Kamis, 18 Juni 2009

Bahaya Riba

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

Sekilas Tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :

* Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
* Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.

Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :

* Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
* Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
* Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
* Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
* mam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
* Makna Hadits Secara Umum

Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”

Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.

Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.

Makna Riba

Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.

* efinsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
* Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.

Riba Merupakan Dosa Besar

Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

Periodisasi Pengharaman Riba

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:

1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.

Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Buruknya Muamalah Ribawiyah

Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :

1. Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
2. Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
3. Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
4. Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
5. Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
6. Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
7. Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?

Praktik Riba Dalam Kehidupan

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :

1. Transaksi Perbankan.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.

Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.

2. Transaksi Asuransi.

Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).

Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.

3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.

Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.

Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)

Wallahu A’lam Bis Shawab.

By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

JALAN MENUJU DZIKIR YANG SHAHIH

Tinggallah sekarang memahami bagaimana dzikir yang benar. Dzikir yang benar adalah dzikir yang ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah semata. Bahkan keikhlasan ini juga sampai pada derajat, tidak boleh meninggalkannya karena takut riya'. Karena meninggalkan pekerjaan karena takut riya' adalah riya', sebagaimana dikemukakan Fudhail bin Iyadh:

قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، "تَرْكُ الْعَمَلَ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكُ،
وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيْكَ اللهُ مِنْهُمَا
Fudahil bin Iyadh mengatakan, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah Allah melepaskanmu dari kedua hal di atas.

Selain keikhlasan, tentu saja dibutuhkan kesesuaian dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW. Doa dan dzikir yang ma'tsur lebih utama dari doa yang tidak ma'tsur. Meskipun demikian, segala bentuk dzikir yang memuji Allah, memohon ampunannya atau bentuk-bentuk lainnya adalah dapat dilakukan, kendatipun tidak menggunakan lafal bahasa Arab sekalipun. Hal yang terpenting adalah agar senantiasa berdzikir dalam segala waktu dan kondisi. Di rumah, di masjid, di kendaraan, di jalanan, di tempat kerja, terlebih-lebih di medan da'wah…

Dua hal di atas merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan dzikir. Dalam Al-Adzkar, Imam Nawawi menyarankan agar orang yang seyogyanya memperhatikan adab-adab dalam melakukan dzikir. Terutama ketika seseorang sedang berada dalam rumahnya, atau di suatu tempat yang layak. Diantara adab-adab tersebut adalah: hendaknya menghadap kiblat, posisi duduk yang menggambarkan kekhusyu'an dan ketakutan kepada Allah, menundukkan kepala, kemudian tempat yang digunakan untuk berdzikir hendaknya bersih dan sunyi, lebih afdhal juga jika seseorang dalam keadaan suci. Adapun jika berada pada suasana diluar masjid dan rumah, maka paling tidak keikhlasan, dan ketundukkan diri pada Allah SWT.

Dzikir adalah suatu hal yang paling indah dalam kehidupan fana ini. Oleh karenanya, sesungguhnya tidak ada alasan apapun, yang membolehkan seorang muslim meninggalkan dzikir. Justru semakin seorang muslim tenggelam dalam kelezatan dzikir, semakin pula ia rindu dan rindu pada Dzat yang di sebutnya dalam dzikirnya. Dan jika seorang hamba rindu pada Khlaiqnya, maka Sang Khaliq pun akan rindu padanya. Rasulullah SAW mengatakan, "barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allahpun merindukan pertemuan dengan-Nya…. Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang senantiasa Engkau rindukan…. Amiiin.

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan. Lc., M.Ag.

MENTADABURI AYAT-AYAT DZIKIR

Setidaknya terdapat sepuluh gambaran, yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an, dengan kaitannya pada penyebutan dzikir. Kesepuluh hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebagai perintah, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat AL-Ahzab 41-44:
ياأيها الذين ءامنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا. وسبحوه بكرة وأصيلا. هو الذي يصلي عليكم وملائكته ليخرجكم من الظلمات إلى النور وكان بالمؤمنين رحيما. تحيتهم يوم يلقونه سلام وأعد لهم أجرا كريما
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mu'min itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: "salam"; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka." (Al-Ahzab, 33:41-44)

2. Larangan melupakan dzikir; sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al'A'raf 204:
(ولا تكن من الغافلين)
"Dan janganlah kamu termasuk golongan mereka-mereka yang melupkan Allah (tidak berdzikir)"
(Al-A'raf, 7:204)
Kemudian juga dalam surat Al-Hasyr, 59:19 :
(ولا تكون كالذين نسوا الله فأنساهم أنفسهم، أولئك هم الفاسقون)
"Dan janganlah kamu menjadi termasuk orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakan mereka."

3. Mendapatkan pujian dan surga bagi para pendzikir..Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Ahzab, 33:35:

إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar."

4. Memiliki kaitan erat dengan kemenangan.Sebagaimanayang Allah firmankan dalam surat al-Anfal, 8:45 :
(واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)
"…Dan berdzikirlah kalaian yang banyak kepada Allah, semoga kalian beruntung."

5. Kerugian orang yang lalai berdzikir. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Munafiqun, 63:9 :
(يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."

6. Allah menyebut mereka-mereka yang menyebut-Nya. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat al-Baqarah, 2: 152 :
(فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون)
"Maka sebutlah Aku, niscaya Aku akan menyebut kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kufur."

7. Dzikir sebagai suatu hal yang teramat besar. Sebagaimana yang Allah firmankan dalamn surat Al-Ankabut, 29:45:
(ولذكر الله أكبر)
"Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (dari pada ibadah-ibadah lain)

8. Sebagai khatimah setiap amal shaleh. Sebagaimana yang Allah gambarkan sebagai penutup ibadah shalat, (Al-Jum'ah, 62:10):

فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."

9. Hanya orang-orang yang berdzikirlah, yang dapat mengambil faedah ayat-ayat Allah. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Ali Imran, 3: 190-191:
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب. الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka."

10. Allah menggandengkan dzikir dengan amalan-amalan shaleh lainnya, seperti dengan jihad. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al-Anfal, 8: 45:
(يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."

KEUTAMAAN HALAQOTU DZIKR

Selain dapat dilakukan secara "sirr" maupun "jahr", dzikir pun dapat dilakukan secara fardi dan jama'i. Rasulullah SAW juga menjelaskan mengenai keutamaan dzikir secara jama'i, yang dilakukan dalam halaqoh-halaqoh dzikir. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin juga mencantumkan bab khusus tentang keutamaan halaqoh dzikir (Bab ke 247), sebagaimana Imam Muslim juga mencantumkan dalam Shahehnya bab fadhl Majalis Dzikr. Bahkan jika diperhatikan dan ditadaburi, dalam Al-Qur'an pun Allah secara tersirat memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa komitmen dengan halaqoh dzikir:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِّيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بْالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (Al-Kahfi, 18:28)

Adapun dalam hadits, terdapat beberapa riwayat yang mengungkapkan keutamaan majalis dzikr, diantaranya adalah:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ ،قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ"
"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah sekelompok orang duduk dan berdzikir kepada Allah, melainkan mereka akan dikelilingi para malaikat, mendapatkan limpahan rahmat, diberikan ketenangan hati, dan Allah pun akan memuji mereka pada orang yang ada di dekat-Nya." (HR. Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ مِنْ أَهْلِ الْكِرَمِ، فَقِيْلَ مَنْ أَهْلُ الْكِرَمِ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟، قَالَ مَجَالِسُ الذِّكْرِ فِيْ الْمَسَاجِدِ. (رواه أحمد)
"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman pada hari kiamat, 'orang-orang yang berkumpul akan mengetahui siapakah mereka yang termasuk ahlul karam (orang yang mulia)', seorang sahabat bertanya, siapakah ahlul kiram ya Rasulullah SAW?, beliau menjawab, "majlis-majlis dzikir di masid-masjid." (HR. Ahmad)

Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا وَمَا رِياَضُ الْجَنَّةِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟،قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ، فَإِنَّ لِلَّهِ تَعَالىَ سَيَّارَاتٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حَلَقَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوْا بِهِمْ. (رواه أحمد والترمذي والبيهقي)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka kelilingilah ia." Sahabat bertanya, "apakah taman-taman surga wahai Rasulullah SAW?", beliau menjawab, "yaitu halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah memiliki pasukan-pasukan dari malaikat, yangmencari halaqoh-halaqoh dzikir, yang apabila mereka menjumpainya, mareka akan mengelilinginya." (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi)

DZIKIR ANTARA HATI DAN LISAN

Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan, yang tidak mengenal batasan waktu. Bahkan Allah menyifati ulil albab, adalah mereka-mereka yang senantiasa menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring. Oleh karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniah, namun juga qolbiah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan bersamaan di lisan dan di hati. Sekiranyapun harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang lebih afdhal. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati, memahami maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam dzikir. Imam Nawawi menyatakan:

المُرَادُ مِنَ الذِّكْرِ حُضُوْرُ الْقَلْبِ ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ هُوَ مَقْصُوْدُ الذَّاِكرِ فَيَحْرُصُ عَلَى تَحْصِيْلِهِ ،
وَيَتَدَبَّرَ مَا يَذْكُرُهُ ، وَيَتَعَقَّلَ مَعْنَاهُ…
"Yang dimaksud dengan dzikir adalah menghadirkan hati. Seyogyanya hal ini menjadi tujuan dzikir, hingga seseorang berusaha merealisasikannya dengan mentadaburi apa yang didzikirkan
dan memahmi makna yang dikandungnya…"

Dari sinilah muncul perbedaan pendapat mengenai dzikir dengan suara keras, atau dengan suara pelan. Masing-masing dari kedua pendapat ini memiliki dalil yang kuat. Dan cukuplah untuk menegahi hal ini, firman Allah dalam sebuah ayat:

قُلِ ادْعُوْا اللهَ أَوِ ادْعُوْا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوْا فَلَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
" Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (Al-Isra', 17:110)


Meskipun teks ayat di atas dimaksudkan pada bacaan shalat, namun ada juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa dzikir dan doa juga termasuk yang dimaksudkannya juga.
قال ابن جرير: حدثنا يعقوب حدثنا ابن علية عن سلمة بن علقمة عن محمد بن سيرين قال: نبئت أن أبا بكر كان إذا صلى فقرأ خفض صوته وأن عمر كان يرفع صوته فقيل لأبي بكر لم تصنع هذا؟ قال أناجي ربي عز وجل وقد علم حاجتي فقيل أحسنت. وقيل لعمر لم تصنع هذا؟ قال أطرد الشيطان وأوقظ الوسنان قيل أحسنت فلما نزلت "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا" قيل لأبي بكر ارفع شيئا وقيل لعمر اخفض شيئا

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin, "bahwa Abu Bakar senantiasa mengecilkan suaranya dalam shalat, sedangkan Umar mengeraskan suaranya. Hingga suatu ketika Abu Bakar ditanya mengenai pelannya suara, beliau menjawab, "Aku bermunajat kepada Rabku, dan Allah telah mengetahui keperluanku." Sementara Umar menjawab, "Aku mengeraskannya untuk mengusir syaitan dan menghancurkan berhala." Maka tatkala turun ayat ini, dikatakan kepada Abu Bakar agar mengeraskan sedikit suaranya dan kepada Umar agar dikecilkan sedikit suaranya."

وَقَالَ أَشْعَثُ بْنُ سِوَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ وَهَكَذَا رَوَى الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ عَنْ هِشَامٍ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أََبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ
“Asy’ast berkata dari Ikrimah dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa. Demikian juga Imam Sufyan al-Tsauri dan Malik meriwyatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa.”

Dan doa merupakan bagian dari dzikir. Kemudian terlepas dari "jahr" dan "sir", yang paling penting adalah bagaimana hati dan lisan tidak pernah kering dari dzikrullah.

Keutamaan Dzikir

Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau kuburan.

بسم الله الرحمن الرحيم

Dzikir merambah aspek yang luas dalam diri insan. Karena dengan dzikir, seseorang pada hakekatnya sedang berhubungan dengan Allah. Dzikir juga merupakan makanan pokok bagi hati setiap mu'min, yang jika dilupakan maka hati insan akan berubah menjadi kuburan. Dzikir juga diibaratkan seperti bangunan-bangunan suatu negri; yang tanpa dzikir, seolah sebuah negri hancur porak poranda bangunannya. Dzikir juga merupakan senjata bagi musafir untuk menumpas para perompak jalanan. Dzikirpun merupakan alat yang handal untuk memadamkan kobaran api yang membakar dan membumi hanguskan rumah insan. Demikianlah diungkapkan dalam "Tahdzib Madarijis Salikin".

Rasulullah SAW juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati:

عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الذِّي يَذْكُرُ رَبَّهُ
وَالذِّي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
"Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)


Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga mengumpamakannya dengan rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau kuburan.

Seorang mu'min yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada Allah, akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada porsi seorang muslim biasa. Karena pada hakekatnya, ia ingin kembali menghidupkan hati mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia dapat mengemban amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup remang-remang, atau bahkan juga turut mati dan porak poranda.


URGENSI DZIKIR DALAM KEBERSIHAN HATI SEORANG DA'I

Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur'an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram (13:28)

الذِّيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang."

Ketenangan bukanlah sebuah kata yang tiada makna dan hampa. Namun ketenangan memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah SWT ketika memanggil seorang hamba untuk kembali ke haribaan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya, menggunakan istilah ini:

"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kamu pada Rabmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu dalam surga-Ku." (Al-Fajr, 27-30)

Ketenagan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan penulis melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati menjadi tenang. Dan ini pulalah letak urgensitas dzikir dalam hati seorang da'i.

Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang da'i, meninggalkan dzikir dalam setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan da'wah yang akan mereka lalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan, "Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri." Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang sangat indah:

تَفَقَّدُوْا الْحَلاَوَةَ فيِ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءٍ : فِي الصَّلاَةِ، وَفِي الذِّكْرِ وَفِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ…. وَإِلاَّ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلبَابَ مُغْلَقٌ
"Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur'an, dan kalian akan mendapatkannya…. Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup."


Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang da'i. Dengan dzikir, seorang hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana syaitan menundukkan manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah, amal shaleh menjadi hidup. Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad yang tidak memiliki ruh. Akankan aktifitas da'wah yang dilakukan da'i menjadi seperti jasad tanpa ruh?

Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah mengandung tiga pokok bahasan utama yang sekaligus merupakan pokok bahasa dalam kajian Islam, yaitu :

1. Aqidah (Tauhid).
2. Syari’ah .
3. Muamalah.

1.Aqidah (Iman Dengan Allah & Hari Pembalasan)

Al-Fatihah menanamkan keimanan dengan Allah dengan memperkenalkan tiga macam tauhid :

- Tauhid Rububiyah : Meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ( Ayat 2 ).

- Tauhid Asma’ & Sifat : Meyakini bahwa hanya Allah saja yang maha sempurna dalam segnap asma dan sifatnya. ( Ayat 1 & 3 ).

- Tauhid Uluhiyah : Meyakini bahwa hanya kepada Allah saja mengabdikan diri ( Ayat 5 ).


Surat al-Fatihah juga menanamkan keyakinan dengan hari pembalasan ( Ayat 4 )

2. Syari’ah .

Al-Fatihah membahas tentang tata cara hubungan manusia dengan Allah SWT, untuk mendapatkan keridhaan-Nya.( Ayat 5 )

3. Mu’amalah.

Al-Fatihah membahas juga tentang tatacara hubungan sesama manusia agar tercapai kehidupan yang bahagia penuh kenikmatan, dan terhindar dari kemurkaan Allah serta jauh dari kesesatan.( Ayat 7 ).


