Al-Ashri. Demikian bunyi ayat pertama dari surah al-Ashr. Surah yang sangat dalam dan luas isi kandungannya. Bahkan menurut ahli tafsir Muhammad ‘Abduh, bahwa seandainya hanya surat Al-Ashr ini saja yang diturunkan, maka sudah bisa mencakup seluruh kandungan Al-Quran.
Dalam surah tersebut, Allah SWT bersumpah dengan masa. Tentu kita akan bertanya, kenapa Allah bersumpah dengan masa?. Kenapa Allah bersumpah dengan makhluknya? Sementara kita makhluk-Nya tidak boleh bersumpah dengan selain Allah, karena Dia yang menciptakan seluruh makhluk di alam ini. Kita bersumpah dengan menyebut khaliq (yang menciptakan) para makhluk. Tetapi Allah bersumpah dengan masa, sesuatu yang kebih rendah dari Dzat Allah itu sendiri. Tak lain sebabnya adalah karena masa/waktu itu penting.
Setiap kali Allah bersumpah dengan sesuatu, maka berarti Allah menyuruh kita untuk memperhatikannya. Allah bukan hanya bersumpah atas masa, tetapi juga atas matahari, bulan, siang, malam dan sebagainya. Semuanya itu bertujuan supaya kita memperhatikan benda-benda dan makhluk-makhluk tersebut dalam rangka menambah keimanan kita kepada Allah SWT.
Allah bersumpah dengan masa, karena masa itu adalah sesuatu yang sangat penting. Dimana letak pentingnya masa? Karena masa itu terus berjalan. Masa tidak pernah berhenti, walaupun sesaat. Masa terus berputar dengan cepat. Masa tidak dapat kita kejar. Jangankan masa 5 atau 10 tahun yang lalu, sedetikpun waktu yang baru lewat tidak dapat kita kejar. Karena itu, kita harus bisa mempergunakan masa dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, kita akan menjadi orang yang merugi.
Pepatah Arab mengatakan, “Waktu itu laksana pedang, jika tidak kamu yang memotongnya, maka dia akan memenggalmu”. Dalam menyikapi waktu hanya ada dua pilihan. Mau menjadi orang yang dipenggal oleh waktu (merugi), atau sebaliknya menjadi yang memotong (mengambil keuntungan) dari perjalan waktu.
Dalam ayat selanjutnya dari surat Al-Ashr, Allah SWT menegaskan bahwa semua manusia pada hakekatnya merugi (la fii khusriri). Yang tidak merugi hanya orang-orang yang melakukan empat hal.
1. Aamanuu, yang beriman (beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kkab, rasul-rasul, hari akhir, dan takdir dan ketentuanAllah).
2. Wa ‘amilushshaalihaati, yang beramal shaleh baik sifatnya vertikal maupun horizontal, baik amal-amal mahdhah (ritual) maupunamal-amal sosial.
3. Wa tawaashau bil haqqi, saling menasehati kepada kebenaran dengan cara yang benar.
4. Wa tawashau bishshabri, saling memberi nasehat untuk bersikap sabar dengan cara sabar.
Merugi di sini janganlah diartikan seperti meruginya pedagang. Rugi yang dimaksud mencakup arti yang sangat luas, kerugian di dunia dan kerugian di akhirat. Di dunia, hidupnya tidak pernah tentram, walaupun segala keperluannya terpenuhi, dan di akhirat akan menerima azab yang maha dahsyat.
Orang yang beriman tidak akan merugi, sebab ia mempunyai tali untuk bergantung, rumah tempat berteduh, dan tempat untuk berlindung, yaitu Allah SWT. Orang yang tidak beriman kepada Allah, sama dengan orang yang tidak mempunyai tempat untuk berlindung. Ibarat orang yang berada di tengah lautan tanpa bantuan pelampung. Akibatnya ia akan terombang-ambing didera ombak gelimbang kehidupan dunia. Kadang-kadang dengan sedikit musibah yang menimpanya, dia sudah putus asa. Sedikit saja bahaya yang mengenai dirinya, dia mau bunuh diri.
Namun, iman saja belum cukup. Iman harus diikuti dengan amal sholeh. Iman letaknya di dalam hati, harus dizhahirkan (ditampakkan) dengan amal shaleh. Orang yang mengaku beriman, tetapi amal/ tingkah lakunya tidak shaleh, maka belum termasuk orang yang beriman dalam konteks surat Al- Ashr.
Selanjutnya, merekayang beriman dan beramal shaleh, haruslah saling memberi nasehat, wasiat kepada kebenaran (haq) dengan cara yang benar (ma ‘ruf), dan saling memberi nasehat, wasiat untuk senantiasa menjadi orang yang sabar dan dengan cara-cara yang sabar pula, tidak gegabah dan emosional.
Kata “saling” dalam terjemahan ayat mengindikasikan, bahwa memberi nasehat atau wasiat adalah kewajiban setiap orang yang beriman yang ingin beramal sholeh, tidak harus dimonopoli oleh orang-orang tertentu, sehingga orang-orang selain mereka tidak berhak menyampaikan nasehat. Semua manusia makhluk Allah SWT, sangat berpotensi berbuat khilaf, siapa pun dia. Nah, mereka yang mau terbuka menerima masukan orang lain, akan terbebas dari belenggu kerugian, karena masukan tersebut telah membuat dirinya tidak berlarut-larut dalam kekeliruan yang tidak diketahuinya sebelumnya.
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 8 Th. XXIII - 20 Februari 2009
Kamis, 18 Juni 2009
Tiga Perkara Agar Hati Tidak Dengki
Menjadi manusia tentu saja harus berusaha mencapai derajat yang tinggi, apalagi sudah begitu banyak kenyataan yang menunjukkan banyaknya manusia dengan derajatnya yang rendah, bahkan sampai lebih rendah dari binatang. Derajat manusia yang tinggi tercermin dari akhlak pribadinya yang mulia, karena itu salah satu yang amat penting dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa adalah jangan sampai hati kita terserang penyakit iri hati atau dengki. Hal ini karena iri hati merupakan salah satu sifat yang sangat buruk, ia menjadi orang yang senang melihat orang susah dan sedih melihat orang senang.
