan khusyuk antara lain karena tidak ada usaha sama sekali untuk konsentrasi berkomunikasi dengan Allah, atau sudah berusaha untuk khusyuk tetapi tidak bisa. Ibadah salat memiliki keistimewaan yang luar biasa. Rasulullah mengatakan kepada para sahabat,
"Telah sampai kepadaku bahwa Tuhanmu bangga dengan tiga orang. Siapakah orang itu?
Laki-laki yang berada di tempat asing kemudian mengumandangkan adzan dan mendirikan salat. Lalu ia salat sendirian. Kemudian Allah berfirman:
"Perhatikanlah hai Malaikat-Ku kepada hamba-Ku yang tidak ada yang melihatnya kecuali Aku. Hendaklah turun tujuh ribu malaikat dan hendaklah melakukan salat di belakangnya."
Laki-laki yang mendirikan salat malam kemudian salat dalam keadaan sendirian dan bersujud kepada Allah, kemudian tidur dalam keadaan sujud, Allah berfirman:
"Perhatikanlah olehmu wahai Malaikat terhadap hamba-Ku ini, nyawanya ada pada-Ku dan jasadnya sujud kepada-Ku."
Kemuliaan seorang mukmin apabila ia tidak meminta-minta kepada manusia dan kemuliaan seorang mukmin adalah salat pada tengah malam. Masihkah kita mengidentifikasi diri sebagai seorang pencuri dalam salat? Tidakkah kita merasa Allah sedang menunggu keseriusan kita berkomunikasi dengan-Nya?
KH. Masduqi Machfudh
Mengapa Kita Harus Melanggengkan Berjamaah
Rasulullah bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلاَةِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ أَعْطَاهُ اللّهُ خَمْسَ خِصَالٍ : لَمْ يُصِبْهُ فَقْرًا أَبَدًا, يُرْفَعُ عَنْهُ عَذَابُ الْقَبْرِِ, أَمِنَ مِنْ أَهْوَالِ يَومِ الْقِيَامَةِ, يُعْطَى كِتَابُهُ بِيَمِيْنِهِ, يَمُرُّ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ اْلخَاطِفِ
Barangsiapa yang selalu menjaga sشlatnya dengan berjamaah, maka Allah akan memberinya lima hal: tidak pernah terkena kefakiran selamanya, dihapuskan siksa kubur darinya, selamat dari kesusahan pada hari kiamat, diberikan buku catatan amalnya dengan tangan kanan, dan berjalan di atas titian 'shirat' secepat kilat yang menyambar.
Hadits ini cukuplah bagi alasan kita untuk selalu berjamaah, ke mana atau di manapun kita berada, diusahakan dengan berjamaah. Dengan berjamaah, di samping kita mendapat pahala jamaah, kita juga mendapatkan pahala silaturahim dengan tetangga juga credit point untuk diterimanya salat kita. Imam al-Ghazali dalam kitab Fath al-Mu'in berpendapat bahwa salat sah bila dilakukan dengan khusyuk. Karena itu khusyu’ menjadi syarat keabsahan salat bagi imam. Andai yang dibenarkan Allah terkait dengan hadits yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat wajahmu atau jasadmu, tetapi Allah melihat hatimu” adalah pendapat Imam al-Ghazali ini, adakah salat kita yang sah? Berapa banyak salat kita yang sah?
Dalam sebuah komunitas berjamaah, kebutuhan harus khusyu’ bagi masing-masing musholli dapat ditutupi oleh salah satu makmum yang bisa khusyu’. Bila semua makmum tidak ada yang khusyu’, maka kebutuhan khusyu’ semua jamaah dicukupi oleh imamnya. Karena tanggung jawab imam yang berat inilah dalam kitab Kifayah al-Atqiya’ dinyatakan bahwa bila seseorang mengimami orang yang lebih alim maka dia terlaknati. Seandainya imamnya ternyata juga tidak mampu menghadirkan kekhusyu’an, maka kebutuhan khusyu’ bagi seluruh jamaah itu dapat ditutupi oleh fadilah jamaah. Bertolak dari kenyataan ini, dapat kita nyatakan bahwa orang yang selalu salat berjamaah kemungkinan salatnya diterima lebih besar dibanding orang yang salat sendiri.
Berita media massa yang lalu tentang 19 TKI yang dihukum pancung mengejutkan kita. Bayangkan betapa berat usaha para TKI tersebut untuk mengais rezeki hingga harus pergi ke negeri orang. Semasa kita tidak mampu menahan emosi atas kekejaman budaya orang lain, kita melakukan sesuatu yang akhirnya berakibat pada ancaman nyawa kita sendiri.
Orang bepergian ke luar negeri untuk bekerja pasti atas promosi atau cerita orang lain tentang rezeki yang berlimpah. Kita percaya dan kita berangkat ke sana mengais rezeki. Seorang pegawai pemerintah pasti percaya akan jaminan pemerintah bahwa setiap awal bulan akan mendapat rezeki berupa gaji bulanan. Orang yang berpromosi kerja di luar negeri, aparat pemerintah yang menciptakan ketentuan gaji bulanan, mereka semua adalah manusia, makhluk ciptaan Allah. Kepada sesama ciptaan saja kita percaya, tetapi mengapa tidak percaya kepada yang mencipta?
Allah melalui lisan Rasulullah, junjungan kita, sudah menjamin orang-orang yang selalu menjaga jamaah tidak akan terkena kefakiran selamanya, baik faqir hati maupun faqir harta. Mereka yang selalu salat berjamaah diberi kemampuan oleh Allah untuk bersyukur atas nikmat yang diterima. Mereka yang tidak mampu bersyukur adalah orang yang faqir hatinya. Sudah memiliki harta cukup, ingin lebih dengan korupsi. Sudah memiliki isteri yang cantik, masih ingin mencari selingkuhan. Inilah cermin mereka yang faqir hati. Mereka yang selalu menjalani salat lima waktu secara berjamaah dengan kekuasaan Allah tidak akan kekurangan meski tidak kaya. Kalaupun tidak ada harta sedikit pun, maka sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak pasti Allah memberi solusinya.
Sebuah koran memberitakan bahwa para pengusaha atau penjaja seks mengaku menjadi pelopor pertama pemanfaatan teknologi informasi. Begitu ada internet, mereka mampu mencipta situs yang mudah dibeli dan diakses oleh orang di seluruh pelosok dunia. Begitu pula ketika dunia ponsel semakin canggih dengan kemampuan mengirim gambar, mereka menjual gambar atau video porno melalui, dapat dilihat, dan dinikmati dari ponsel. Sementara dakwah Islam tetap kembang kempis. Beberapa pesantren ada yang mulai merambah website, tetapi berapa yang mampu eksis? Kalau dunia kemaksiatan lebih canggih dari amar makruf, mampukah perilaku kita menjamin diri kita bebas dari siksa kubur? Kalaupun mampu terbebas dari siksa kubur, mampukah kita terbebas dari kesusahan dan teror hari kiamat? Mampu pulakah kita menjamin bahwa catatan amal akan kita terima dengan tangan kanan sebagai bukti amal kita diterima? Mampukah kita melampaui jembatan shirat sebagai jalan menuju surga?
Kalau kita selama ini tidak pernah mampu melalui itu semua, mengapa kita meninggalkan jamaah salat? Mengapa masa depan kita tidak kita usahakan dan pastikan dengan selalu berjamaah? Melihat jaminan Allah yang begitu hebat bagi kehidupan dunia dan akhirat, para kyai sepuh bahkan dalam menganjurkan berjamaah sampai berkata, “Kalau perlu membayar orang untuk membantu salat kita agar terhitung jamaah!” Berapapun harta yang kita keluarkan tidak akan sebanding dengan jaminan Allah yang begitu besar dan bernilai.
Ibn Majah meriwayatkan sebuah hadits:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang mendengar adzan tetapi ia tidak mendatangi salat (untuk berjamaah) maka ia tidak akan mendapat( kesempurnaan) salat kecuali jika ia udzur.
سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ فِى النَّهَارِ وَ يَقُومُ اللَّيْلَ لاَيَشْهَدُ جُمْعَةً وَلاَ جَمَاعَةً, قَالَ فِى النَّار
Ibn Abbas ditanya tentang seseorang yang selalu berpuasa pada siang hari dan salat malam tetapi tidak menjalani salat Jumat dan tidak (pernah) berjamaah. Ibn Abbas berkata, "(Dia akan masuk) ke neraka."