Ayat 1

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

Ayat yang pertama turun kepada Rasulullah SAW. Adalah : ( إقرأ باسم ربك ) “Bacalah dengan nama Tuahanmu!, yang mengandung makna agar Rasulullah SAW memulai menyampaikan wahyu kepada umatnya dengan menyebut nama-Nya. Untuk mengamalkan perintah Allah tsb. maka setiap awal surat yang disampaikan Rasulullah SAW, selain surat At-Taubah senantiasa diawali dengan menyebut “Basmalah” .

Dengan menyebut “Basmalah” pada setiap awal surat memberikan suatu pengertian bahwa wahyu yang disampaikan Rasulullah SAW. itu bukan dari dan atas kemauan Rasulullah SAW pribadi, akan tetapi ia berasal dari Allah SWT, dan atas perintah-Nya serta mengharapkan keridhaan dan keberkahan-Nya.

Sejalan dengan itu pula maka Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah agar pekerjaan tersebut mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT. Sebaliknya apabila tidak dimulai dengan menyebut nama Allah maka pekerjaan itu akan sia-sia. Sabda Rasulullah SAW :

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كل أمرذى بال لا يبدأفيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع (رواه أبو داود)

Artinya: Menurut keterangan Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW, pernah bersabda : ”Setiap perbuatan yang mengandung arti apabila tidak dimulai dengan “Basmalah” maka akan terputus berkatnya (tidak berhasil dengan baik)” ( H.R. Abu Daud ).

Ungkapan ( بسم الله) mengandung makna tersirat : Aku mulai, atau aku baca dengan nama Allah…; dengan demikian kalimat tersebut merupakan suatu doa’ atau pernyataan bahwa pekerjaan itu kita mulai dengan nama Allah, atau atas perintah Allah untuk mengharapkan ridha dan keberkahan daripada Allah SWT, serta terhindar dari hal-hal yang akan merusak pekerjaan tersebut atau merusak hati pelaku perjaan tersebut karena dorongan hawa nafsu dan gangguan syetan dan jin ataupun manusia yang mempunyai niat yang buruk.

الرحمن الرحيم

adalah dua nama dan sifat Allah yang terambil dari akar kata ( الرحمة) yang biasa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan “ Rahmat ”. Arti keduanya secara umum adalah : “Yang mempunyai rahmat yang melimpah ruah dan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya itu kepada makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Semua nikmat yang ada didunia ini berasal dari limpahan rahmat-Nya yang tidak akan pernah kering dan habis itu.

Secara rinci ada ulama yang menafsirkan الرحمن dengan : ”Sifat kasih sayang yang senantiasa tercurah, sedangkan الرحيم adalah aplikasi dari sifat tersebut, yaitu dengan segala kepemurahan-Nya Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepada makhluk-Nya . Sebaliknya ada pula yang menafsirkan kebalikan dari itu, yaitu الرحمن Adalah : Yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada makhlukNya tanpa pilih kasih. Apakah orang itu kafir atau muslim, apakah orang itu bersyukur atau kufur, apakah orang itu mukmin atau munafiq, semua diberi-Nya limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tidak akan pernah habis, karena itu biasa diterjemahkan dengan : Yang Maha Pemurah. Sedangkan الرحيم adalah sifat kasih sayang yang khusus diberikan kepada orang-orang yang beriman, baik didunia maupun diakhirat sebagaimana firman-Nya adaalam Surat Al-Ahzab ayat 43 :

(وكان بالمؤمنين رحيما )

artinya: “Allah itu Maha Penyayang terhadap orang yang beriman (QS.33:43).

Dengan membaca dan meyakini sepenuhnya bahwa semua nikmat yang ada didunia ini adalah milik Allah SWT, yang berasal dari limpahan Rahmat-Nya yang tidak putus putusnya dan meyakini pula bahwa Allah SWT, sangat pemurah untuk mencurahkan rahmat dan karunia-Nya maka timbullah pengharapan yang penuh dan optimis terhadap limpahan rahmat-Nya , sebaliknya dengan menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang tidak akan mendapatkan kebutuhan hidup lahir dan bathin selain hanya dari Allah SWT yang Maha Rahman dan Rahim, maka akan timbullah rasa ketergantrungan kita kepada Allah dalam segala hal , dan sekaligus hilang pulalah rasa ketergantungan kita kepada siapapun selain Allah SWT.

Rasa ketergantungan dan penuh harapan kepada Allah SWT, dalam segala hal itu merupakan cikal tauhid yang tumbuh dalam diri seorang mukmin yang selanjutnya akan membuahkan pengabdian kepada Allah SWT, dengan melakukan ibadah dan mua’amalah, aktifitas kehidupan yang dirdhai Allah dengan penuh keikhlasan dan kecintaan mengharapkan keredhaan Allah SWT Yang Maha Rahman dan Rahim.

Mengucapkan dan merenungkan makna “Rahman & Rahim” selanjutnya juga akan menimbulkan rasa malu untuk melakukan kemaksiatan atau pendurhakaan kepada Allah SWT, yang senantiasa dan tidak putus-putusnya melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan apapun dari hamba-Nya selain kebahagiaan hamba-Nya itu sendiri dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Apa yang dimaksud dengan ibadah?

Menurut bahasa Arab, ibadat (العبادة) artinya adalah (الخضوع والتذلل) Merendahkan dan menghinakan diri.(Lisanul arab 3:221) ),(الطاعة) Tunduk dan patuh secara mutlaq.(As-Shihah 408).

Menurut istilah, ibadat adalah:

أسم جامع لما يحبه الله ويرضاه,قولا أوفعلا,ظاهرا أوباطنا (إبن تيمية العبودية:4)

Ibadah adalah segenap aktifitas kehidupan yang yang dilakukan (dengan cara dan tujuan) yang diredhai Allah, baik perkataan maupun perbuatan, baik lahir maupun bathin.(Ibnu Taimiyah, al-‘Ubudiyah :4)


Dari denifisi yang dikemukakan Ibnu Taimiyah diatas dapat kita fahami bahwa ibadah itu mencakup segenap aspek kehidupan manusia. Apa saja yang kita kerjakan asal dikerjakan dengan cara dan tujuan yang diredhai Allah akan mempunyai nilai ibadat dihadapan Allah swt.

Pembahagian Ibadah.

Secara garis besarnya para ulama membagi ibadah kepada dua macam :

Pertama : Ibadah Mahdhah (Ubudiyah)
Kedua : Mu’amalah.

Pertama : Ibadah Mahdhah (Ubudiyah)

Ibadah mahdhah adalah ibadalah ritual dalam arti yang sempit dan terbatas; yaitu ibadat yang merupakan syi’ar agama yang telah diatur oleh syari’at aturan pelaksanaannya secara rinci dan ketat, tidak boleh dirobah sedikitpun; umpamanya shalat, puasa, zakat, haji dan umrah dll. Perinsip dasar dalam ibadat mahdhah ialah: Tidak boleh dikerjakan kecuali yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul SAW

Ibadah mahdhah merupakan pelatihan (diklat) pengabdian kepada Allah dalam bentuk yang terbatas untuk diaplikasikan dalam kehidupan yang tidak terbatas sehingga segenap kehidupan itu mempunyai nilai ibadah yang diredhai Allah swt.
Kedua : Mu’amalah.