Rasulullah saw memberikan resep kepada kita agar tidak dengki, beliau bersabda: “Semoga Allah mengangkat derajat seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang tidak fakih. Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang mukmin tidak akan ditimpa dengki: mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka, karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka” (HR. Bazzar),
Dari hadits di atas, ada tiga resep dari Rasulullah saw agar kita tidak memiliki perasaan dengki :
1. Ikhlas
Secara harfiyah, ikhlas artinya bersih, murni dan tidak ada campuran. Maksudnya adalah bersihnya hati dan pikiran seseorang dari motif-motif selain Allah dalam melakukan suatu amal.
Orang yang ikhlas adalah orang yang melakukan sesuatu karena Allah dan mengharapkan ridha Allah SWT dari amal yang dilakukannya, inilah amal yang bisa diterima oleh Allah SWT. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya ” (HR. Ibnu Majah).
Keikhlasan akan membuat jiwa seseorang terasa ringan dalam menyikapi sesuatu, maka ketika orang lain mendapatkan kesenangan, dia akan turut merasakan kesenangan meskipun ia tidak mendapat bagian dari kesenangan itu, sedangkan bila orang lain susah, ia turut merasakan kesusahan, bahkan siap menanggung kesusahan orang lain, sikap ini membuat seseorang tidak akan iri hati kepada orang lain.
Dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, keikhlasan akan membuat seseorang terhindar dari kedengkian kepada orang lain meskipun secara duniawi ia tidak mendapatkan apa-apa, karena ia melakukan suatu kebaikan karena Allah dan hanya ingin mendapatkan ridha Allah swt.
Karena itu, ketika orang lain mendapatkan keuntungan duniawi dari kebaikan yang dilakukan, ia turut senang meskipun ia sendiri tidak mendapatkannya meskipun ia melakukan kebaikan yang sama. Orang yang tidak ikhlas tentu saja akan kecewa berat bila ia tidak mendapatkan
keuntungan duniawi, sementara orang lain memperolehnya apalagi dalam jumlah yang banyak.
Sikap ini merupakan sesuatu yang amat merugikan diri kita sendiri, karena apa yang menyebabkan kita iri tidak kita peroleh, sedangkan nilai kebaikan dari apa yang kita lakukan tetap tidak kita peroleh.
2. Menasihati Pemimpin.
Memberi nasihat kepada penguasa, pemimpin atau pemerintah merupakan keharusan kita semua, sebagai masyarakat dari suatu bangsa. Karenanya kritik tidak hanya urusan pengurus partai politik dan anggota DPR/MPR. Pemimpin pada dasarnya memang harus ditaati, namun hal itu sebatas dalam soal-soal yang benar, karena itu ketaatan pada pemimpin tidaklah bersifat mutlak, isyarat ini bisa kita tangkap dengan tidak digunakannya kata atiy’u kepada ulil amri, padahal kata itu digunakan untuk menunjukkan ketaatan yang bersifat mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin diantara kamu ” (QS An Nisa [4]:59).
Meskipun kita harus melakukan kritik kepada pemimpin, tetap saja kritik itu harus kita sampaikan dengan sebaik-baiknya, yakni kata-kata yang lemah lembut. Nabi Musa dan Harun saja untuk mengingatkan Fir’aun harus dengan kata-kata yang baik, karena pada hakikatnya kritik itu untuk mengingatkan penguasa dari kemungkinan melakukan kesalahan atau kesalahan yang sudah dilakukannya sehingga nantinya menjadi penguasa yang takut kepada Allah swt, hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur’an: “Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ” (QS. Thaha [20]:44)
Dengan demikian, nasihat dan kritik yang benar kepada penguasa atau pemimpin adalah yang tulus, nasihat dan kritik yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran bukan nasihat dan kritik yang berorientasi pada kepentingan sesaat. Nasihat yang membawa kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, watawashou bil haq, watawashou bish shobr dan watawashou bil marhamah.
Manakala kita sudah memberikan nasihat kepada pemimpin, maka hati kita tidak ada perasaan dengki kepada pemimpin karena tanggungjawab dihadapan Allah SWT ada pada masing-masing orang.
Pemimpin yang baik akan sangat senang bila ada orang lain yang memberikan nasihat kepadanya, karena ia yakin nasihat itu punya maksud baik, bahkan jangankan nasihat, kritikpun akan diterima dengan senang hati, bagaimanapun cara orang mengkritik atau dengan gaya bahasa yang tidak enak sekatipun untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan. Pemimpin sejati selalu berusaha menangkap esensi pembicaraan siapapun sehingga tidak mempersoalkan gaya orang bicara, meskipun gayanya tidak rnenyenangkan.
3. Memiliki Ikatan Jamaah.
Memiliki ikatan jamaah dalam kerangka ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam merupakan sesuatu yang harus dikembangkan. Ini merupakan salah satu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita sebagaimana firmanNya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kami dahulu (masa jahiliyah) bercerai berai, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmatAllah orang-orang yang bersaudara ” (QS. Ali Imran [3]: 110).
Ikatan jamaah yang kuat membuat seseorang berjuang secara kolektif, sehingga tidak ada jurang pemisah antara yang satu dengan lainnya. Prinsip yang dipegangnya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dalam jamaah ada pemimpin dan ada orang yang dipimpin.
Pemimpin dan anak buah akan berjalan serasi manakala memegang prinsip berjamaah dengan baik, yakni qiyadah mukhlishah (pemimpin yang ikhlas) dan jundiyah muti’ah (anak buah yang taat). Oleh karena itu, bila dalam suatu jamaah tidak ada ketaatan yang ditunjukkan oleh anak buah atau bawahan, salah satu yang harus dikoreksi oleh seorang pemimpin adalah apakah dia memang sudah betul-betul ikhlas atau tidak.
Dalam kehidupan berjamaah, berkembang banyak pemikiran, pendapat, bahkan kepentingan. Maka ikatan jamaah yang dipegang erat membuat semua orang akan selalu merujuk pada kaidah-kaidah berjamaah yang didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah sehingga ia tidak menafsirkan segala ketentuan berjamaah untuk kepentingan yang bersifat duniawi yang membuat ikatan berjamaah bisa menjadi kendor.