Semestinya cukuplah hadits Rasulullah dan atsar sahabat di atas untuk memotivasi agar kita berjamaah bila kita mengaku muslim dan mukmin. Bila tidak, sepantasnyalah kita bertanya kepada diri kita sendiri adakah keislaman dan keimanan di dalam hati kita? Pantaskah kita disebut orang yang mendekat kepada Allah? Sudahkah kita benar-benar berpasrah kepada Allah? Masing-msing dari kita sendiri yang mampu menjawabnya!
K.H. Masduqi Machfudh
مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلاَةِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ أَعْطَاهُ اللّهُ خَمْسَ خِصَالٍ : لَمْ يُصِبْهُ فَقْرًا أَبَدًا, يُرْفَعُ عَنْهُ عَذَابُ الْقَبْرِِ, أَمِنَ مِنْ أَهْوَالِ يَومِ الْقِيَامَةِ, يُعْطَى كِتَابُهُ بِيَمِيْنِهِ, يَمُرُّ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ اْلخَاطِفِ
Barangsiapa yang selalu menjaga sشlatnya dengan berjamaah, maka Allah akan memberinya lima hal: tidak pernah terkena kefakiran selamanya, dihapuskan siksa kubur darinya, selamat dari kesusahan pada hari kiamat, diberikan buku catatan amalnya dengan tangan kanan, dan berjalan di atas titian 'shirat' secepat kilat yang menyambar.
Hadits ini cukuplah bagi alasan kita untuk selalu berjamaah, ke mana atau di manapun kita berada, diusahakan dengan berjamaah. Dengan berjamaah, di samping kita mendapat pahala jamaah, kita juga mendapatkan pahala silaturahim dengan tetangga juga credit point untuk diterimanya salat kita. Imam al-Ghazali dalam kitab Fath al-Mu'in berpendapat bahwa salat sah bila dilakukan dengan khusyuk. Karena itu khusyu’ menjadi syarat keabsahan salat bagi imam. Andai yang dibenarkan Allah terkait dengan hadits yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat wajahmu atau jasadmu, tetapi Allah melihat hatimu” adalah pendapat Imam al-Ghazali ini, adakah salat kita yang sah? Berapa banyak salat kita yang sah?
Dalam sebuah komunitas berjamaah, kebutuhan harus khusyu’ bagi masing-masing musholli dapat ditutupi oleh salah satu makmum yang bisa khusyu’. Bila semua makmum tidak ada yang khusyu’, maka kebutuhan khusyu’ semua jamaah dicukupi oleh imamnya. Karena tanggung jawab imam yang berat inilah dalam kitab Kifayah al-Atqiya’ dinyatakan bahwa bila seseorang mengimami orang yang lebih alim maka dia terlaknati. Seandainya imamnya ternyata juga tidak mampu menghadirkan kekhusyu’an, maka kebutuhan khusyu’ bagi seluruh jamaah itu dapat ditutupi oleh fadilah jamaah. Bertolak dari kenyataan ini, dapat kita nyatakan bahwa orang yang selalu salat berjamaah kemungkinan salatnya diterima lebih besar dibanding orang yang salat sendiri.
Berita media massa yang lalu tentang 19 TKI yang dihukum pancung mengejutkan kita. Bayangkan betapa berat usaha para TKI tersebut untuk mengais rezeki hingga harus pergi ke negeri orang. Semasa kita tidak mampu menahan emosi atas kekejaman budaya orang lain, kita melakukan sesuatu yang akhirnya berakibat pada ancaman nyawa kita sendiri.
Orang bepergian ke luar negeri untuk bekerja pasti atas promosi atau cerita orang lain tentang rezeki yang berlimpah. Kita percaya dan kita berangkat ke sana mengais rezeki. Seorang pegawai pemerintah pasti percaya akan jaminan pemerintah bahwa setiap awal bulan akan mendapat rezeki berupa gaji bulanan. Orang yang berpromosi kerja di luar negeri, aparat pemerintah yang menciptakan ketentuan gaji bulanan, mereka semua adalah manusia, makhluk ciptaan Allah. Kepada sesama ciptaan saja kita percaya, tetapi mengapa tidak percaya kepada yang mencipta?
Allah melalui lisan Rasulullah, junjungan kita, sudah menjamin orang-orang yang selalu menjaga jamaah tidak akan terkena kefakiran selamanya, baik faqir hati maupun faqir harta. Mereka yang selalu salat berjamaah diberi kemampuan oleh Allah untuk bersyukur atas nikmat yang diterima. Mereka yang tidak mampu bersyukur adalah orang yang faqir hatinya. Sudah memiliki harta cukup, ingin lebih dengan korupsi. Sudah memiliki isteri yang cantik, masih ingin mencari selingkuhan. Inilah cermin mereka yang faqir hati. Mereka yang selalu menjalani salat lima waktu secara berjamaah dengan kekuasaan Allah tidak akan kekurangan meski tidak kaya. Kalaupun tidak ada harta sedikit pun, maka sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak pasti Allah memberi solusinya.
Sebuah koran memberitakan bahwa para pengusaha atau penjaja seks mengaku menjadi pelopor pertama pemanfaatan teknologi informasi. Begitu ada internet, mereka mampu mencipta situs yang mudah dibeli dan diakses oleh orang di seluruh pelosok dunia. Begitu pula ketika dunia ponsel semakin canggih dengan kemampuan mengirim gambar, mereka menjual gambar atau video porno melalui, dapat dilihat, dan dinikmati dari ponsel. Sementara dakwah Islam tetap kembang kempis. Beberapa pesantren ada yang mulai merambah website, tetapi berapa yang mampu eksis? Kalau dunia kemaksiatan lebih canggih dari amar makruf, mampukah perilaku kita menjamin diri kita bebas dari siksa kubur? Kalaupun mampu terbebas dari siksa kubur, mampukah kita terbebas dari kesusahan dan teror hari kiamat? Mampu pulakah kita menjamin bahwa catatan amal akan kita terima dengan tangan kanan sebagai bukti amal kita diterima? Mampukah kita melampaui jembatan shirat sebagai jalan menuju surga?
Kalau kita selama ini tidak pernah mampu melalui itu semua, mengapa kita meninggalkan jamaah salat? Mengapa masa depan kita tidak kita usahakan dan pastikan dengan selalu berjamaah? Melihat jaminan Allah yang begitu hebat bagi kehidupan dunia dan akhirat, para kyai sepuh bahkan dalam menganjurkan berjamaah sampai berkata, “Kalau perlu membayar orang untuk membantu salat kita agar terhitung jamaah!” Berapapun harta yang kita keluarkan tidak akan sebanding dengan jaminan Allah yang begitu besar dan bernilai.
Ibn Majah meriwayatkan sebuah hadits:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang mendengar adzan tetapi ia tidak mendatangi salat (untuk berjamaah) maka ia tidak akan mendapat( kesempurnaan) salat kecuali jika ia udzur.
سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ فِى النَّهَارِ وَ يَقُومُ اللَّيْلَ لاَيَشْهَدُ جُمْعَةً وَلاَ جَمَاعَةً, قَالَ فِى النَّار
Ibn Abbas ditanya tentang seseorang yang selalu berpuasa pada siang hari dan salat malam tetapi tidak menjalani salat Jumat dan tidak (pernah) berjamaah. Ibn Abbas berkata, "(Dia akan masuk) ke neraka."
Semestinya cukuplah hadits Rasulullah dan atsar sahabat di atas untuk memotivasi agar kita berjamaah bila kita mengaku muslim dan mukmin. Bila tidak, sepantasnyalah kita bertanya kepada diri kita sendiri adakah keislaman dan keimanan di dalam hati kita? Pantaskah kita disebut orang yang mendekat kepada Allah? Sudahkah kita benar-benar berpasrah kepada Allah? Masing-msing dari kita sendiri yang mampu menjawabnya!
K.H. Masduqi Machfudh
Tiga Pilar Kehidupan
Tiga pilar kehidupan bagi seorang muslim adalah Taqwallah, Taqarruban billah, dan Ridhallah. Demikianlah yang harus dipahami secara tepat, sebab apabila ketiga pilar kehidupan di atas dilalaikan oleh seorang manusia, maka hidup ini hanya akan menjadi "sampah". Dan hal itu telah banyak kita saksikan betapa mengenaskan kondisi para manusia yang telah meninggalkan tiga pilar kehidupan tersebut.