Mu’amalah merupakan ibadah dalam arti kata yang luas, mencakup segenap aspek kehidupan manusia, terutama dalam bentuk “hablun minannas” hubungan sesama manusia dan lingkungan.Perinsip dasar dalam mu’amalah adalah : Semua boleh dilaksanakan asal tidak ada larangan Allah swt. dan Rasul saw.Umpamanya mengenai aturan makan dan minum; semua boleh dimakan dan diminum asal tidak ada laranganNya. Ayam, Kambing, Sapi dan Kerbau boleh dimakan karena tidak ada larangan memakannya. Akan tetapi Babi haram untuk dimakan karena ada laranganNya dari al-Quran dan Sunnah.Demikian juga mengenai aturan jual beli; apapun boleh anda perjual belikan asal tidak ada larangannya, umpamanya memperjual belikan sesuatu yang haram atau najis.Tidak ada aturan yang ketat dalam jual beli seperti aturan shalat, yang ada hanya aturan dasar, yaitu jangan curang atau menipu, dan jangan ada unsur riba.

Kenapa kita beribadah ?



Kita beribadah kepada Allah SWT adalah:



(1).Karena patuh dan tha’at pada perintah Allah SWT :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (القرة 21)

Wahai sekalian manusia! Beribadahlah kamu kepada Tiuhanmu yang menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.(al-Baqarah 2:21)



(2).Karena merupakan tujuan hidup manusia :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إلا لِيَعْبُدُون (الذاريات 56)

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepadaKu (adz-Dzariyat 51:56)



(3). Untuk mensyukuri nikmat Allah SWT :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ(1)فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ(2) (الكوثر)

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau nikmat yang banyak, maka

shalat lah untuk mensyukuri nikmat Tiuhanmu dan berkorbanlah (al-Kautsar 108:1-2)



(4). Karena merupakan fithrah manusia :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ(172)

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhan-Mu (yang akan kamu sembah)?” Mereka menjawab: Betul, (Engkau Tuhan yang kami sembah), kami menjadi saksi” (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhn).( Al-A’raf 7:172).



(5). Karena merupakan kebutuhan pokok rohani manusia :

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ (السجدة 9)

Kemudian Dia menyempurnakan (kejadian manusia) dan meniupkan roh (ciptaan-Nya) kedalam tubuhnya.(as-Sajdah 32:9)



(6). Untuk mengharapkan keampunan Allah SWT.(mensucikan diri dari dosa) :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى(14)وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى(15) (الأعلى)

Sungguh berbahagialah orang yang mensucikan dirinya (dari dosa), dan dia

Ingat kepada Tuhannya (berdzikir) dan melakukan shalat.(Al-A’la 87:14-15)



Sabda Rasulullah SAW :

عن عثمان ابن عفان رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلىالله عليه وسلم يقول:

مامن امرىءمسلم تحضره صلاة مكتوبة,فيحسن وضوءها وخشوعها,وركوعها إلا كانت كفارة لما قبلها من الذنوب مالم تؤت كبيرة,وذالك الدهر كله (رواه مسلم)

Utsman bin Afan r.a. berkata: Saya pernah mendengarkan Rasulullah saw.bersabda: Apabila seorang muslim mengetahui masuknya waktu shalat fardhu,lalu dia berudhuk dengan sempurna, dan shalat dengan khusyu’ demikian pula rukuknya, maka akan diampuni segenap dosanya yang telah berlalu selagi dia tidak melakukan dosa besar; demikianlah sepanjang masa (dosanya diampuni). (HR.Muslim)



(7).Karena mengharap ridha Allah dan surga :

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ(27)ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً(28)فَادْخُلِي فِي عِبَادِي(29)وَادْخُلِي جَنَّتِي (30) (الفجر)



27.Wahai jiwa yang tenang tenteram!

28.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diredhai (Allah swt.)

29.Maka masuklah dalam kelompok orang yang beribadah kepadaku.

30.Dan masuklah kedalam syurga-Ku. (Al-Fajr 89:27-30)

وَبَشِّرْ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ (البقرة 25)

Dan beri khabar gembiralah orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwasanya bagi mereka telah disediakan syurga yang mengalir dibawahnya sungai. (Al-Baqarah 2:25)

Dari uraian diatas jelaslah bahwa ibadat itu sepenuhnya adalah untuk kepentingan manusia sendiri, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat. Allah swt. sedikitpun tidak mempunyai kepentingan dari ibadat hamba-Nya.Bahkan Dia mewajibkan ibadah kepada hamba-Nya itu adalah karena cinta kasih sayangNya pada hamba tersebut agar hidup mereka tidak mengalami kesengsaraan didunia dan akhirat; ibarat seorang ibu yang menyuruh anaknya makan dan minum dengan penuh kasih sayang agar anaknya itu sehat dan selamat hidupnya, terhindar dari bahaya kelaparan.Dalam sebuah hadith qudsi Allah berfirman:”Kalaulah semua jin dan manusia, dari awal dan akhir zaman, semuanya bertaqwa kepada-ku setaqwa orang paling bertaqwa diantaramu, niscaya hal demikian itu tidaklah akan menambah kebesaran-Ku sedikitpun.” (HR.Muslim dari Abi Dzar al-Ghifariy)

Sayang sekali masih banyak manusia yang mengaku beriman masih merasakan ibadah sebagai beban yang memberati mereka padahal sebenarnya ibadah itu adalah kebutuhan hidup mereka yang asasi.

Syarat-Syarat Agar Ibadat diterima Allah SWT.

Menurut Ibnu Taymiyyah ada dua syarat agar ibadat diterima oleh Allah swt. dan diridhai-Nya :

1. Niat Yang Ikhlas.

2. Ittiba’(sesuai dengan ketentuan Allah & Rasul)



1. Niat Yang Ikhlas.

Ibnu Taymiyah menekankan bahwa syarat yang paling utama agar setiap ibadat diterima Allah swt. adalah:

“ Niat yang ikhlas, hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT, saja dalam beribadat ”, kerana ibadat itu bukan hanya bentuk teknis yang lahir tanpa roh, roh ibadat itu adalah ikhlas. Apabila hati tidak ikut aktif dalam ibadat, dan tidak ikhlas kerana Allah, hanya bentuk lahir yang kosong dari roh, maka Allah akan menolak ibadat tersebut. (Ibnu.Taymiyah 1981.41).

Niat adalah sesuatu yang disembunyikan manusia dalam hatinya; jika yang disembunyikannya dalam hati itu adalah mengharapkan keredaan Allah Yang Maha Tinggi, maka dia akan mendapatkan pahala daripada Allah SWT, Jika yang disembunyikannya dalam hati itu adalah keinginan agar dilihat manusia, maka tidak dianggap sebagai niat yang ikhlas, dan dia akan mendapatkan hukuman daripada Allah swt. sebagaimana firman Allah SWT :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ(5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ(6)

(سورة الماعون)

4.Maka celakalah orang-orang yang shalat;

5.Yaitu mereka yang lalai dari menyempurnakan shalatya,

6.Juga bagi orang-orang yang ria dalam dalam ibadatnya.(QS. 107:5-6)

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلآ قَلِيلا(142)

Sesungguhnya orang orang munafiq itu menipu Allah, danAllah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka sebetulnya ria dengan shalatnya dihadapan manusia. dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit. (QS.3:142)

Niat yang ikhlas, semata mata mengharapkan keridhaan Allah merupakan motifasi yang menggerakkan seorang hamba untuk beribadah kepada Allah SWT, sesuai dengan perintah-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (البينة 5)

Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya beribadat kepada Allah dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan agama dengan lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS.Al-Bayyinah 98: 5).

قُلْ إِنَّ صَلآتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَاي وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ(163)

162. Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk (mengharapkan keredhaan) Allah, Rabb (Tuhan) alam semesta

163. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS.Al-An’am: 162-163).