Manakala sifat iri hati sudah bisa kita hilangkan, maka kehidupan pribadi, keluarga, jamaah, masyarakat dan bangsa akan berlangsung dengan penuh kenikmatan, keakraban, persatuan sehingga jauh dari permusuhan antar individu dan kelompok. Bila tidak bisa kita hilangkan, maka iri hati telah menunjukkan kehidupan dunia yang penuh dengan pertentangan, konflik hingga peperangan yang membunuh begitu banyak nyawa manusia dan binatang serta merusak lingkungan hidup.
Rasulullah saw memberikan resep kepada kita agar tidak dengki, beliau bersabda: “Semoga Allah mengangkat derajat seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang tidak fakih. Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang mukmin tidak akan ditimpa dengki: mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka, karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka” (HR. Bazzar),
Dari hadits di atas, ada tiga resep dari Rasulullah saw agar kita tidak memiliki perasaan dengki :
1. Ikhlas
Secara harfiyah, ikhlas artinya bersih, murni dan tidak ada campuran. Maksudnya adalah bersihnya hati dan pikiran seseorang dari motif-motif selain Allah dalam melakukan suatu amal.
Orang yang ikhlas adalah orang yang melakukan sesuatu karena Allah dan mengharapkan ridha Allah SWT dari amal yang dilakukannya, inilah amal yang bisa diterima oleh Allah SWT. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya ” (HR. Ibnu Majah).
Keikhlasan akan membuat jiwa seseorang terasa ringan dalam menyikapi sesuatu, maka ketika orang lain mendapatkan kesenangan, dia akan turut merasakan kesenangan meskipun ia tidak mendapat bagian dari kesenangan itu, sedangkan bila orang lain susah, ia turut merasakan kesusahan, bahkan siap menanggung kesusahan orang lain, sikap ini membuat seseorang tidak akan iri hati kepada orang lain.
Dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, keikhlasan akan membuat seseorang terhindar dari kedengkian kepada orang lain meskipun secara duniawi ia tidak mendapatkan apa-apa, karena ia melakukan suatu kebaikan karena Allah dan hanya ingin mendapatkan ridha Allah swt.
Karena itu, ketika orang lain mendapatkan keuntungan duniawi dari kebaikan yang dilakukan, ia turut senang meskipun ia sendiri tidak mendapatkannya meskipun ia melakukan kebaikan yang sama. Orang yang tidak ikhlas tentu saja akan kecewa berat bila ia tidak mendapatkan
keuntungan duniawi, sementara orang lain memperolehnya apalagi dalam jumlah yang banyak.
Sikap ini merupakan sesuatu yang amat merugikan diri kita sendiri, karena apa yang menyebabkan kita iri tidak kita peroleh, sedangkan nilai kebaikan dari apa yang kita lakukan tetap tidak kita peroleh.
2. Menasihati Pemimpin.
Memberi nasihat kepada penguasa, pemimpin atau pemerintah merupakan keharusan kita semua, sebagai masyarakat dari suatu bangsa. Karenanya kritik tidak hanya urusan pengurus partai politik dan anggota DPR/MPR. Pemimpin pada dasarnya memang harus ditaati, namun hal itu sebatas dalam soal-soal yang benar, karena itu ketaatan pada pemimpin tidaklah bersifat mutlak, isyarat ini bisa kita tangkap dengan tidak digunakannya kata atiy’u kepada ulil amri, padahal kata itu digunakan untuk menunjukkan ketaatan yang bersifat mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin diantara kamu ” (QS An Nisa [4]:59).
Meskipun kita harus melakukan kritik kepada pemimpin, tetap saja kritik itu harus kita sampaikan dengan sebaik-baiknya, yakni kata-kata yang lemah lembut. Nabi Musa dan Harun saja untuk mengingatkan Fir’aun harus dengan kata-kata yang baik, karena pada hakikatnya kritik itu untuk mengingatkan penguasa dari kemungkinan melakukan kesalahan atau kesalahan yang sudah dilakukannya sehingga nantinya menjadi penguasa yang takut kepada Allah swt, hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur’an: “Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ” (QS. Thaha [20]:44)
Dengan demikian, nasihat dan kritik yang benar kepada penguasa atau pemimpin adalah yang tulus, nasihat dan kritik yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran bukan nasihat dan kritik yang berorientasi pada kepentingan sesaat. Nasihat yang membawa kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, watawashou bil haq, watawashou bish shobr dan watawashou bil marhamah.
Manakala kita sudah memberikan nasihat kepada pemimpin, maka hati kita tidak ada perasaan dengki kepada pemimpin karena tanggungjawab dihadapan Allah SWT ada pada masing-masing orang.
Pemimpin yang baik akan sangat senang bila ada orang lain yang memberikan nasihat kepadanya, karena ia yakin nasihat itu punya maksud baik, bahkan jangankan nasihat, kritikpun akan diterima dengan senang hati, bagaimanapun cara orang mengkritik atau dengan gaya bahasa yang tidak enak sekatipun untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan. Pemimpin sejati selalu berusaha menangkap esensi pembicaraan siapapun sehingga tidak mempersoalkan gaya orang bicara, meskipun gayanya tidak rnenyenangkan.
3. Memiliki Ikatan Jamaah.
Memiliki ikatan jamaah dalam kerangka ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam merupakan sesuatu yang harus dikembangkan. Ini merupakan salah satu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita sebagaimana firmanNya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kami dahulu (masa jahiliyah) bercerai berai, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmatAllah orang-orang yang bersaudara ” (QS. Ali Imran [3]: 110).
Ikatan jamaah yang kuat membuat seseorang berjuang secara kolektif, sehingga tidak ada jurang pemisah antara yang satu dengan lainnya. Prinsip yang dipegangnya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dalam jamaah ada pemimpin dan ada orang yang dipimpin.
Pemimpin dan anak buah akan berjalan serasi manakala memegang prinsip berjamaah dengan baik, yakni qiyadah mukhlishah (pemimpin yang ikhlas) dan jundiyah muti’ah (anak buah yang taat). Oleh karena itu, bila dalam suatu jamaah tidak ada ketaatan yang ditunjukkan oleh anak buah atau bawahan, salah satu yang harus dikoreksi oleh seorang pemimpin adalah apakah dia memang sudah betul-betul ikhlas atau tidak.