Sebagai seorang muslim mukmin kita jangan sampai meningglkan ketiga pilar di atas. Betapa ruginya jika ada seorang muslim yang telah berani meninggalkan: perilaku taqwa, perilaku Taqarrub dan perilaku ridha. Sebab di kehidupan dunia yang sementara ini sebenarnya secara essensial adalah hanya menunggu datangnya saat ajal menjemput. Kita haru s benar-benar sadar bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, tidak ada kekekalan sama sekali. Hidup di dunia penuh dengan kenisbian yang terus berganti-ganti dan berubah-ubah. Maka jika seseorang tidak memiliki prinsip-prinsip ketauhidan yang diejawantahkan ke dalam tiga pilar kehidupan, secara otomatis dia akan menjadi manusia yang gagal di kehidupannya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,
"Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)." (QS. Ar Ra'd [13]: 26)
Taqwallah
Sebagai seorang muslim mukmin dikehidupan ini harus sadar benar, disamping harus memahami bahwa hakekat hidup yang sebenarnya adalah melakukan pengabdian kepada-Nya yang hal itu diwujudkan dengan terus menerus meningkatkan ketaqwaan padaNya.
Taqwa yang dimaksud yaitu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diri dan memelihara diri dari segenap hal yang dapat mendatangkan murka-Nya dan laknat rasul-Nya (Miftahul Luthfi Muhammad: 2006). Karenanya kehidupan dikatakan sukses manakala seorang muslim itu benar-benar mampu menjaga diri dan memelihara dirinya dari segenap hal yang dapat mendatangkan murkaNya dan laknat RasulNya.
Sebaliknya, dikatakan tidak sukses jikalau dikehidupan keseharianya tidak lagi mampu memelihara dan menjaga dirinya dari segenap hal yang dapat mendatangkan murkaNya dan laknat RasulNya. Seseorang yang telah CC (commitment and consistent) dengan ketakwaanya maka ia telah memiliki salah satu dari tiga pilar kehidupan di dunia ini. Akan tetapi belumlah membahagiakan di kehidupan ini manakala seorang muslim tidak melengkapinya dengan taqarruban 'inda- Allah dan ridhaLlah.
Taqarruban 'inda-Llah
Yang tidak boleh dilalaikan oleh seorang muslim mukmin adalah di mana keseharian kehidupan ini harus melakukan pendekatan diri denganNya. Setiap saat, setiap hari begitu seterusnya. Selagi dirinya masih hidup di dunia. Itulah konsekuensi logis dari kemusliman dan kemukminannya.
Tanpa upaya dan usaha yang sungguh-sungguh di adalam melkukan pendekatan diri denganNYa, maka menjadi sia-sia lah segenap aktifitas kegiatannya selama hidup di dunia. Karenanya usah adan upaya didalam meningkatkan taqwa kepada Allah hendaknya harus merupakan pencerminan sekaligus wujud pengejawantahan dari pendekatan dirinya kepada Allah Azza Wa Jalla. Di sinilah kedudukan Niat (inner strong intention) menjadi sangat penting guna mendorong lahirnya kemauan (force of character) dan kemampuan (ability) untuk meakukan perubahan perilaku (behavior transformation) dan pembelajaran sifat (character learning), guna melakukan pendekatan diri denganNya.
Dan harus disadari bahwa upaya pendekatan diri kepadaNya merupakan usaha murni yang ditujukan semata untuk memperoleh ridhaNya. Sebab dinul Islam telah mengajarkan betapa ruginya kelak disisiNya apabila seorang hamba itu segenap jerih payahnya tidak mendapatkan RidhaNya.
Ridhallah
Ridhallah merupakan puncak dari segala hal yang hendak dicapai oleh seorang muslim mukmin di kehidupanNya. Hanya dengan mendapatkan ridhaNya seorang hamba itu akan mendapatkan cinta dan kasih sayangnya yang secara khusus akan menjadikan diri seorang hamba itu bagian dari para hamba yang telah dipilihNya. Bagaimanapun kita harus sadar bahwa seorang hamba Allah masuk surga itu semata karena kehendakNya, bukan karena yang lainnya, karenanya, sama sekali kita tidak dapat membanggakan segenap amaliah yang telah dilakukan di kehidupan dunia ini.
Betapa ruginya jika di kehidupan ini seseorang melakukan segenap kegiatan tidak diniatkan hanya untuk mencari ridhaNya. Sudah dapat dipastikan bahwa orang seperti ini sangat lemah keyakinan dan keimanannya. Secara riil hal itu dapat dilihat dengan tidak adanya ghirah di dalam mengamalkan sikap mental di dalam menomor satukan Allah, jujur dan ikhlas.
Apabila di kehidupan ini seseorang sangat lemah pada komitmen dan konsistensinya terhadap kekuatan segitiga Al Mamsyuk tersebut diatas. Sudah dapat dipastikan gaya hidup dan cara berpikir budaya kafir akan cepat dengan mudah mewarnai diri dan kerpribadiannya.
Suatu misal, untuk saat ini betapa beratnya yang pasti karena dorongan hawa nafsunya untuk tidak memiliki televisi dan telepon genggam. Padahal bagi seorang muslim yang seharusnya dilakukan adalah apa manfaatnya buat aqidah-syariah-akhlak, bukan karena alasan gengsi atau memang zaman menghendakinya untuk memiliki. Maka ketiadaan dua fasilitas komunikasi itu seolah telah menjadikan diri seseorang "mundur" ke zaman batu. Benarkah demikian?
Apapun ocehan dan cemoohan dari orang lain haruslah didayagunakan untuk menjadi daya dorong yang positif –konstruktif. Di sisi lain kita harus tetap teguh dengan sgenap prinsip yang telah kita pilih. Kita tidak perlu khawatir dengan prinsip-prinsip kita, sebab landasan teori yang diajarkan sangat jelas yaitu Neraca Syariat.
Karena hidup kita hanya mencari RidhaNya maka segenap hal yang tidak dapat mendatangkan ridhaNya dan Ridha RasulNya harus ditinggalkan. Apa saja! Jadi ukuran kemnfaatan yang di kehendaki dalam ajaran islam adalah memenuhi unsure ridha dan tidaknya Allah dan RasulNya terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang manusia khususnya dikehidupan keseharian seorang muslim mukmin.
Munculkan kesadaran diri (self awareness)
Kesadaran diri seorang manusia dapat dimunculkan manakala seseorang itu telah menghadapi tekanan dan kebuntuan jalan hidup. Akan tetapi bagi seoaran gmuslim mukmin haru sterus menerus melakukan pembelajaran sifat (character learning) lalu diikuti dengan perubahan perilaku (behavior transformation). Karena hanya dengan model yang demikianlah seseorang itu dapat meningkatkan percepatan keyakinan (quantum believing). Maka, untuk menumbuhkan percepatan keyakinan hal itu dapat dilakukan mulai sedini mungkin. Bahkan, ketika mausia masih dalam bentuk janin, seorang manusia sudah dapat dilakukan pembelajaran sifat yang baik (a good character learning).
Karenanya di dalam dinul islam banyk diajarkan berbagai macam motivasi kecerdasan yang bersumber dari tauhid-syariah-akhlak. Dalam hal iini dinul islam benar-benar menjadi motivasi kecerdasan sehingga mendorong terlahirnya niat untuk melakukan perubahan perilaku. Dan dari sinilah akan mulai muncul kemauan untuk melakuakn akselerasi sikap mental (attitude acceleration) sehingga sadar benar bahwa dirinya adalah seoang muslim mukmin yang merupakan ummat mulia yang dimulakaNya.
Abad XXI dunia sangat diramaiakan dengan berbagai macam kemauan dan kemampuan. Barang siapa yang memiliki kemauan dan kemampuan, maka merekalah yang dapat hidup pada abad ini. Sebaliknya barang siap tidak memiliki kemauan dan kemampuan, maka mereka akan secara otomatis tersingkirkan dari panggung dunia yang konon telah disebut zaman modern. Terlepas dari kesemuanya dinul islam telah mengajarkan bahwa seorang muslim haruslah senantiasa memiliki kemauan dan kemampuan. Sebab apalah artinya hidup di dunia yang sementara ini tidak memiliki kemauan dan kemampuan. Sebagaimana yang dikehendakiNya:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS Al Qashash [26] : 77)
Dalam rangka memenuhi pesanNya pada ayat diatas hal itu yidak dapat terwujud tanpa memiliki kemauan dan kemampuan. Merebut akhirat dan menundukkan dunia sangat dibutuhkan pula kemauan dan kemampuan.
Sementara kenyataan pelaku kerusakan di negeri ini sebagian besar orang islam. Bolehlah kita berapologia karena mayoritas pendududknya beragama Islam. Tapi apa memang demikian adanya? Tidakkah hal itu akibat langsung dari kegagalan model dakwah dan tarbiyah yang selama ini tengah berlangsung? Tidakkah zaman dahulu para da'i lebih berhasil mengislamkan penduduk asli bangsa ini yang mayoritas masih mengikuti keyakinan dinamisme, animism, dan hinduisme. Sedangkan sekarang ini para da'I kan hanya mengislamkan orang islam, kenapa tidak berhasil?