2. Ittiba’(Sesuai dengan ketentuan Allah & Rasul saw.).

Syarat yang kedua agar ibadah diterima Allah SWT, adalah : ” Sesuai dengan ketentuan Allah & Rasul SAW ”, dengan arti kata semua amal ibadah hendaklah dikerjakan sesuai dengan yang dicontohkan atau diajarkan oleh Rasulullah SAW

عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد .رواه أحمد ومسلم

Dari Aisyah r.a beliau berkata : Bersabda Rasulullah saw. ” Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak sesuai dengan syariat kami, maka amalnya itu akan ditolak ”

(.Ahmad.3:146 & Muslim.Aqdhiah 17.).

Mengatur syari’at ibadat adalah hak Allah dan RasulNya ; kerana itu tidak seorangpun yang berhak membuat syariat selain daripada Allah dan Rasul SAW. Sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al -Quran:

شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ ولا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ. (الشورى 13)

Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama sebagaimana telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan dan yang telah Kami wahyukan kepadamu apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS.Asy-Syura 42:13).

Ayat ini menjelaskan bahwa sumber asal daripada syari’at sepanjang zaman untuk semua agama (risalah) hanyalah Allah SWT.

أم لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَولا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. (الشورى 21)



Apakah mereka mempunyai sekutu (tuhan selain Allah) yang mesyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menetapkan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. (QS.Asy-Syura 42:21)

Ayat ini merupakan bantahan terhadap orang-orang kafir yang telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah swt. untuk membuat syari’at untuk mereka yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah SWT,dan tidak diizinkan Allah SWT. Karena itu maka semua ibadat dalam Islam diwajibkan agar mengambil dan meneladani Rasullullah SAW tanpa menambah, mengurangi, ataupun merobahnya sedikitpun sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

صلوا كما رأيتموني أصلي روا البخارى

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat. (Bukhari.Azan 18:631).

خذوا عني منا سككم رواه النسائى

Ambillah oleh mu manasik haji daripada aku.(An-Nasai.Manasik:220).

Rasulullah juga memberikan peringatan kepada orang-orang yang melakukan bid’ah dalam ibadat dan agama:

كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلا لة (رواه أبو داود)

Setiap orang yang mengada-ada dalam agama dan ibadah , adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.(Abu Daud:4583).

ومن أحدث فى أمرنا ما ليس منه فهو رد (رواه أبواداود)

Dan siapa yang meng-ada-adakan dalam urusan agama kami, yang tidak sesuai dengan agama itu, maka dianya ditolak. ( Abu Daud:4582).

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ( مسلم عقيدة 17)

Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak sesuai dengan agama kami, maka amalnya itu ditolak”. (Muslim.Aqdiah: 17). .

Allah SWT menyuruh kita untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh RasulNya, sebagaimana firman Allah SWT :

وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

0 (الحشر 7)

Dan apa saja yang diperintahkan oleh Rasulullah saw.kepada kamu terimalah serta amalkannlah, dan apa jua yang dilarangnya kamu melakukannya maka patuhilah larangannya.(QS.Al-Hasyr.59:7). (Ibn Taymiyah:1981:53)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Allah hanya akan menerima ibadat yang dikerjakan dengan ikhlas, semata-mata mengharapkan keredaan Allah SWT dan ibadat yang dikerjakan itu hendaklah sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, karena hanya Allah dan RasulNya yang berhak membuat dan menetapkan syari’at untuk hamba-hambaNya. Dengan demikian pula maka siapa yang menerima dan mengamalkan syari’at yang tidak berasal dari Allah SWT berarti dia telah mempersekutukan Allah SWT dalam ibadahnya.

Diantara orang-orang yang sesat menurut Al-Quran

Diantara orang-orang yang sesat menurut Al-Quran adalah :

Pertama : Orang Musyrik :

Siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya.(QS.An-Nisa’ 4:116)

Kedua: Orang kafir :

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar Telah sesat sejauh-jauhnya.(QS.An-Nisa’ 4:167)



Ketiga: Orang yang murtad :

Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, Kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.(QS.Ali Imran 3:90)



Keempat : Orang yang putus asa :

Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat"(QS.Hijir 15:56)

Kelima: Orang-orang yang durhaka :

Siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.(QS.Al-Ahzab 33:36)



Orang Nasrani dinyatakan sesat karena kemusyrikan mereka mempersekutukan Tuhan dengan Isa bin Maryam dan menganggapnya sebagai anak Tuhan. Bahkan Al-Quran menyatakan mereka kafir. Firman Allah SWT :

Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.(QS.Almaidah 5:17).

Demikianlah do’a dan harapan kita setiap membaca Al-Fatihah, semoga kita berada pada jalan lurus yang diridhai Allah, dan kiranya Allah memberi kita kenikmatan hidup, dan semoga Allah senantiasa memelihara keimanan dan keislaman kita agar tidak tergelincir menjadi orang yang dimjurkai-Nya dan orang yang sesat. Semua harapan itu kita nyatakan dalam satu kata : Amiin. Menurut para ulama amiin tidaklah termasuk Al-Fatihah, namun setiap selesai membaca Al-Fatihah kita disunatkan mengucapkan Amiin yang artinya adalah : Perkenankanlah Ya Allah. Landasannya adalah sabda Rasulullah SAW :

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا تلا غير مالغضوب عليهم ولا الضالين قال: اّميـــن حتى يسمع ممن يليه من

الصف الأول (رواه أبو د وابن ماجه)

Artinya:

Dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW. bila beliau membaca “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhalin” maka beliau membaca : amiin sehingga kedengaran oleh orang orang sekitar beliau”(HR.Abu Daud dan Ibnu Majah

Tafsir Al-Qur'an

Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.

Sejarah Tafsir Al-Qur'an

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :

1. Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafis bi al-Matsur.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

Bentuk Tafsir Al-Qur'an

Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

Tafsir bi al-Matsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:

“wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri....” (Surat Al Baqarah:187)

Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.

Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:

“alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......” (Surat Al An'am: 82)

Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :

“innasy syirka lazhulmun 'azhiim” (Surat Luqman: 13)

Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

Tafsir bi ar-Rayi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)

Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)

Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Al-Qur'an

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.

Metode Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

Metode Maudhu’i (Tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Macam Tafsir Al-Qur'an

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:

Tafsir Al-Qur'an
Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.

Tafsir Al-Qur'an

Diantara berbagai corak itu antara lain adalah :

* Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.
* Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
* Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
* Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
* Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
* Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

Perkembangan

Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Diantara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.


Label: Agama

Pemuda Adalah Tanaman Alloh SWT

Qola Nabiyu Sholallohu ‘alaihi wa salam :” Laa yazalullohu yaghrisyu fi hadhad-din i ghorssan yasta’miluhum fii to’atihi” HR Ibnu Madjah Juz 1 ha.5

Bersabda Nabi Muhammad SAW ” Tiada henti-hentinya Alloh senantiasa menanam tanaman dalam agama ini (Islam) , (yang mana) Alloh memberikan amalan kepada mereka dalam hal toat kepadaNYA”

Inilah hadits sabda Nabi Muhammad SAW yang berisi tentang rahasia Alloh.

Ternyata Alloh SWT memiliki “cara tersendiri” dalam menjaga keberlangsungan agama Islam agar terus terwujud di dunia.

Alloh SWT senantiasa mentaqdirkan mereka para generasi muda sehingga toat kepada Alloh, mencintai Agama Islam dan sanggup menegakkannya.

Mereka para pemuda (termasuk pemudi) hatinya digerakkan oleh Alloh untuk menggeluti ilmu dasar agama Islam, sebagaimana “paku bumi” yang ditancapkan untuk menjaga kelestarian Agama Islam di muka bumi.

Di tangan merekalah Islam lestari diestafetkan dari generasi ke generasi berikutnya sampai suatu zaman nanti di mana Alloh menghendaki mengakhiri segalanya.