Dalam kehidupan berjamaah, berkembang banyak pemikiran, pendapat, bahkan kepentingan. Maka ikatan jamaah yang dipegang erat membuat semua orang akan selalu merujuk pada kaidah-kaidah berjamaah yang didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah sehingga ia tidak menafsirkan segala ketentuan berjamaah untuk kepentingan yang bersifat duniawi yang membuat ikatan berjamaah bisa menjadi kendor.
Manakala sifat iri hati sudah bisa kita hilangkan, maka kehidupan pribadi, keluarga, jamaah, masyarakat dan bangsa akan berlangsung dengan penuh kenikmatan, keakraban, persatuan sehingga jauh dari permusuhan antar individu dan kelompok. Bila tidak bisa kita hilangkan, maka iri hati telah menunjukkan kehidupan dunia yang penuh dengan pertentangan, konflik hingga peperangan yang membunuh begitu banyak nyawa manusia dan binatang serta merusak lingkungan hidup.
Sunnah Rasul
Melaksanakan sunnah Rasulullah SAW sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam hal ibadah maupun muamalah (hablum minallahi wa hablum minannasi). Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya,”…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya “. (QS. Al-Hasyr[59]:7).
Disamping Al-Quran, sunnah Rasullah SAW merupakan pedoman hidup manusia. Dengan menjalankan kedua pedoman hidup tersebut, manusia bisa mencapai hidup yang sempurna, bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, ditinggalkannya salah satu pedoman tersebut akan membuat manusia kehilangan arah dan tersesat dalam hidup. Ada banyak hikmah yang bisa diambil apabila kita melaksanakan sunnah Rasul SAW, diantaranya:
1. Hidup Menjadi Seimbang
Kehidupan Rasulullah Saw selalu berlangsung dalam keseimbangan antara jasmani, akal dan qalbu (rohani). Hal itu tercermin dari sikap dan perbuatannya sehari-hari. Sunnah Rasulullah Saw telah menjelaskan aspek-aspek tertentu agar tercapainya hidup yang seimbang
* Aspek jasmaniah
Rasulullah Saw selalu mengajarkan agar bidup bersih, memakan makanan yang halal dan baik serta tidak berlebihan. Rasulullah Saw menyatakan, “Perutmu itu sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiganya untuk bernafas“. (QS. Al-Hadits).
Juga tentang keutamaan mukmin yang kuat jasmaniahnya, Rasulullah Saw, “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, (hal ini berlaku) dalam semua segi kebaikan“. (HR Muslim).
* Aspek Akal
Rasulullah Saw sangat menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam haditsnya Rasulullah Saw menyatakan: “Barangsiapa yang menjalani satu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan akan dimudahkan Allah baginya jalan ke surga“. (HR. Muslim).
Penguasaan terhadap ilmu qauliyah (kitabullah dan sunah Rasulullah SAW) dan kauniyah (alam semesta) bermanfaat untuk kepentingan manusia dalam mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak menjadi orang yang taklid buta, ikut-ikutan tanpa dasar pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“. (QS. Al-Isra’ [17]:36).
* Aspek Qalbu
Dalam al-Quran, Allah S WT berfirman, “Sesungguhnya orang-orangyang beriman itu adalah merekayangapabila disebut namaAllah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal “. (QS. Al-Anfaal [8]: 2).
Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk selalu bertawakkal dengan mengendalikan hawa nafsu agar sesuai dengan kehendak Allah SWT sehinggaqalbunyabersih, itulah hati orang yang beriman dan Rasulullah Saw bersabda, “Hati orang mukmin bersih yang didalamnya terdapat lampu yang bersinar, tapi kalau hatinya orang kafir itu hitam, kotor dan berpenyakit “. (HR. Ahmad dan Thabrani).
2. Dapat memiliki akhlak al-karimah
Rasulullah Saw diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia, oleh karena itu Rasulullah Saw mempunyai sifat-sifat mulia yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia agar dapat memiliki akhlakul karimah (akhlak yang baik), sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung “. (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Bagaimana seseorang seharusnya berakhlak kepada yang menciptakannya Allah SWT, harus beribadah dan mengabdi hanya karena-Nya. Bagaimana seharusnya akhlak kepada sesama manusia. Rasulullah Saw selalu menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya baik terhadap sahabat-sahabatnya maupun terhadap musuh dan lawan. Bagaimana akhlak kepada makhluk lain alam, manusia harus menjalankan fungsi peran dan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
3. Dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
Setiap manusia yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orangyang tidak meninggalkan (kepentingan) akhiratnya, karena (sibuk dengan kepentingan) dunianya. Dan tidak meninggalkan (kepentingan) dunianya, karena (tekun dengan kepentingan) akhiratnya. Dan tidak memberatkan (jadi tanggungan) orang lain “. (HR. Al-Khatib).
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 11 Th. XXIII - 13 Maret 2009
Disamping Al-Quran, sunnah Rasullah SAW merupakan pedoman hidup manusia. Dengan menjalankan kedua pedoman hidup tersebut, manusia bisa mencapai hidup yang sempurna, bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, ditinggalkannya salah satu pedoman tersebut akan membuat manusia kehilangan arah dan tersesat dalam hidup. Ada banyak hikmah yang bisa diambil apabila kita melaksanakan sunnah Rasul SAW, diantaranya:
1. Hidup Menjadi Seimbang
Kehidupan Rasulullah Saw selalu berlangsung dalam keseimbangan antara jasmani, akal dan qalbu (rohani). Hal itu tercermin dari sikap dan perbuatannya sehari-hari. Sunnah Rasulullah Saw telah menjelaskan aspek-aspek tertentu agar tercapainya hidup yang seimbang
* Aspek jasmaniah
Rasulullah Saw selalu mengajarkan agar bidup bersih, memakan makanan yang halal dan baik serta tidak berlebihan. Rasulullah Saw menyatakan, “Perutmu itu sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiganya untuk bernafas“. (QS. Al-Hadits).
Juga tentang keutamaan mukmin yang kuat jasmaniahnya, Rasulullah Saw, “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, (hal ini berlaku) dalam semua segi kebaikan“. (HR Muslim).
* Aspek Akal
Rasulullah Saw sangat menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam haditsnya Rasulullah Saw menyatakan: “Barangsiapa yang menjalani satu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan akan dimudahkan Allah baginya jalan ke surga“. (HR. Muslim).