Padahal sangat sederhana dalam mengislamkan orang islam. Yaitu menjadikan seorang muslim komitmen dan konsisten dengan ajaran dinul islam. Sebagaimana dinyatakanNya:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
"Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta."
"Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Al Fusshilat [41] : 30 - 33)
Sungguh inilah sebuah realitas yang sangat sulit didapatkan saat segala sesuatu sudah dinilai dengan uang. Sungguh sangat ironis jika seorang muslim ikut melakukan hal serupa, dan anehnya merasa nyaman dengan menyerupai orang-orang yang tidak mendapatkan ridhaNya.
Penulis ialah Pengasuh Ma’had Tee Bee Tambak Bening Surabaya. Dikutip dari Buletin al Fath. alfath18@yahoo.com
Sebagai seorang muslim mukmin kita jangan sampai meningglkan ketiga pilar di atas. Betapa ruginya jika ada seorang muslim yang telah berani meninggalkan: perilaku taqwa, perilaku Taqarrub dan perilaku ridha. Sebab di kehidupan dunia yang sementara ini sebenarnya secara essensial adalah hanya menunggu datangnya saat ajal menjemput. Kita haru s benar-benar sadar bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, tidak ada kekekalan sama sekali. Hidup di dunia penuh dengan kenisbian yang terus berganti-ganti dan berubah-ubah. Maka jika seseorang tidak memiliki prinsip-prinsip ketauhidan yang diejawantahkan ke dalam tiga pilar kehidupan, secara otomatis dia akan menjadi manusia yang gagal di kehidupannya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,
"Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)." (QS. Ar Ra'd [13]: 26)
Taqwallah
Sebagai seorang muslim mukmin dikehidupan ini harus sadar benar, disamping harus memahami bahwa hakekat hidup yang sebenarnya adalah melakukan pengabdian kepada-Nya yang hal itu diwujudkan dengan terus menerus meningkatkan ketaqwaan padaNya.
Taqwa yang dimaksud yaitu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diri dan memelihara diri dari segenap hal yang dapat mendatangkan murka-Nya dan laknat rasul-Nya (Miftahul Luthfi Muhammad: 2006). Karenanya kehidupan dikatakan sukses manakala seorang muslim itu benar-benar mampu menjaga diri dan memelihara dirinya dari segenap hal yang dapat mendatangkan murkaNya dan laknat RasulNya.
Sebaliknya, dikatakan tidak sukses jikalau dikehidupan keseharianya tidak lagi mampu memelihara dan menjaga dirinya dari segenap hal yang dapat mendatangkan murkaNya dan laknat RasulNya. Seseorang yang telah CC (commitment and consistent) dengan ketakwaanya maka ia telah memiliki salah satu dari tiga pilar kehidupan di dunia ini. Akan tetapi belumlah membahagiakan di kehidupan ini manakala seorang muslim tidak melengkapinya dengan taqarruban 'inda- Allah dan ridhaLlah.
Taqarruban 'inda-Llah
Yang tidak boleh dilalaikan oleh seorang muslim mukmin adalah di mana keseharian kehidupan ini harus melakukan pendekatan diri denganNya. Setiap saat, setiap hari begitu seterusnya. Selagi dirinya masih hidup di dunia. Itulah konsekuensi logis dari kemusliman dan kemukminannya.
Tanpa upaya dan usaha yang sungguh-sungguh di adalam melkukan pendekatan diri denganNYa, maka menjadi sia-sia lah segenap aktifitas kegiatannya selama hidup di dunia. Karenanya usah adan upaya didalam meningkatkan taqwa kepada Allah hendaknya harus merupakan pencerminan sekaligus wujud pengejawantahan dari pendekatan dirinya kepada Allah Azza Wa Jalla. Di sinilah kedudukan Niat (inner strong intention) menjadi sangat penting guna mendorong lahirnya kemauan (force of character) dan kemampuan (ability) untuk meakukan perubahan perilaku (behavior transformation) dan pembelajaran sifat (character learning), guna melakukan pendekatan diri denganNya.
Dan harus disadari bahwa upaya pendekatan diri kepadaNya merupakan usaha murni yang ditujukan semata untuk memperoleh ridhaNya. Sebab dinul Islam telah mengajarkan betapa ruginya kelak disisiNya apabila seorang hamba itu segenap jerih payahnya tidak mendapatkan RidhaNya.
Ridhallah
Ridhallah merupakan puncak dari segala hal yang hendak dicapai oleh seorang muslim mukmin di kehidupanNya. Hanya dengan mendapatkan ridhaNya seorang hamba itu akan mendapatkan cinta dan kasih sayangnya yang secara khusus akan menjadikan diri seorang hamba itu bagian dari para hamba yang telah dipilihNya. Bagaimanapun kita harus sadar bahwa seorang hamba Allah masuk surga itu semata karena kehendakNya, bukan karena yang lainnya, karenanya, sama sekali kita tidak dapat membanggakan segenap amaliah yang telah dilakukan di kehidupan dunia ini.
Betapa ruginya jika di kehidupan ini seseorang melakukan segenap kegiatan tidak diniatkan hanya untuk mencari ridhaNya. Sudah dapat dipastikan bahwa orang seperti ini sangat lemah keyakinan dan keimanannya. Secara riil hal itu dapat dilihat dengan tidak adanya ghirah di dalam mengamalkan sikap mental di dalam menomor satukan Allah, jujur dan ikhlas.
Apabila di kehidupan ini seseorang sangat lemah pada komitmen dan konsistensinya terhadap kekuatan segitiga Al Mamsyuk tersebut diatas. Sudah dapat dipastikan gaya hidup dan cara berpikir budaya kafir akan cepat dengan mudah mewarnai diri dan kerpribadiannya.
Suatu misal, untuk saat ini betapa beratnya yang pasti karena dorongan hawa nafsunya untuk tidak memiliki televisi dan telepon genggam. Padahal bagi seorang muslim yang seharusnya dilakukan adalah apa manfaatnya buat aqidah-syariah-akhlak, bukan karena alasan gengsi atau memang zaman menghendakinya untuk memiliki. Maka ketiadaan dua fasilitas komunikasi itu seolah telah menjadikan diri seseorang "mundur" ke zaman batu. Benarkah demikian?
Apapun ocehan dan cemoohan dari orang lain haruslah didayagunakan untuk menjadi daya dorong yang positif –konstruktif. Di sisi lain kita harus tetap teguh dengan sgenap prinsip yang telah kita pilih. Kita tidak perlu khawatir dengan prinsip-prinsip kita, sebab landasan teori yang diajarkan sangat jelas yaitu Neraca Syariat.
Karena hidup kita hanya mencari RidhaNya maka segenap hal yang tidak dapat mendatangkan ridhaNya dan Ridha RasulNya harus ditinggalkan. Apa saja! Jadi ukuran kemnfaatan yang di kehendaki dalam ajaran islam adalah memenuhi unsure ridha dan tidaknya Allah dan RasulNya terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang manusia khususnya dikehidupan keseharian seorang muslim mukmin.
Munculkan kesadaran diri (self awareness)
Kesadaran diri seorang manusia dapat dimunculkan manakala seseorang itu telah menghadapi tekanan dan kebuntuan jalan hidup. Akan tetapi bagi seoaran gmuslim mukmin haru sterus menerus melakukan pembelajaran sifat (character learning) lalu diikuti dengan perubahan perilaku (behavior transformation). Karena hanya dengan model yang demikianlah seseorang itu dapat meningkatkan percepatan keyakinan (quantum believing). Maka, untuk menumbuhkan percepatan keyakinan hal itu dapat dilakukan mulai sedini mungkin. Bahkan, ketika mausia masih dalam bentuk janin, seorang manusia sudah dapat dilakukan pembelajaran sifat yang baik (a good character learning).
Karenanya di dalam dinul islam banyk diajarkan berbagai macam motivasi kecerdasan yang bersumber dari tauhid-syariah-akhlak. Dalam hal iini dinul islam benar-benar menjadi motivasi kecerdasan sehingga mendorong terlahirnya niat untuk melakukan perubahan perilaku. Dan dari sinilah akan mulai muncul kemauan untuk melakuakn akselerasi sikap mental (attitude acceleration) sehingga sadar benar bahwa dirinya adalah seoang muslim mukmin yang merupakan ummat mulia yang dimulakaNya.