Allohu akbar

Lihatlah Apa Yang Dikatakan, Jangan Lihat Siapa Yang Berkata

Dalam beberapa catatan hadits tentang keutamaan Ayat Kursi diceritakan bahwa suatu ketika Abu Huroiroh ditugaskan untuk menjaga harta zakat. Namun selama tiga malam berturut-turut selalu ada seorang maling yang datang dan mencuri harta zakat tersebut. Sebetulnya oleh Abu Huroiroh maling tersebut sudah tertangkap, namun karena si maling tersebut selalu berjanji untuk tidak datang lagi maka Abu Huroiroh merasa iba dan melepaskannya.

Pada hari ketiga, di saat Abu Huroiroh sudah sangat kesal atas kelakuan si maling tadi, barulah si maling tadi mengaku bahwa sesungguhnya dia adalah syetan. Dan si syetan tersebut sempat mengatakan:” Bila anda ingin agar saya tidak bisa datang lagi, maka bacalah “Ayat Kursi”.
Ketika kejadian tersebut dilaporkan kepada Rosululloh SAW, beliau menyabdakan : “ Benar juga (syetan) si pendusta itu”.
Dari hadits tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa walaupun yang mengatakan itu adalah syetan, tetapi karena yang dikatakan ketika itu adalah suatu kebenaran maka Rosululloh pun membenarkan. (Bahwa salah satu keutamaan Ayat Kursi adalah sebagai pengusir syetan).

Sekarang saya ingin membuat suatu perandaian. Andaikan tetangga anda tadi mengatakan:” Sebagai sesame tetangga, kita harus saling menghormati dan tidak boleh saling menipu”. Maka tidak boleh lantas mengatakan:” Betapapun bagusnya perkataanmu, saya tidak akan peduli, karena kamu suka berbuat maksiat”. Apakah lantas kita jadi boleh menyakiti tetangga atau boleh menipu orang lain gara-gara orang yang menasihatkan kalimat tadi adalah orang yang suika bernuat maksiat? ‘kan tidak begitu. Adapun orang yang suka berbuat maksiat, maka kemaksiatannya itu akan menjadi tanggung jawabnya dan tentu saja tidak boleh kita tiru dan tidak boleh kita idolakan.
Maka perlu kita renungkan suatu kalimah hikmah yang diriwayatkan pernah dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib : “Unzhur maa qiila , walaa tanzhur man qoola”. Cermati apa yang dikatakan , tak usah lihat siapa yang mengatakannya.

Sebagai manusia, kita tidak luput dari salah dan lupa. Dalam keadaan kita lupa, mestinya kita bersyukur bila ada yang mengingatkan kita, siapapun dia. Pada hakekatnya, Alloh jualah yang mengingatkan kita, dan peringatan dari Alloh bisa jadi lewat manusia yang menjadi perantara sampainya peringatan itu kepada kita. Mudah-mudahan Alloh SWT, memberi kekuatan pada kita agar kita bisa selalu berkata benar dan berbuat benar pula. Tidak hanya sekedar berkata atau mengaku benar tapi berbuat salah.

Wallohul-musta’aan walaa haula walaa quwwata illaa billah. Wasalaamu’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh

Menghindari Penyakit Hati

Manusia diberikan 2 jalan ada yang buruk dan ada yang baik, Allah telah berfirman dalam Al Qur’an surat Asy Syams ayat 7-10 yang arfinya “demi jiwa demi diri serta penyempurnaan penciptaannya, lalu Allah itu mengilhamkan jalan ke dalam jiwa itu berbuat kefasikan berbuat kejahatan serta berbuat ketaqwaan, sungguh beruntunglah orang yang selalu mensucikan bathinnya, mensucikan hatinya, mensucikan jiwanya dan sungguh merugilah mereka yang selalu mengotorinya“.

Dari firman Allah tersebut kita mengetahui dalam tubuh ini ada satu unsur yang disebut dengan jiwa atau nafs. Dalam wadah yang disebut jiwa atau nafs itu Allah SWT memberikan 2 (dua) jalan, yaitu jalan untuk berbuat baik ataupun jalan untuk tldak berbuat baik, Apakah jalan untuk melakukan perbuatan positif ataupun untuk perbuatan yang negatif, yang menguntungkan atau merugikan, bergantung kepada manusianya.

Dalam ayat lain Allah berfirman bahwa jika kalian beriman silakan, jika kafir silakan, terbuka jalannya. Mau diapakan wadah ini tergantung pada kita. Bukankah Allah SWT telah memberikan 2 (dua) wadah fujurohaa atau taqwahaa, jalan untuk berbuat kejahatan dan jalan untuk berbuat kebaikan.

Setelah itu Allah mengingatkan kepada kita, qod aflaha man dzakkaha waqadkhaba man dassaha, beruntung orang seandainya wadah itu diisi oleh akhlakul karimah, diisi dengan sifat-sifat yang terpuji. Amat rugilah mereka jika wadah itu dipenuhi dan diisi oleh sifat-sifat kejahatan dan kemudaratan, apakah yang datangnya dari hawa nafsu, syetan, iblis maupun sifat-sifat hewaniah.

Jika merujuk kepada Al qur’an, dan memperhatikan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW serta melihat pada karakter-karakter manusia-manusia yang terdahulu mulai para nabi dan rasul, para sahabat hingga pada zaman sekarang ini banyak, sifat-sifat; penyakit hati yang bersarang dalam jiwa kita. Kita harus waspada kalau kita menyimpan penyakit-penyakit hati, karena apapun yang kita ucapkan apa yang kita lihat dan apa yang kita hasilkan dalam pemikiran, yang berwujud dalam perbuatan sehari-hari adalah tergantung isi hati kita masing-masing.

Kalau hati atau qolbunya bersih, suci dan diisi sifat-sifat yang baik-baik tentu yang terpancar dari penglihatan, pendengaran dan pemikiran dalam tindak tanduk perbuatan kita sehari-hari tentu sesuai isi hati yang baik-baik, tetapi seandainya penglihatan, pendengaran dan pemikiran yang selalu negative, mata kita sulit untuk berpaling dari kemaksiatan. Pendengaran kita sulit untuk berpaling dari pendengaran negative, pikiran kita akan selalu buruk sangka. tingkah laku kita susah diarahkan.

Sombong dan angkuh adalah penyakit hati

Dalam sifat sombong dan sifat angkuh telah dicontoh oleh iblis latnatullah, ketika Allah SWT memerintahkan untuk bersujud kepada Adam as sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqaroh ayat 34 yang artinya “Dan (ingatlah ) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat : ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblls. Ia enggan dan sombong dan adalah ia termasuk golongan orang-orong kafir“.

Kemudian Iblis menanggapi perintah yang Allah sampaikan dengan sikap menyombongkan diri, karena itu iblis dicap oleh Allah sebagai makhluk yang terkutuk. Jika kita sebagai hamba Allah mengikuti jejak iblis maka jadilah kita sebagai makhluk yang terkutuk sama seperti iblis.

Faktor-faktor yang menyebabkan kesombongan adalah kekayaan, kecantikan, kegagahan, keilmuannya, pangkat serta jabatannya. Akibat dari sifat yang dimilikinya ini tidak mau lagi menerima kebenaran dari orang lain serta menganggap enteng terhadap orang lain.

Sifat iblis yang lain adalah sifat rakus dan tamak itu awalnya kata nabi telah ditampilkan oleh Adam as, karena tertipu oleh iblis latnatullah. Iblis menjanjikan kepada Adam as, dalam surat Al A’raaf ayat 20-21, yang artinya “Hai Adam aku ini penasehatmu yang aktif jika kamu terima nasehatku syukur dan tidak kau terima tidak ada masalah, Tahukah kamu mengapa , Allah melarangmu untuk mendekati pohon khuldi ini, lalu iblis mengatakan pohon ini yang mengekalkanmu hai Adam, jika anda dekati pohon itu, maka kamu akan kekal selama-lamanya di surga“.