Penguasaan terhadap ilmu qauliyah (kitabullah dan sunah Rasulullah SAW) dan kauniyah (alam semesta) bermanfaat untuk kepentingan manusia dalam mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak menjadi orang yang taklid buta, ikut-ikutan tanpa dasar pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“. (QS. Al-Isra’ [17]:36).
* Aspek Qalbu
Dalam al-Quran, Allah S WT berfirman, “Sesungguhnya orang-orangyang beriman itu adalah merekayangapabila disebut namaAllah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal “. (QS. Al-Anfaal [8]: 2).
Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk selalu bertawakkal dengan mengendalikan hawa nafsu agar sesuai dengan kehendak Allah SWT sehinggaqalbunyabersih, itulah hati orang yang beriman dan Rasulullah Saw bersabda, “Hati orang mukmin bersih yang didalamnya terdapat lampu yang bersinar, tapi kalau hatinya orang kafir itu hitam, kotor dan berpenyakit “. (HR. Ahmad dan Thabrani).
2. Dapat memiliki akhlak al-karimah
Rasulullah Saw diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia, oleh karena itu Rasulullah Saw mempunyai sifat-sifat mulia yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia agar dapat memiliki akhlakul karimah (akhlak yang baik), sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung “. (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Bagaimana seseorang seharusnya berakhlak kepada yang menciptakannya Allah SWT, harus beribadah dan mengabdi hanya karena-Nya. Bagaimana seharusnya akhlak kepada sesama manusia. Rasulullah Saw selalu menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya baik terhadap sahabat-sahabatnya maupun terhadap musuh dan lawan. Bagaimana akhlak kepada makhluk lain alam, manusia harus menjalankan fungsi peran dan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
3. Dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
Setiap manusia yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orangyang tidak meninggalkan (kepentingan) akhiratnya, karena (sibuk dengan kepentingan) dunianya. Dan tidak meninggalkan (kepentingan) dunianya, karena (tekun dengan kepentingan) akhiratnya. Dan tidak memberatkan (jadi tanggungan) orang lain “. (HR. Al-Khatib).
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 11 Th. XXIII - 13 Maret 2009
Akhlaq Mencari Rezeki
Allah SWT telah menjamin rezeki untuk setiap makhluk-Nya. Tiada suatu binatang melatapun yang tidak mendapat jaminan rezeki dari-Nya (QS. Huud [11]: 6). Manusia pun telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT asal ia mau berusaha, karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mau merubahnya sendiri.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi Saw yang selalu mendorong agar manusia memiliki semangat dalam mencari karunia (rezeki) Allah SWT itu. Alah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-A’raf [7]: 10).
Pada suatu ketika Rasulullah Saw sedang duduk-duduk dengan para sahabat, tiba-tiba tampaklah di sana seseorang yang masih muda yang amat kuat dan tubuhnya kekar. Pagi-pagi ia telah berangkat bekerja dengan penuh semangat. Para sahabat berkata, “Kasihan sekali pemuda ini, andaikata usianya yang masih muda dan tenaga yang masih kuat itu dia pergunakan untuk berjuang fi sabilillah, alangkahbaiknya“.
Mendengar ucapan sahabat itu, Rasulullah lantas berkata, “Janganlah kamu berkata seperti itu, sebab orang itu kalau keluarnya tadi dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar ia tidak sampai meminta-meminta pada orang lain, itu pun dijalan Allah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megah, maka itulah fi sabilisysyaithan atau karena kamu mengikut jalan syaitan.” (HR. Thabrani).
Sebagaimana hadits di atas menguraikan dan tampak bahwa mencari rezeki itu ada yang termasuk kategori fisabilillah ada juga yang fisabilisysyaithan. Kedua jalan itu jelas bertentangan. Jalan yang pertama jelas membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Sedang jalan kedua akan membuahkan kecelakaan dan kesengsaraan.
Tetapi namanya manusia, terkadang ia terbius dan tergila-gila dengan keindahan materi dunia, sehingga ia memilih jalan syaithan. Sebab menurutnya melalui jalan Allah (jalan yang lurus) tidak akan mendapatkan materi yang banyak. Maka dilaluilah jalan syaithan, yakni segala cara ditempuhnya dengan tidak mempertimbangkan halal atau haram.
Sebagai orang yang beriman haruslah kita yakin bahwa hanya dengan melalui jalan yang benar sajalah akan didapat rezeki yang berkah. Hal ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SWT berfirman kepada para malaikat yang diserahi tugas urusan rezeki Bani Adam, “hamba mana pun yang kalian dapati yang cita-citanya hanya satu (yaitu semata-mata untuk akhirat, jaminlah rezekinya di langit dan di bumi. Dan hamba manapun yang kalian dapati mencari rezeki dengan jujur karena berhati-hati mencari keadilan, berilah ia rezeki yang baik dan mudahkanlah baginya. Dan jika ia telah melampaui batas kepada selain itu, biarkanlah dia sendiri mengusahakan apa yang dikehendakinya. Kemudian dia tidak akan mencapai lebih dari apa yang telah Aku tetapkan untuknya“. (HR. Abu Naim dari Abu Hurairah).
Maka dari itu hendaknya kita mencari rezeki harus mengikuti akhlak yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu:
Niat yang Benar
Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh amal tergantung pada niatnya“. Sebagai seorang muslim dalam melakukan seluruh aktifitas termasuk mencari rezeki hendaknya secara ikhlas, yakni semata-mata karena Allah SWT. Harus disadari bahwa yang dilihat oleh Allah SWT adalah bagaimana kita melakukan aktifitas mencari rezeki, bukan seberapa banyak rezeki yang kita dapat dari suatu aktifitas yang kita lakukan.
Tidak Menzhalimi
Seorang muslim yang niatnya benar, yaitu karena dan untuk Allah SWT, maka ia pantang bekerja dengan menzhalimi orang lain. Betapa banyak orang yang tega menohok teman karena persaingan bisnis.
Banyak orang rela pergi ke dukun (dan sejenisnya) hanya untuk mengalahkan saingannya. Banyak orang yang dengan tega memungut dan memeras bawahanyang lemah tanpa alasan yang jelas. Demikian adajuga orang yang mengharuskan orang lain untuk memberikan uang pelicin (suap) agar ia dapat diterima kerja atau agar masalahnya cepat selesai dan lain-lain.