Abad XXI dunia sangat diramaiakan dengan berbagai macam kemauan dan kemampuan. Barang siapa yang memiliki kemauan dan kemampuan, maka merekalah yang dapat hidup pada abad ini. Sebaliknya barang siap tidak memiliki kemauan dan kemampuan, maka mereka akan secara otomatis tersingkirkan dari panggung dunia yang konon telah disebut zaman modern. Terlepas dari kesemuanya dinul islam telah mengajarkan bahwa seorang muslim haruslah senantiasa memiliki kemauan dan kemampuan. Sebab apalah artinya hidup di dunia yang sementara ini tidak memiliki kemauan dan kemampuan. Sebagaimana yang dikehendakiNya:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS Al Qashash [26] : 77)
Dalam rangka memenuhi pesanNya pada ayat diatas hal itu yidak dapat terwujud tanpa memiliki kemauan dan kemampuan. Merebut akhirat dan menundukkan dunia sangat dibutuhkan pula kemauan dan kemampuan.
Sementara kenyataan pelaku kerusakan di negeri ini sebagian besar orang islam. Bolehlah kita berapologia karena mayoritas pendududknya beragama Islam. Tapi apa memang demikian adanya? Tidakkah hal itu akibat langsung dari kegagalan model dakwah dan tarbiyah yang selama ini tengah berlangsung? Tidakkah zaman dahulu para da'i lebih berhasil mengislamkan penduduk asli bangsa ini yang mayoritas masih mengikuti keyakinan dinamisme, animism, dan hinduisme. Sedangkan sekarang ini para da'I kan hanya mengislamkan orang islam, kenapa tidak berhasil?
Padahal sangat sederhana dalam mengislamkan orang islam. Yaitu menjadikan seorang muslim komitmen dan konsisten dengan ajaran dinul islam. Sebagaimana dinyatakanNya:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
"Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta."
"Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Al Fusshilat [41] : 30 - 33)
Sungguh inilah sebuah realitas yang sangat sulit didapatkan saat segala sesuatu sudah dinilai dengan uang. Sungguh sangat ironis jika seorang muslim ikut melakukan hal serupa, dan anehnya merasa nyaman dengan menyerupai orang-orang yang tidak mendapatkan ridhaNya.
Penulis ialah Pengasuh Ma’had Tee Bee Tambak Bening Surabaya. Dikutip dari Buletin al Fath. alfath18@yahoo.com
Benarkah Shafar Menakutkan dan Bulan Kesialan?
Sekarang ini kita telah memasuki bulan Shafar, bulan kedua dari penanggalan Hijriyah. Oleh sebagian ulama, bulan Shafar ini diberi julukan Shofarul Khoir, artinya Shofar yang penuh kebaikan. Kenapa dinamakan demikian? Karena umumnya orang awam menyangka bahwa bulan Shofar adalah bulan sial atau penuh dengan bala (bencana). Sehingga untuk membuat rasa optimis umat Islam maka dinamakanlah Shofarul Khoir. Sehingga bulan Shafar tidak terkesan menakutkan apalagi dipercaya sebagai bulan kesialan. Padahal setiap bulan-bulan Islam itu memiliki kekhususan dan keistimewaan sendiri-sendiri, demikian pula Shafar.
Pada dasarnya hari dan bulan dalam satu tahun adalah sama. Tidak ada hari atau bulan tertentu yang membahayakan atau membawa kesialan. Keselamatan dan kesialan pada hakikatnya hanya kembali pada ketentuan takdir Ilahi.
Pada masa jahiliyah, orang Arab beranggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang tidak baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang Arab pada masa itu menunda segala aktivitas pada bulan Shafar karena takut tertimpa bencana. Begitu juga dalam tradisi kejawen, banyak hitungan-hitungan yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik, hari keberuntungan dan hari kesialan. Lalu bagaimana menurut syariah Islam?
Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, Rosulullah SAW meluruskan dan menjelaskan tentang hal-hal yang merupakan penyimpangan akidah itu. Rasulullah bersabda:
"Tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk, tidak boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Shafar."
Kemudian seorang A'roby (penduduk pedesaan arab), bertanya kepada Rasulullah:
"Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan onta yang semula sehat kemudian berkumpul dengan onta yang kudisan kulitnya, sehingga onta tersebut menjadi kudisan pula?"
Kemudian Rasulullah menjawab dengan sebuah pertanyaan:
"Lalu siapa yang menularkan (kudis) pada onta yang pertama?"
Ungkapan hadits laa ‘adwaa' atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah. Pada saat itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir ilahiyah.
Oleh sebab itu, untuk meluruskan keyakinan mereka, Rasulullah menjawab pertanyaan mereka dengan pertanyaan pula. Jika penyakit kudis onta yang sehat berasal dari onta yang sudah kudisan, onta yang kudisan dari yang lain, kemudian siapa yang menularkan penyakit kudis pada onta yang pertama kali terkena penyakit kudis?
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah SWT. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun walaupun kesemuanya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
"Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat".
Dalam hadits yang lain disebutkan:
"Larilah dari orang yang sakit lepra, seperti kamu lari dari singa."
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.
Pada masa peradaban Jahiliyyah, mereka menggantungkan nasib baik dan nasib buruk pada kepakan sayap seekor burung. Jika mereka akan bepergian atau aktivitas yang lain, mereka melapaskan seekor burung. Apabila burung terbang ke arah kanan atau belok ke arah kanan, maka pertanda nasib baik dan mereka akan meneruskan perjalanannya. Begitu sebaliknya, jika burung yang dilepaskan terbang ke arah kiri atau belok kiri, maka pertanda nasib buruk dan mereka akan mengurungkan perjalanannya, karena mereka meyakini bahwa hal itu pertanda buruk.
Dalam hadits riwayat Imam Thobroni, Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak akan mendapat derajat tinggi orang pergi ke dukun, orang bersumpah untuk kepentingan pribadi, atau orang yang kembali atau tidak jadi bepergian karena ramalan."
Maksud hadits walaa hammata adalah tidak baik dalam berprasangka buruk akan datangnya bencana atau musibah. Ketika itu orang Arab mempercayai, "Jika di malam hari ada burung hantu terbang di atas rumahnya, maka itu menandakan akan ada yang meninggal dunia."
Mereka juga mempercayai, jika ada pembunuhan yang belum terbalaskan, kemudian malam harinya ada burung hantu yang terbang di atas rumahnya, itu menandakan ruh dari orang yang dibunuh belum bisa tenang, masih melayang-layang menuntut pembalasan. Pemahaman dan kepercayaan semacam ini amat sangat keliru, sehingga Rasulullah meluruskan dengan hadits diatas.
Walaa Shafara atau tidak ada keburukan dalam bulan Shafar. Hadits tersebut untuk mematahkan keyakinan yang keliru di kalangan jahiliyah. Mereka menganggap bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang kurang baik, yang banyak musibah dan bencana, sehingga mereka menilai dan berprasangka buruk terhadap bulan Shafar.
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaandan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bualn yang lain merupakan bulan yang buruk. Misalnya, dalam bulan Romadlon ada peristiwa Nuzul al Qur'an dan Lailat al Qodar, dalam bulan Rojab ada Isro' dan Mi'roj dan dalam bulan Robi'ul Awwal ada peristiwa Maulid atau kelahiran Rasulullah SAW dan lain-lain.
Jikalau ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah bulan, itu bukan berarti bulan tersebut merupakan bulan musibah atau bulan yang penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai mencari hikmah di balik peristiwa itu, dan amaliah apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.
Imam Ibn Hajar ash Shafii tentang hari Nahas
Al Imam Ibn Hajar al Haitami pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya, sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelans, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah)
Kita semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia, bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu atau karena adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah.
Hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Semua hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh ulama Salaf, hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja.
Misteri Rabu Wekasan (Rabu akhir Bulan Shafar)
Lalu bagaimana dengan Rabu wekasan yang sering kita dengar bahwa pada hari itu adalah hari yang penuh bala dan musibah, bahkan bala selama setahun penuh diturunkan pada hari Rabu tersebut?
Ketahuilah bahwa tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Rabu akhir Shafar adalah hari nahas atau penuh bala. Pendapat di atas sama sekali tidak ada dasaran dari hadits Nabi Muhammad yang mulia. Hanya saja disebutkan dalam kitab Kanzun Najah wa as Suruur halaman 24, sebagian ulama Sholihin Ahl Kasyf (ulama yang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang samar) berkata:
"Setiap tahun turun ke dunia 320.000 bala (bencana) dan semua itu diturunkan oleh Allah pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka hari itu adalah hari yang paling sulit."
Dalam kitab tersebut, pada halaman 26 dinyatakan, sebagian ulama Sholihin berkata:
"sesungguhnya Rabu akhir bulan Shafar adalah hari nahas yang terus menerus."
Pendapat ulama Sholihin di atas, sama sekali tidak memiliki dasar hadits yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Oleh karena itu, jangan pesimis dan merasa ketakutan jika menghadapi Rabu wekasan. Sekali lagi harus diingat bahwa yang menurunkan bala' dan membuat kemanfaatan atau bahaya adalah Allah SWT dan atas kehendakNya, bukan karena hari tertentu atau perputaran matahari.