Ini merupakan tipuan dan rayuan syetan dan iblis latnatullah, dimana Adam as mendekatinya dan makan buah tersebut serta auratnya terbuka, akhirnya Adam pun sadar karena telah ditipu oleh syetan dan iblis latnatullah, maka kemudian Adam as bertaubat kepada Allah “Robbana dzolamnaa anfushanaa wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minalkhosirinna - Ya Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau telah mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi“.

Ada lagi penyakit hati yang merupakan jejak iblis dan syetan selalu mengganggu. Yaitu sifat-sifat dengki ini sudah ditampilkan sejak dahulu oleh anak Adam as yaitu qabil, yang telah membunuh adik kandungnya yang bernama habil, karena apa?, karena sifat dengki kepada adiknya karena Allah menerima qurbannya sedangkan qurban qabil ditolak oleh Allah. Dalam hadits nabi bahwa kesombongan, ketamakan, kerakusan serta kedengkian itu merupakan sifat-sifat syetan dan akan menjadi sumber-sumber dari malapetaka dan sumber maksiat.

Kalau kita perhatikan zaman sekarang ini, kenapa para pengusaha, para pejabat dan para wakil-wakil rakyat tidak mau mendengar nasehat-nasehat yang benar. Karena sifat kesombongannya dan keangkuhannya, mereka menganggap bahwa pendapatnyalah yang benar sementara pernyataan orang lain itu salah, ini merupakan sifat-sifat syetan dan iblis latnatullah.

Rasa syukur atas pemberian Allah SWT

Penyakit hati seperti sombong, tamak, rakus dan dengki seyogyanya disingkirkan jauh-jauh dari jiwa kita masing-masing, seandainya sifat tersebut kita singkirkan, maka insya Allah kita menjadi hamba Allah yang terhormat dihadapan Allah, Bagaimana caranya untuk menghilangkan sifat-sifat syetan dan iblis itu adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ashar ayat 3 yang artinya “kecuall orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran“.

Salah satu cara menghilangkan sifat tamak dan rakus dengan cara menanamkan rasa syukur dan menikmati pemberian Allah apa adanya. Sifat dengki dan iri hati bisa kita hindarkan, dengan cara menerima suatu ujian dan musibah, karena segala sesuatu yang terjadi dengan izin oleh Allah SWT.

Oleh karena itu jika terjadi suatu kemewahan, pangkat, jabatan serta harta yang berlimpah kita harus bersyukur dan jika Allah memberikan suatu kesusahan dan kesengsaraan kita harus bersabar. Syukur jika berada di atas dan sabar bila berada di bawah. Mudah-mudahan kita selaku makhluk Allah SWT yang sempurna mampu mensyukuri dan menikmati pemberian dari Allah SWT dan terhindar dari sifat-sifat syetan dan iblis latnatullah.

Sumber : Indah Mulya Edisi No. 496 Th VI - 26 Oktober 2008

Surat Al-Ashr

Al-Ashri. Demikian bunyi ayat pertama dari surah al-Ashr. Surah yang sangat dalam dan luas isi kandungannya. Bahkan menurut ahli tafsir Muhammad ‘Abduh, bahwa seandainya hanya surat Al-Ashr ini saja yang diturunkan, maka sudah bisa mencakup seluruh kandungan Al-Quran.

Dalam surah tersebut, Allah SWT bersumpah dengan masa. Tentu kita akan bertanya, kenapa Allah bersumpah dengan masa?. Kenapa Allah bersumpah dengan makhluknya? Sementara kita makhluk-Nya tidak boleh bersumpah dengan selain Allah, karena Dia yang menciptakan seluruh makhluk di alam ini. Kita bersumpah dengan menyebut khaliq (yang menciptakan) para makhluk. Tetapi Allah bersumpah dengan masa, sesuatu yang kebih rendah dari Dzat Allah itu sendiri. Tak lain sebabnya adalah karena masa/waktu itu penting.

Setiap kali Allah bersumpah dengan sesuatu, maka berarti Allah menyuruh kita untuk memperhatikannya. Allah bukan hanya bersumpah atas masa, tetapi juga atas matahari, bulan, siang, malam dan sebagainya. Semuanya itu bertujuan supaya kita memperhatikan benda-benda dan makhluk-makhluk tersebut dalam rangka menambah keimanan kita kepada Allah SWT.

Allah bersumpah dengan masa, karena masa itu adalah sesuatu yang sangat penting. Dimana letak pentingnya masa? Karena masa itu terus berjalan. Masa tidak pernah berhenti, walaupun sesaat. Masa terus berputar dengan cepat. Masa tidak dapat kita kejar. Jangankan masa 5 atau 10 tahun yang lalu, sedetikpun waktu yang baru lewat tidak dapat kita kejar. Karena itu, kita harus bisa mempergunakan masa dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, kita akan menjadi orang yang merugi.

Pepatah Arab mengatakan, “Waktu itu laksana pedang, jika tidak kamu yang memotongnya, maka dia akan memenggalmu”. Dalam menyikapi waktu hanya ada dua pilihan. Mau menjadi orang yang dipenggal oleh waktu (merugi), atau sebaliknya menjadi yang memotong (mengambil keuntungan) dari perjalan waktu.

Dalam ayat selanjutnya dari surat Al-Ashr, Allah SWT menegaskan bahwa semua manusia pada hakekatnya merugi (la fii khusriri). Yang tidak merugi hanya orang-orang yang melakukan empat hal.

1. Aamanuu, yang beriman (beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kkab, rasul-rasul, hari akhir, dan takdir dan ketentuanAllah).
2. Wa ‘amilushshaalihaati, yang beramal shaleh baik sifatnya vertikal maupun horizontal, baik amal-amal mahdhah (ritual) maupunamal-amal sosial.
3. Wa tawaashau bil haqqi, saling menasehati kepada kebenaran dengan cara yang benar.
4. Wa tawashau bishshabri, saling memberi nasehat untuk bersikap sabar dengan cara sabar.

Merugi di sini janganlah diartikan seperti meruginya pedagang. Rugi yang dimaksud mencakup arti yang sangat luas, kerugian di dunia dan kerugian di akhirat. Di dunia, hidupnya tidak pernah tentram, walaupun segala keperluannya terpenuhi, dan di akhirat akan menerima azab yang maha dahsyat.

Orang yang beriman tidak akan merugi, sebab ia mempunyai tali untuk bergantung, rumah tempat berteduh, dan tempat untuk berlindung, yaitu Allah SWT. Orang yang tidak beriman kepada Allah, sama dengan orang yang tidak mempunyai tempat untuk berlindung. Ibarat orang yang berada di tengah lautan tanpa bantuan pelampung. Akibatnya ia akan terombang-ambing didera ombak gelimbang kehidupan dunia. Kadang-kadang dengan sedikit musibah yang menimpanya, dia sudah putus asa. Sedikit saja bahaya yang mengenai dirinya, dia mau bunuh diri.

Namun, iman saja belum cukup. Iman harus diikuti dengan amal sholeh. Iman letaknya di dalam hati, harus dizhahirkan (ditampakkan) dengan amal shaleh. Orang yang mengaku beriman, tetapi amal/ tingkah lakunya tidak shaleh, maka belum termasuk orang yang beriman dalam konteks surat Al- Ashr.

Selanjutnya, merekayang beriman dan beramal shaleh, haruslah saling memberi nasehat, wasiat kepada kebenaran (haq) dengan cara yang benar (ma ‘ruf), dan saling memberi nasehat, wasiat untuk senantiasa menjadi orang yang sabar dan dengan cara-cara yang sabar pula, tidak gegabah dan emosional.