Bersyukur
Setelah rezeki (harta benda) ada ditangan, seseorang harus yakin bahwa semuanya itu hanyalah semata-mata anugerah Allah SWT, bahkan hakekatnya itu semua hanyalah milik Allah SWT. Sedangkan ia hanya dititipi saja. Maka dari itu ia wajib bersyukur, yaitu dengan mengakui bahwa semua itu adalah dari-Nya dan milik-Nya, dan tugasnya adalah mendayagunakan rezeki-rezeki tersebut untuk tujuan-tujuan usaha yang diridhai Allah SWT. Termasuk diantaranya berbagi kepada sesama, khususnya kepada orang-orang yang diwajibkan kepada pemilik rezeki untuk mengeluarkan sebagian rezekinya untuk mereka.
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at, No. 05 Thn. XXIII - 30 Januari 2009
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi Saw yang selalu mendorong agar manusia memiliki semangat dalam mencari karunia (rezeki) Allah SWT itu. Alah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-A’raf [7]: 10).
Pada suatu ketika Rasulullah Saw sedang duduk-duduk dengan para sahabat, tiba-tiba tampaklah di sana seseorang yang masih muda yang amat kuat dan tubuhnya kekar. Pagi-pagi ia telah berangkat bekerja dengan penuh semangat. Para sahabat berkata, “Kasihan sekali pemuda ini, andaikata usianya yang masih muda dan tenaga yang masih kuat itu dia pergunakan untuk berjuang fi sabilillah, alangkahbaiknya“.
Mendengar ucapan sahabat itu, Rasulullah lantas berkata, “Janganlah kamu berkata seperti itu, sebab orang itu kalau keluarnya tadi dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar ia tidak sampai meminta-meminta pada orang lain, itu pun dijalan Allah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megah, maka itulah fi sabilisysyaithan atau karena kamu mengikut jalan syaitan.” (HR. Thabrani).
Sebagaimana hadits di atas menguraikan dan tampak bahwa mencari rezeki itu ada yang termasuk kategori fisabilillah ada juga yang fisabilisysyaithan. Kedua jalan itu jelas bertentangan. Jalan yang pertama jelas membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Sedang jalan kedua akan membuahkan kecelakaan dan kesengsaraan.
Tetapi namanya manusia, terkadang ia terbius dan tergila-gila dengan keindahan materi dunia, sehingga ia memilih jalan syaithan. Sebab menurutnya melalui jalan Allah (jalan yang lurus) tidak akan mendapatkan materi yang banyak. Maka dilaluilah jalan syaithan, yakni segala cara ditempuhnya dengan tidak mempertimbangkan halal atau haram.
Sebagai orang yang beriman haruslah kita yakin bahwa hanya dengan melalui jalan yang benar sajalah akan didapat rezeki yang berkah. Hal ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SWT berfirman kepada para malaikat yang diserahi tugas urusan rezeki Bani Adam, “hamba mana pun yang kalian dapati yang cita-citanya hanya satu (yaitu semata-mata untuk akhirat, jaminlah rezekinya di langit dan di bumi. Dan hamba manapun yang kalian dapati mencari rezeki dengan jujur karena berhati-hati mencari keadilan, berilah ia rezeki yang baik dan mudahkanlah baginya. Dan jika ia telah melampaui batas kepada selain itu, biarkanlah dia sendiri mengusahakan apa yang dikehendakinya. Kemudian dia tidak akan mencapai lebih dari apa yang telah Aku tetapkan untuknya“. (HR. Abu Naim dari Abu Hurairah).
Maka dari itu hendaknya kita mencari rezeki harus mengikuti akhlak yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu:
Niat yang Benar
Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh amal tergantung pada niatnya“. Sebagai seorang muslim dalam melakukan seluruh aktifitas termasuk mencari rezeki hendaknya secara ikhlas, yakni semata-mata karena Allah SWT. Harus disadari bahwa yang dilihat oleh Allah SWT adalah bagaimana kita melakukan aktifitas mencari rezeki, bukan seberapa banyak rezeki yang kita dapat dari suatu aktifitas yang kita lakukan.
Tidak Menzhalimi
Seorang muslim yang niatnya benar, yaitu karena dan untuk Allah SWT, maka ia pantang bekerja dengan menzhalimi orang lain. Betapa banyak orang yang tega menohok teman karena persaingan bisnis.
Banyak orang rela pergi ke dukun (dan sejenisnya) hanya untuk mengalahkan saingannya. Banyak orang yang dengan tega memungut dan memeras bawahanyang lemah tanpa alasan yang jelas. Demikian adajuga orang yang mengharuskan orang lain untuk memberikan uang pelicin (suap) agar ia dapat diterima kerja atau agar masalahnya cepat selesai dan lain-lain.
Bersyukur
Setelah rezeki (harta benda) ada ditangan, seseorang harus yakin bahwa semuanya itu hanyalah semata-mata anugerah Allah SWT, bahkan hakekatnya itu semua hanyalah milik Allah SWT. Sedangkan ia hanya dititipi saja. Maka dari itu ia wajib bersyukur, yaitu dengan mengakui bahwa semua itu adalah dari-Nya dan milik-Nya, dan tugasnya adalah mendayagunakan rezeki-rezeki tersebut untuk tujuan-tujuan usaha yang diridhai Allah SWT. Termasuk diantaranya berbagi kepada sesama, khususnya kepada orang-orang yang diwajibkan kepada pemilik rezeki untuk mengeluarkan sebagian rezekinya untuk mereka.
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at, No. 05 Thn. XXIII - 30 Januari 2009
Mukhlish
Mukhlish adalah kata yang terambil dari bahasa Arab, artinya tulus hati, jujur, (AW. Munawwir, Kamus al Munawwir, hl 360). Dalam bahasa lndonesia Mukhlish dapat pula dimaknai orang yang ikhlas (orang yang tulus hatinya dan jujur). Orang yang ikhlas pun diartikan lebih luas dengan orang yang mengharap keridhaan Allah SWT, beriman kepada-Nya dan selalu berbuat kebaikan karena Allah SWT.