Perlu diingat pula, perilaku pesimis yang diakibatkan adanya sesuatu, sehingga meninggalkan pekerjaan atau bepergian karena hari tertentu misalnya atau karena adanya burung tertentu lewat ke arah tertentu, itu dinamakan thiyarah dan thiyarah ini jelas-jelas diharamkan karena itu adalah kebiasaan orang jahiliyah.
Bahkan kalau kita mau bersikap obyektif, ternyata hari Rabu adalah hari yang penuh keberkahan. Seperti diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi dalam Syu'ab al Iman bahwa doa dikabulkan pada hari Rabu setelah Zawaal (tergelincirnya matahari),
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ibn Abdillah, bahwa Nabi Muhammad SAW mendatangi masjid al Ahzab pada hari Senin, Selasa dan Rabu antara Dzuhur dan Ashar, kemudian beliau meletakkan serbannya dan berdiri lalu berdoa. Jabir berkata:
"Kami melihat kegembiraan memancar dari wajah beliau."
Demikian disebutkan dalam kitab-kitab sejarah (Kanzun Najah wa al Surur 36)
Kalau kita menganggap bahwa hari Rabu wekasan adalah hari penuh bala, lalu bagaimana dengan hari lainnya? Padahal Allah jjika hendak menurunkan azab atau bala tidak akan menunggu hari-hari tertentu yang dipilih dan ditentukan oleh manusia. Tapi Allah dengan kekuasaannya dapat bertindak dan berbuat sekehendak-Nya.
Maka seharusnya kita waspada dengan kemurkaan Allah setiap hari dan setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan bala itu akan turun. Maka perbanyaklah istighfar, bertaubat dan mengharap rahmat Allah, sebagaimana Rasulullah beristighfar seratus kali setiap hari. Inilah teladan kita, tidak menunggu Rabu wekasanv saja untuk _istighfar dan bertaubat.
Hal serupa sering kita dengar, bahwa sebagian orang tidak mau melakukan pernikahan pada bulan Syawal, takut terjadi ini dan itu yang semuanya tidak ada dasar hukum yang jelas. Budaya ini berawal pada zaman Jahiliyah, disebabkan pada suatu tahun, tepatnya bulan Syawal, Allah menurunkan wabah penyakit, sehingga banyak orang mati menjadi korban termasuk beberapa pasangan pengantin, maka sejak itu mereka kaum jahilin tidak mau melangsungkan pernikahan pda bulan Syawal.
Jadi, jika zaman sekarang ada seseorang tidak mau menikah pada bulan Syawal karena takut terkena penyakit atau musibah atau tidak punya anak, ketahuilah bahwa dia telah mengikuti langkah kaum jahiliyyah. Hal itu bukanlah perilaku umat Nabi Muhammad SAW. Sayyidah Aisyah RA bahkan menentang budaya seperti ini dan berkata:
"Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya?"
Nabi Muhammad juga menikahi Sayyidah Ummu Salamah juga pada bulan Syawal.
Wallahu a'lam.
Sayyid Muchsin Ibn Hamid
Pada dasarnya hari dan bulan dalam satu tahun adalah sama. Tidak ada hari atau bulan tertentu yang membahayakan atau membawa kesialan. Keselamatan dan kesialan pada hakikatnya hanya kembali pada ketentuan takdir Ilahi.
Pada masa jahiliyah, orang Arab beranggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang tidak baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang Arab pada masa itu menunda segala aktivitas pada bulan Shafar karena takut tertimpa bencana. Begitu juga dalam tradisi kejawen, banyak hitungan-hitungan yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik, hari keberuntungan dan hari kesialan. Lalu bagaimana menurut syariah Islam?
Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, Rosulullah SAW meluruskan dan menjelaskan tentang hal-hal yang merupakan penyimpangan akidah itu. Rasulullah bersabda:
"Tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk, tidak boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Shafar."
Kemudian seorang A'roby (penduduk pedesaan arab), bertanya kepada Rasulullah:
"Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan onta yang semula sehat kemudian berkumpul dengan onta yang kudisan kulitnya, sehingga onta tersebut menjadi kudisan pula?"
Kemudian Rasulullah menjawab dengan sebuah pertanyaan:
"Lalu siapa yang menularkan (kudis) pada onta yang pertama?"
Ungkapan hadits laa ‘adwaa' atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah. Pada saat itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir ilahiyah.
Oleh sebab itu, untuk meluruskan keyakinan mereka, Rasulullah menjawab pertanyaan mereka dengan pertanyaan pula. Jika penyakit kudis onta yang sehat berasal dari onta yang sudah kudisan, onta yang kudisan dari yang lain, kemudian siapa yang menularkan penyakit kudis pada onta yang pertama kali terkena penyakit kudis?
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah SWT. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun walaupun kesemuanya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
"Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat".
Dalam hadits yang lain disebutkan:
"Larilah dari orang yang sakit lepra, seperti kamu lari dari singa."
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.
Pada masa peradaban Jahiliyyah, mereka menggantungkan nasib baik dan nasib buruk pada kepakan sayap seekor burung. Jika mereka akan bepergian atau aktivitas yang lain, mereka melapaskan seekor burung. Apabila burung terbang ke arah kanan atau belok ke arah kanan, maka pertanda nasib baik dan mereka akan meneruskan perjalanannya. Begitu sebaliknya, jika burung yang dilepaskan terbang ke arah kiri atau belok kiri, maka pertanda nasib buruk dan mereka akan mengurungkan perjalanannya, karena mereka meyakini bahwa hal itu pertanda buruk.
Dalam hadits riwayat Imam Thobroni, Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak akan mendapat derajat tinggi orang pergi ke dukun, orang bersumpah untuk kepentingan pribadi, atau orang yang kembali atau tidak jadi bepergian karena ramalan."
Maksud hadits walaa hammata adalah tidak baik dalam berprasangka buruk akan datangnya bencana atau musibah. Ketika itu orang Arab mempercayai, "Jika di malam hari ada burung hantu terbang di atas rumahnya, maka itu menandakan akan ada yang meninggal dunia."
Mereka juga mempercayai, jika ada pembunuhan yang belum terbalaskan, kemudian malam harinya ada burung hantu yang terbang di atas rumahnya, itu menandakan ruh dari orang yang dibunuh belum bisa tenang, masih melayang-layang menuntut pembalasan. Pemahaman dan kepercayaan semacam ini amat sangat keliru, sehingga Rasulullah meluruskan dengan hadits diatas.
Walaa Shafara atau tidak ada keburukan dalam bulan Shafar. Hadits tersebut untuk mematahkan keyakinan yang keliru di kalangan jahiliyah. Mereka menganggap bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang kurang baik, yang banyak musibah dan bencana, sehingga mereka menilai dan berprasangka buruk terhadap bulan Shafar.
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaandan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bualn yang lain merupakan bulan yang buruk. Misalnya, dalam bulan Romadlon ada peristiwa Nuzul al Qur'an dan Lailat al Qodar, dalam bulan Rojab ada Isro' dan Mi'roj dan dalam bulan Robi'ul Awwal ada peristiwa Maulid atau kelahiran Rasulullah SAW dan lain-lain.
Jikalau ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah bulan, itu bukan berarti bulan tersebut merupakan bulan musibah atau bulan yang penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai mencari hikmah di balik peristiwa itu, dan amaliah apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.
Imam Ibn Hajar ash Shafii tentang hari Nahas
Al Imam Ibn Hajar al Haitami pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya, sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelans, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah)
Kita semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia, bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu atau karena adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah.
Hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Semua hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh ulama Salaf, hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja.
Misteri Rabu Wekasan (Rabu akhir Bulan Shafar)
Lalu bagaimana dengan Rabu wekasan yang sering kita dengar bahwa pada hari itu adalah hari yang penuh bala dan musibah, bahkan bala selama setahun penuh diturunkan pada hari Rabu tersebut?
Ketahuilah bahwa tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Rabu akhir Shafar adalah hari nahas atau penuh bala. Pendapat di atas sama sekali tidak ada dasaran dari hadits Nabi Muhammad yang mulia. Hanya saja disebutkan dalam kitab Kanzun Najah wa as Suruur halaman 24, sebagian ulama Sholihin Ahl Kasyf (ulama yang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang samar) berkata:
"Setiap tahun turun ke dunia 320.000 bala (bencana) dan semua itu diturunkan oleh Allah pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka hari itu adalah hari yang paling sulit."