Kata “saling” dalam terjemahan ayat mengindikasikan, bahwa memberi nasehat atau wasiat adalah kewajiban setiap orang yang beriman yang ingin beramal sholeh, tidak harus dimonopoli oleh orang-orang tertentu, sehingga orang-orang selain mereka tidak berhak menyampaikan nasehat. Semua manusia makhluk Allah SWT, sangat berpotensi berbuat khilaf, siapa pun dia. Nah, mereka yang mau terbuka menerima masukan orang lain, akan terbebas dari belenggu kerugian, karena masukan tersebut telah membuat dirinya tidak berlarut-larut dalam kekeliruan yang tidak diketahuinya sebelumnya.

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 8 Th. XXIII - 20 Februari 2009

Tiga Perkara Agar Hati Tidak Dengki

Menjadi manusia tentu saja harus berusaha mencapai derajat yang tinggi, apalagi sudah begitu banyak kenyataan yang menunjukkan banyaknya manusia dengan derajatnya yang rendah, bahkan sampai lebih rendah dari binatang. Derajat manusia yang tinggi tercermin dari akhlak pribadinya yang mulia, karena itu salah satu yang amat penting dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa adalah jangan sampai hati kita terserang penyakit iri hati atau dengki. Hal ini karena iri hati merupakan salah satu sifat yang sangat buruk, ia menjadi orang yang senang melihat orang susah dan sedih melihat orang senang.

Rasulullah saw memberikan resep kepada kita agar tidak dengki, beliau bersabda: “Semoga Allah mengangkat derajat seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang tidak fakih. Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang mukmin tidak akan ditimpa dengki: mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka, karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka” (HR. Bazzar),

Dari hadits di atas, ada tiga resep dari Rasulullah saw agar kita tidak memiliki perasaan dengki :
1. Ikhlas

Secara harfiyah, ikhlas artinya bersih, murni dan tidak ada campuran. Maksudnya adalah bersihnya hati dan pikiran seseorang dari motif-motif selain Allah dalam melakukan suatu amal.

Orang yang ikhlas adalah orang yang melakukan sesuatu karena Allah dan mengharapkan ridha Allah SWT dari amal yang dilakukannya, inilah amal yang bisa diterima oleh Allah SWT. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya ” (HR. Ibnu Majah).

Keikhlasan akan membuat jiwa seseorang terasa ringan dalam menyikapi sesuatu, maka ketika orang lain mendapatkan kesenangan, dia akan turut merasakan kesenangan meskipun ia tidak mendapat bagian dari kesenangan itu, sedangkan bila orang lain susah, ia turut merasakan kesusahan, bahkan siap menanggung kesusahan orang lain, sikap ini membuat seseorang tidak akan iri hati kepada orang lain.

Dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, keikhlasan akan membuat seseorang terhindar dari kedengkian kepada orang lain meskipun secara duniawi ia tidak mendapatkan apa-apa, karena ia melakukan suatu kebaikan karena Allah dan hanya ingin mendapatkan ridha Allah swt.

Karena itu, ketika orang lain mendapatkan keuntungan duniawi dari kebaikan yang dilakukan, ia turut senang meskipun ia sendiri tidak mendapatkannya meskipun ia melakukan kebaikan yang sama. Orang yang tidak ikhlas tentu saja akan kecewa berat bila ia tidak mendapatkan
keuntungan duniawi, sementara orang lain memperolehnya apalagi dalam jumlah yang banyak.

Sikap ini merupakan sesuatu yang amat merugikan diri kita sendiri, karena apa yang menyebabkan kita iri tidak kita peroleh, sedangkan nilai kebaikan dari apa yang kita lakukan tetap tidak kita peroleh.
2. Menasihati Pemimpin.

Memberi nasihat kepada penguasa, pemimpin atau pemerintah merupakan keharusan kita semua, sebagai masyarakat dari suatu bangsa. Karenanya kritik tidak hanya urusan pengurus partai politik dan anggota DPR/MPR. Pemimpin pada dasarnya memang harus ditaati, namun hal itu sebatas dalam soal-soal yang benar, karena itu ketaatan pada pemimpin tidaklah bersifat mutlak, isyarat ini bisa kita tangkap dengan tidak digunakannya kata atiy’u kepada ulil amri, padahal kata itu digunakan untuk menunjukkan ketaatan yang bersifat mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin diantara kamu ” (QS An Nisa [4]:59).

Meskipun kita harus melakukan kritik kepada pemimpin, tetap saja kritik itu harus kita sampaikan dengan sebaik-baiknya, yakni kata-kata yang lemah lembut. Nabi Musa dan Harun saja untuk mengingatkan Fir’aun harus dengan kata-kata yang baik, karena pada hakikatnya kritik itu untuk mengingatkan penguasa dari kemungkinan melakukan kesalahan atau kesalahan yang sudah dilakukannya sehingga nantinya menjadi penguasa yang takut kepada Allah swt, hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur’an: “Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ” (QS. Thaha [20]:44)

Dengan demikian, nasihat dan kritik yang benar kepada penguasa atau pemimpin adalah yang tulus, nasihat dan kritik yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran bukan nasihat dan kritik yang berorientasi pada kepentingan sesaat. Nasihat yang membawa kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, watawashou bil haq, watawashou bish shobr dan watawashou bil marhamah.

Manakala kita sudah memberikan nasihat kepada pemimpin, maka hati kita tidak ada perasaan dengki kepada pemimpin karena tanggungjawab dihadapan Allah SWT ada pada masing-masing orang.

Pemimpin yang baik akan sangat senang bila ada orang lain yang memberikan nasihat kepadanya, karena ia yakin nasihat itu punya maksud baik, bahkan jangankan nasihat, kritikpun akan diterima dengan senang hati, bagaimanapun cara orang mengkritik atau dengan gaya bahasa yang tidak enak sekatipun untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan. Pemimpin sejati selalu berusaha menangkap esensi pembicaraan siapapun sehingga tidak mempersoalkan gaya orang bicara, meskipun gayanya tidak rnenyenangkan.
3. Memiliki Ikatan Jamaah.

Memiliki ikatan jamaah dalam kerangka ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam merupakan sesuatu yang harus dikembangkan. Ini merupakan salah satu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita sebagaimana firmanNya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kami dahulu (masa jahiliyah) bercerai berai, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmatAllah orang-orang yang bersaudara ” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Ikatan jamaah yang kuat membuat seseorang berjuang secara kolektif, sehingga tidak ada jurang pemisah antara yang satu dengan lainnya. Prinsip yang dipegangnya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dalam jamaah ada pemimpin dan ada orang yang dipimpin.

Pemimpin dan anak buah akan berjalan serasi manakala memegang prinsip berjamaah dengan baik, yakni qiyadah mukhlishah (pemimpin yang ikhlas) dan jundiyah muti’ah (anak buah yang taat). Oleh karena itu, bila dalam suatu jamaah tidak ada ketaatan yang ditunjukkan oleh anak buah atau bawahan, salah satu yang harus dikoreksi oleh seorang pemimpin adalah apakah dia memang sudah betul-betul ikhlas atau tidak.

Dalam kehidupan berjamaah, berkembang banyak pemikiran, pendapat, bahkan kepentingan. Maka ikatan jamaah yang dipegang erat membuat semua orang akan selalu merujuk pada kaidah-kaidah berjamaah yang didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah sehingga ia tidak menafsirkan segala ketentuan berjamaah untuk kepentingan yang bersifat duniawi yang membuat ikatan berjamaah bisa menjadi kendor.

Manakala sifat iri hati sudah bisa kita hilangkan, maka kehidupan pribadi, keluarga, jamaah, masyarakat dan bangsa akan berlangsung dengan penuh kenikmatan, keakraban, persatuan sehingga jauh dari permusuhan antar individu dan kelompok. Bila tidak bisa kita hilangkan, maka iri hati telah menunjukkan kehidupan dunia yang penuh dengan pertentangan, konflik hingga peperangan yang membunuh begitu banyak nyawa manusia dan binatang serta merusak lingkungan hidup.