Ciri-ciri Orang Ikhlas
Untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang ikhlas dapat dikenal melalui ciri-cirinya. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan berbagai ciri orang ikhlas itu, antara lain:
Bersikap hati-hati karena Allah
Bersikap hati-hati karena Allah SWT, bukan berarti tidak dinamis, malas, apatis, lamban bekerja, setengah hati dalam berusaha atau menyesal menunggu takdir Tuhan. Tetapi hati-hati, di sini mengandung arti berusaha dengan giat, bekerja sungguh-sungguh dan melakukan yang terbaik sesuai keridhaan Allah SWT.
Hati-hati, takut melakukan kesalahan bukan karena adanya pengawasan manusia semata tetapi juga merasakan kehadiran Allah SWT. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang-orang. yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka ” (QS. Al Mukminun : 57).
Beriman Kepada Kitab Allah
Orang yang ikhlas akan berpegang teguh kepada ayat-ayat Allah. Sekarang ada kecenderungan, bahwa Al Qur’an hanya ditelaah dan dibaca oleh para ustadz, guru dan kyai. Sebagian umat Islam bila belum bisa baca Al Qur’an merasa sedih dan mereka terus belajar. Tetapi tidak jarang ada yangt idak merasa apa-apa bila belum bisa baca Al-Qur’an padahal sudah dewasa.
Lain halnya ketika saat ini bahasa Inggris, komputer jadi begitu penting dan nyatanya belum bisa, mereka merasa ketinggalan. Bagaimana kita beriman penuh kepada Al Qur’an jika masih ada yang belum bisa membaca Al-Quran? Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka” (QS. Al Mukminun: 58).
Setelah mampu membaca ayat-ayat Al Qur’an, orang-orang yang ikhlas itu berusaha memahami makna yang ada pada ayat itu. Mereka tidak merasa asing dengan pesan-pesan Allah SWT di dalam Al Qur’an. Kadang kala ketika seorang muslim tidak pemah membaca makna atau terjemahan Al-Qur’an, ia sering merasa aneh. Aneh mendengar arti atau makna firman Allah SWT ketika khatib/ustadz berpidato menyampaikan ayat-ayat-Nya. Firman Allah SWT: “Kitab ini (Al-Qur ‘an) tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 2).
Tidak mempersekutukan Allah.
Antara syirik dan tauhid dapat diibaratkan dengan diam dan bergerak. Jika seseorang diam tentu ia tidak bergerak. Demikian pula orang yang ikhlas memiliki tingkatan ketauhidan yang tinggi. Sebaliknya ia tidak mensekutukan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun) ” (QS. Al Mukminun: 59)
Tentunya pernyataan tidak syirik berulang kali disebut dalam ucapan syahadat,bagi orang yang ikhlas. Syahadat itu merupakan “benteng” sehingga ia tidak melanggar larangan Allah SWT. Selanjutnya selalu semangat beribadah atau beramal shaleh.
Orang yang ikhlas tidak akan tergoda dari bujuk rayu syetan supaya meminta tolong pada selain Allah SWT. la akan menjauhi perbuatan yang menodai nilai-nilai tauhid seperti, tahayul, khurafat dan syirik.
Memberi infaq karena Allah
Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Mukminun: 60).
Orang yang ikhlas tidak mengharapkan balasan dari orang yang diberi, dari orang yang ditolong. Tetapi harapannya hanya tertuju kepada Allah SWT. la akan berdoa agar kebaikan yang diberikan di jalan Allah itu betul-betul dibalas Allah SWT dengan kebaikan lagi.
Orang yang ikhlas akan memperhatikan betul waktu dan tata cara memberikan hartanya di jalan Allah, Saat berzakat, dan infak, ia akan hati-hati dari sikap riya. Saat menolong orang lain ia akan hati-hati dari sikap sum’ah (mengatakan kebaikannya pada orang lain), riya (ingin dpiuji) dan humazah (mencela atau menyakiti orang yang ditolong).
Orang ikhlas, setelah menafkahkan hartanya akan merasakan kebahagiaan tersendiri atau merasa puas, tetapi pada saat ia tak puas, maka ia berhusnuzzan kepada Allah SWT bahwa ibadah maaliyahnya diterima Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pandangan Ibnu Taimiyah.
la berkata: “Jika kamu tidak menemukan kenikmatan dalam hatimu, padahal kamu telah berbuat amal kebaikan, serta tidak kamu temukan kelapangan dalam dada, maka kamu perlu berprasangka bahwa Tuhan Maha Penerima. Maksudnya Allah mau tak mau harus memberikan balasan berupa pahala kepada orang yang telah beramal shaleh di dunia, balasan tersebut berupa kenikmatan yang telah ditemukan dalam hatinya berupa kelapangan dada dan ketenangan hati “. (DR.Khalid Abu Syadi, Kebaikan di atas Kebaikan, hl 26).
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah, No. 12/Thn. XIV - 20 Maret 2009
Ciri-ciri Orang Ikhlas
Untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang ikhlas dapat dikenal melalui ciri-cirinya. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan berbagai ciri orang ikhlas itu, antara lain:
Bersikap hati-hati karena Allah
Bersikap hati-hati karena Allah SWT, bukan berarti tidak dinamis, malas, apatis, lamban bekerja, setengah hati dalam berusaha atau menyesal menunggu takdir Tuhan. Tetapi hati-hati, di sini mengandung arti berusaha dengan giat, bekerja sungguh-sungguh dan melakukan yang terbaik sesuai keridhaan Allah SWT.
Hati-hati, takut melakukan kesalahan bukan karena adanya pengawasan manusia semata tetapi juga merasakan kehadiran Allah SWT. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang-orang. yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka ” (QS. Al Mukminun : 57).
Beriman Kepada Kitab Allah
Orang yang ikhlas akan berpegang teguh kepada ayat-ayat Allah. Sekarang ada kecenderungan, bahwa Al Qur’an hanya ditelaah dan dibaca oleh para ustadz, guru dan kyai. Sebagian umat Islam bila belum bisa baca Al Qur’an merasa sedih dan mereka terus belajar. Tetapi tidak jarang ada yangt idak merasa apa-apa bila belum bisa baca Al-Qur’an padahal sudah dewasa.