Dalam kitab tersebut, pada halaman 26 dinyatakan, sebagian ulama Sholihin berkata:
"sesungguhnya Rabu akhir bulan Shafar adalah hari nahas yang terus menerus."
Pendapat ulama Sholihin di atas, sama sekali tidak memiliki dasar hadits yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Oleh karena itu, jangan pesimis dan merasa ketakutan jika menghadapi Rabu wekasan. Sekali lagi harus diingat bahwa yang menurunkan bala' dan membuat kemanfaatan atau bahaya adalah Allah SWT dan atas kehendakNya, bukan karena hari tertentu atau perputaran matahari.
Perlu diingat pula, perilaku pesimis yang diakibatkan adanya sesuatu, sehingga meninggalkan pekerjaan atau bepergian karena hari tertentu misalnya atau karena adanya burung tertentu lewat ke arah tertentu, itu dinamakan thiyarah dan thiyarah ini jelas-jelas diharamkan karena itu adalah kebiasaan orang jahiliyah.
Bahkan kalau kita mau bersikap obyektif, ternyata hari Rabu adalah hari yang penuh keberkahan. Seperti diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi dalam Syu'ab al Iman bahwa doa dikabulkan pada hari Rabu setelah Zawaal (tergelincirnya matahari),
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ibn Abdillah, bahwa Nabi Muhammad SAW mendatangi masjid al Ahzab pada hari Senin, Selasa dan Rabu antara Dzuhur dan Ashar, kemudian beliau meletakkan serbannya dan berdiri lalu berdoa. Jabir berkata:
"Kami melihat kegembiraan memancar dari wajah beliau."
Demikian disebutkan dalam kitab-kitab sejarah (Kanzun Najah wa al Surur 36)
Kalau kita menganggap bahwa hari Rabu wekasan adalah hari penuh bala, lalu bagaimana dengan hari lainnya? Padahal Allah jjika hendak menurunkan azab atau bala tidak akan menunggu hari-hari tertentu yang dipilih dan ditentukan oleh manusia. Tapi Allah dengan kekuasaannya dapat bertindak dan berbuat sekehendak-Nya.
Maka seharusnya kita waspada dengan kemurkaan Allah setiap hari dan setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan bala itu akan turun. Maka perbanyaklah istighfar, bertaubat dan mengharap rahmat Allah, sebagaimana Rasulullah beristighfar seratus kali setiap hari. Inilah teladan kita, tidak menunggu Rabu wekasanv saja untuk _istighfar dan bertaubat.
Hal serupa sering kita dengar, bahwa sebagian orang tidak mau melakukan pernikahan pada bulan Syawal, takut terjadi ini dan itu yang semuanya tidak ada dasar hukum yang jelas. Budaya ini berawal pada zaman Jahiliyah, disebabkan pada suatu tahun, tepatnya bulan Syawal, Allah menurunkan wabah penyakit, sehingga banyak orang mati menjadi korban termasuk beberapa pasangan pengantin, maka sejak itu mereka kaum jahilin tidak mau melangsungkan pernikahan pda bulan Syawal.
Jadi, jika zaman sekarang ada seseorang tidak mau menikah pada bulan Syawal karena takut terkena penyakit atau musibah atau tidak punya anak, ketahuilah bahwa dia telah mengikuti langkah kaum jahiliyyah. Hal itu bukanlah perilaku umat Nabi Muhammad SAW. Sayyidah Aisyah RA bahkan menentang budaya seperti ini dan berkata:
"Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya?"
Nabi Muhammad juga menikahi Sayyidah Ummu Salamah juga pada bulan Syawal.
Wallahu a'lam.
Sayyid Muchsin Ibn Hamid
Hukum Bid'ah
Kami rangkumkan tulisan dari Habib Mundzir al Musawa (Majelis Rasulullah Jakarta) dan KH. Baidlowi Muslich (Pengasuh Pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang) tentang bid'ah agar anda mendapat penjelasan yang paripurna tentang bid'ah.
Indeks
1. Pengertian Bid'ah
2. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid'ah hasanah
3. Siapakah yang pertama memulai Bid'ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
4. Bid'ah Dhalalah
5. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid'ah
Pengertian Bid'ah
Menurut Imam Syafii yang didukung oleh ulama lainnya menyatakan bahwa:
"Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran, sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para shahabat), maka itulah bid'ah dholalah dan ini dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran, sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji.
(Dr. Muhammad Ibn Alwy al Maliki, Dzikriyat wa nasabat, 109).
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid'ah hasanah
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan bid'ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah. Sebagaimana sabda beliau saw:
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"
(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Hadits ini menjelaskan makna Bid'ah hasanah dan Bid'ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw tersebut. Bukankah beliau saw menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka lakukanlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik umat. Beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tetapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalelanya kemaksiatan. Pastilah diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Inilah makna sebenarnya dari ayat:
... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا ...
"Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian"
Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua hal baru, yang baik, termasuk dalam kerangka syariah, sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya. Alangkah sempurnanya Islam.
Namun tentunya hal ini tidak berarti membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw. Atau bahkan menghalalkan apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw: "Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan ...". Inilah yang disebut Bid'ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar umat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid'ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid'ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi'in.
Siapakah yang pertama memulai Bid'ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah), yang Huffadh (penghafal) Alqur'an dan Ahli Alqur'an di zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq ra kepada Zayd bin Tsabit ra:
"Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur'an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Al Qur'an. Aku berkata, "Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?" Maka Umar berkata padaku, "Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan". Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur'an dan tulislah Al Qur'an!"
Zayd menjawab:
"Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur'an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?"
Maka Abu Bakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur'an".
(Shahih Bukhari hadits no. 4402 dan 6768)
Bila kita perhatikan konteks di atas Abu Bakar Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya, "Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar". Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid'ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al Qur'an, karena sebelumnya Al Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku. Tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal. Penulisan Al Qur'an adalah Bid'ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid'ah hasanah mengenai semua bid'ah adalah kesesatan, sebagai berikut.
Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan Shalat Subuh, menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang dan membuat airmata mengalir. Kami berkata:
"Wahai Rasulullah, seakan-akan (hal) ini adalah wasiat untuk perpisahan, maka berikanlah kami wasiat."
Rasul saw bersabda:
"Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Afrika. Sungguh di antara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak_ ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan geraham kalian (kiasan untuk kesungguhan) dan hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang Bid'ah _itu adalah kesesatan".
(Mustadrak Alas-shahihain hadits no. 329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Sedangkan sunnah khulafa'ur rasyidin seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Abu Bakar Shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui, menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Al Qur'an yang selesai penulisannya di masa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah, sempurnalah sudah keempat manusia utama di umat ini, khulafa'ur rasyidin melakukan bid'ah hasanah.
* Abu Bakar Shiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur'an
* Umar bin Khattab ra di masa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata, "Inilah sebaik-baik Bid'ah!" (Shahih Bukhari hadits no. 1906)
* Penyelesaian penulisan Al Qur'an di masa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Al Qur'an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy.
* Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui penulisan Al-Qur'an hingga selesai.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw:
Dua kali adzan di Shalat Jumat. Tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw. Tidak pula di masa Khalifah Abu Bakar shiddiq ra. Khalifah Umar bin khattab ra pun belum memerintahkannya. Namun baru dilakukan di masa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini.
(Shahih Bulkhari hadits no. 873).
Siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid'ah? Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat khulafa'ur rasyidin ini tak paham makna _Bid'ah?
Bid'ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid'ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid'ah dhalalah. Bid'ah dhalalah ini banyak jenisnya seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa'ur rasyidin. Di antaranya pula adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa'ur rasyidin, sedangkan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf dan menasihatkan umatnya dengan, "Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafa'ur rasyidin."
Bagaimana Sunnah Rasul saw? Beliau saw membolehkan Bid'ah hasanah. Bagaimana sunnah Khulafa'ur rasyidin? Mereka melakukan Bid'ah hasanah. Maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid'ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid'ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid'ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing. Melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu'anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya ini pun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya. Tak pula Khulafa'ur rasyidin memerintahkan menulisnya. Namun para tabi'in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula ilmu musthalahul-hadits, nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan Bid'ah namun Bid'ah Hasanah.
Demikian pula ucapan Radhiyallahu 'anhu atas sahabat yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat. Walaupun itu disebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah. Tak ada ayat Qur'an atau hadits Rasul saw yang memerintahkan kita untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para tabi'in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid'ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas. Lalu muncul pula kini Al-Quran yang dikasetkan, di-CD-kan, program Al-Quran di ponsel, Al-Quran yang diterjemahkan. Ini semua adalah Bid'ah hasanah. Bid'ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid'ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam. Bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi Al-Quran di zaman sekarang. Karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid'ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid'ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid'ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (Bid'ah dhalalah).
Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua. Ingatlah ucapan amirul mukminin pertama ini. Ketahuilah ucapannya adalah Mutiara Al-qur'an, sosok agung Abu Bakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid'ah hasanah: "sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar".
Lalu berkata pula Zayd bin Haritsah ra:
"... bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw? Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abu Bakar ra) meyakinkanku (Zayd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua".
Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zayd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt. Curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid'ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa'ur rasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat. Amin.
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid'ah
al-Hafidh al-Muhaddits al-imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah (Imam Syafi'i)
Berkata Imam Syafii bahwa bid'ah terbagi dua, yaitu bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: "Inilah sebaik baik bid'ah".
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
al-imam al-hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah (Imam Qurtubi)
Menanggapi ucapan ini (dari Imam Syafi'i di atas), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi: "Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid'ah adalah dhalalah" (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid'atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur'an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya" (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid'ah yang baik dan bid'ah yang sesat.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
al-muhaddits al-hafidh al-imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
Penjelasan mengenai hadits: "Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya",
Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw: "Semua yang baru adalah Bid'ah, dan semua yang Bid'ah adalah sesat". Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid'ah yang tercela".
(Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa ulama membagi bid'ah menjadi 5, yaitu bid'ah yang wajib, bid'ah yang mandub, bid'ah yang mubah, bid'ah yang makruh dan bid'ah yang haram. Bid'ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid'ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Bid'ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan. Sedangkan bid'ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid'ah".
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
al-Hafidh al-muhaddits al-imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy rahimahullah (Imam Suyuti)
Mengenai hadits Bid'ah Dhalalah ini bermakna "Aammun makhsush", (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah: "... yang menghancurkan segala sesuatu." (QS. Al-Ahqaf: 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur. Atau pula ayat: "Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya." (QS. As-Sajdah: 13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka (tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim. pen). Atau hadits: "aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini" (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw)
(Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? Atau seorang yang disebut Imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits? Atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?
Walillahittaufiq
Indeks
1. Pengertian Bid'ah
2. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid'ah hasanah
3. Siapakah yang pertama memulai Bid'ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
4. Bid'ah Dhalalah
5. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid'ah
Pengertian Bid'ah
Menurut Imam Syafii yang didukung oleh ulama lainnya menyatakan bahwa:
"Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran, sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para shahabat), maka itulah bid'ah dholalah dan ini dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran, sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji.
(Dr. Muhammad Ibn Alwy al Maliki, Dzikriyat wa nasabat, 109).
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid'ah hasanah
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan bid'ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah. Sebagaimana sabda beliau saw:
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"
(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Hadits ini menjelaskan makna Bid'ah hasanah dan Bid'ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw tersebut. Bukankah beliau saw menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka lakukanlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik umat. Beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tetapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalelanya kemaksiatan. Pastilah diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Inilah makna sebenarnya dari ayat:
... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا ...
"Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian"
Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua hal baru, yang baik, termasuk dalam kerangka syariah, sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya. Alangkah sempurnanya Islam.
Namun tentunya hal ini tidak berarti membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw. Atau bahkan menghalalkan apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw: "Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan ...". Inilah yang disebut Bid'ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar umat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid'ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid'ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi'in.
Siapakah yang pertama memulai Bid'ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah), yang Huffadh (penghafal) Alqur'an dan Ahli Alqur'an di zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq ra kepada Zayd bin Tsabit ra:
"Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur'an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Al Qur'an. Aku berkata, "Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?" Maka Umar berkata padaku, "Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan". Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur'an dan tulislah Al Qur'an!"
Zayd menjawab:
"Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur'an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?"
Maka Abu Bakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur'an".
(Shahih Bukhari hadits no. 4402 dan 6768)
Bila kita perhatikan konteks di atas Abu Bakar Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya, "Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar". Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid'ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al Qur'an, karena sebelumnya Al Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku. Tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal. Penulisan Al Qur'an adalah Bid'ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid'ah hasanah mengenai semua bid'ah adalah kesesatan, sebagai berikut.
Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan Shalat Subuh, menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang dan membuat airmata mengalir. Kami berkata:
"Wahai Rasulullah, seakan-akan (hal) ini adalah wasiat untuk perpisahan, maka berikanlah kami wasiat."
Rasul saw bersabda:
"Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Afrika. Sungguh di antara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak_ ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan geraham kalian (kiasan untuk kesungguhan) dan hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang Bid'ah _itu adalah kesesatan".
(Mustadrak Alas-shahihain hadits no. 329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Sedangkan sunnah khulafa'ur rasyidin seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Abu Bakar Shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui, menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Al Qur'an yang selesai penulisannya di masa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah, sempurnalah sudah keempat manusia utama di umat ini, khulafa'ur rasyidin melakukan bid'ah hasanah.
* Abu Bakar Shiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur'an
* Umar bin Khattab ra di masa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata, "Inilah sebaik-baik Bid'ah!" (Shahih Bukhari hadits no. 1906)
* Penyelesaian penulisan Al Qur'an di masa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Al Qur'an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy.
* Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui penulisan Al-Qur'an hingga selesai.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw:
Dua kali adzan di Shalat Jumat. Tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw. Tidak pula di masa Khalifah Abu Bakar shiddiq ra. Khalifah Umar bin khattab ra pun belum memerintahkannya. Namun baru dilakukan di masa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini.
(Shahih Bulkhari hadits no. 873).
Siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid'ah? Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat khulafa'ur rasyidin ini tak paham makna _Bid'ah?
Bid'ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid'ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid'ah dhalalah. Bid'ah dhalalah ini banyak jenisnya seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa'ur rasyidin. Di antaranya pula adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa'ur rasyidin, sedangkan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf dan menasihatkan umatnya dengan, "Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafa'ur rasyidin."
Bagaimana Sunnah Rasul saw? Beliau saw membolehkan Bid'ah hasanah. Bagaimana sunnah Khulafa'ur rasyidin? Mereka melakukan Bid'ah hasanah. Maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid'ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid'ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid'ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing. Melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu'anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya ini pun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya. Tak pula Khulafa'ur rasyidin memerintahkan menulisnya. Namun para tabi'in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula ilmu musthalahul-hadits, nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan Bid'ah namun Bid'ah Hasanah.
Demikian pula ucapan Radhiyallahu 'anhu atas sahabat yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat. Walaupun itu disebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah. Tak ada ayat Qur'an atau hadits Rasul saw yang memerintahkan kita untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para tabi'in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid'ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas. Lalu muncul pula kini Al-Quran yang dikasetkan, di-CD-kan, program Al-Quran di ponsel, Al-Quran yang diterjemahkan. Ini semua adalah Bid'ah hasanah. Bid'ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid'ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam. Bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi Al-Quran di zaman sekarang. Karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid'ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid'ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid'ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (Bid'ah dhalalah).
Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua. Ingatlah ucapan amirul mukminin pertama ini. Ketahuilah ucapannya adalah Mutiara Al-qur'an, sosok agung Abu Bakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid'ah hasanah: "sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar".
Lalu berkata pula Zayd bin Haritsah ra:
"... bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw? Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abu Bakar ra) meyakinkanku (Zayd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua".
Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zayd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt. Curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid'ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa'ur rasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat. Amin.
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid'ah
al-Hafidh al-Muhaddits al-imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah (Imam Syafi'i)
Berkata Imam Syafii bahwa bid'ah terbagi dua, yaitu bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: "Inilah sebaik baik bid'ah".
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
al-imam al-hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah (Imam Qurtubi)
Menanggapi ucapan ini (dari Imam Syafi'i di atas), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi: "Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid'ah adalah dhalalah" (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid'atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur'an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya" (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid'ah yang baik dan bid'ah yang sesat.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
al-muhaddits al-hafidh al-imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
Penjelasan mengenai hadits: "Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya",
Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw: "Semua yang baru adalah Bid'ah, dan semua yang Bid'ah adalah sesat". Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid'ah yang tercela".
(Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa ulama membagi bid'ah menjadi 5, yaitu bid'ah yang wajib, bid'ah yang mandub, bid'ah yang mubah, bid'ah yang makruh dan bid'ah yang haram. Bid'ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid'ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Bid'ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan. Sedangkan bid'ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid'ah".
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
al-Hafidh al-muhaddits al-imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy rahimahullah (Imam Suyuti)
Mengenai hadits Bid'ah Dhalalah ini bermakna "Aammun makhsush", (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah: "... yang menghancurkan segala sesuatu." (QS. Al-Ahqaf: 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur. Atau pula ayat: "Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya." (QS. As-Sajdah: 13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka (tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim. pen). Atau hadits: "aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini" (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw)
(Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? Atau seorang yang disebut Imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits? Atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?
Walillahittaufiq
Langganan:
Postingan (Atom)