Lain halnya ketika saat ini bahasa Inggris, komputer jadi begitu penting dan nyatanya belum bisa, mereka merasa ketinggalan. Bagaimana kita beriman penuh kepada Al Qur’an jika masih ada yang belum bisa membaca Al-Quran? Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka” (QS. Al Mukminun: 58).
Setelah mampu membaca ayat-ayat Al Qur’an, orang-orang yang ikhlas itu berusaha memahami makna yang ada pada ayat itu. Mereka tidak merasa asing dengan pesan-pesan Allah SWT di dalam Al Qur’an. Kadang kala ketika seorang muslim tidak pemah membaca makna atau terjemahan Al-Qur’an, ia sering merasa aneh. Aneh mendengar arti atau makna firman Allah SWT ketika khatib/ustadz berpidato menyampaikan ayat-ayat-Nya. Firman Allah SWT: “Kitab ini (Al-Qur ‘an) tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 2).
Tidak mempersekutukan Allah.
Antara syirik dan tauhid dapat diibaratkan dengan diam dan bergerak. Jika seseorang diam tentu ia tidak bergerak. Demikian pula orang yang ikhlas memiliki tingkatan ketauhidan yang tinggi. Sebaliknya ia tidak mensekutukan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun) ” (QS. Al Mukminun: 59)
Tentunya pernyataan tidak syirik berulang kali disebut dalam ucapan syahadat,bagi orang yang ikhlas. Syahadat itu merupakan “benteng” sehingga ia tidak melanggar larangan Allah SWT. Selanjutnya selalu semangat beribadah atau beramal shaleh.
Orang yang ikhlas tidak akan tergoda dari bujuk rayu syetan supaya meminta tolong pada selain Allah SWT. la akan menjauhi perbuatan yang menodai nilai-nilai tauhid seperti, tahayul, khurafat dan syirik.
Memberi infaq karena Allah
Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Mukminun: 60).
Orang yang ikhlas tidak mengharapkan balasan dari orang yang diberi, dari orang yang ditolong. Tetapi harapannya hanya tertuju kepada Allah SWT. la akan berdoa agar kebaikan yang diberikan di jalan Allah itu betul-betul dibalas Allah SWT dengan kebaikan lagi.
Orang yang ikhlas akan memperhatikan betul waktu dan tata cara memberikan hartanya di jalan Allah, Saat berzakat, dan infak, ia akan hati-hati dari sikap riya. Saat menolong orang lain ia akan hati-hati dari sikap sum’ah (mengatakan kebaikannya pada orang lain), riya (ingin dpiuji) dan humazah (mencela atau menyakiti orang yang ditolong).
Orang ikhlas, setelah menafkahkan hartanya akan merasakan kebahagiaan tersendiri atau merasa puas, tetapi pada saat ia tak puas, maka ia berhusnuzzan kepada Allah SWT bahwa ibadah maaliyahnya diterima Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pandangan Ibnu Taimiyah.
la berkata: “Jika kamu tidak menemukan kenikmatan dalam hatimu, padahal kamu telah berbuat amal kebaikan, serta tidak kamu temukan kelapangan dalam dada, maka kamu perlu berprasangka bahwa Tuhan Maha Penerima. Maksudnya Allah mau tak mau harus memberikan balasan berupa pahala kepada orang yang telah beramal shaleh di dunia, balasan tersebut berupa kenikmatan yang telah ditemukan dalam hatinya berupa kelapangan dada dan ketenangan hati “. (DR.Khalid Abu Syadi, Kebaikan di atas Kebaikan, hl 26).
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah, No. 12/Thn. XIV - 20 Maret 2009
Aroma Dosa
Mohammad bin Wahsy, pernah berkata dalam muhasabahnya (perenungannya): “Seandainya dosa itu mempunyai aroma, tentu semua orang tidak akan senang duduk bersama saya“.
Bayangkan kalau dosa itu mempunyai aroma, maka semua orang tidak akan bisa hidup tenang, karena masih mencium bau busuknya. Apalagi efek sampingnya terhadap anggota tubuh kita, misalnya, ketika kita memakan hasil korupsi, lalu perut kita tiba-tiba buncit. Atau ketika kita selingkuh atau berzina lalu hidung kita menjadi belang, ketika mata kita suka melihat aurat wanita lalu mata kita tiba-tiba buta. Tentu semua orang tidak akan melakukan perbuatan dosa.
Tepatlah ucapan Imam Ghazali: “Dosa itu bagaikan debu yang menempel di kaca. Maka pandai-pandailah membersihkan kaca itu “. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya ” (QS. Asy-Syams: 9-10).
Kita bertambah yakin apabila hati kita bersih, Hati yang bersih akan memunculkan kedamaian, ketentraman, dan kesejukan. ltulah hati yang telah memperoleh percikan surga. Kalau situasi dan kondisi semacam itu telah terwujud dalam kehidupan sehari-hari, alangkah indahnya hidup.
Suasana kedamaian dan kasih sayang begitu terasa dalam kehidupan. Kehidupan keluarga (rumah tangga) penuh dengan nila-nilai kerukunan, di kantor (tempat kerja) pun telah tercipta suasana keharmonisan (kondusif), saling tegur sapa berlangsung sedemikian akrab, dengan tutur kata yang santun, sepanjang masa serasa berada di sebuah negara Baldatun toyyibatun warrabbun ghafur (Negara indah yang penuh dengan nilai-nilai keampunan dari Allah yang Maha Pengatur).
Tidak Sia-sia
Ada tiga yang tidak akan kembali, Kata-kata apabila telah diucapkan, waktu apabila telah berlalu, dan kesempatan yang terabaikan. Oleh karena itu, janganlah kita menyia-nyiakan umur dengan hanya menimbun dosa, lebih baik memperbanyak amal shaleh (berbuat kebajikan), yang nantinya akan mendapat pahala, yang merupakan jalan lebar menuju surga.
Setiap manusia tentu menginginkan surga karena ia adalah tempat bahagia, disediakan bagi orang-orang yang selalu meningkatkan kualitas taqwa dan kesabarannya. Untuk itu diperlukan gairah yang optimistis, menjadi manusia yang selalu condong untuk melakukan amal-amal shalih (kebajikan), sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT:
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga, dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun ” (QS. An Nisa: 124).
Apabila seseorang telah condong kepada kebaikan dengan dasar kejujuran, dan ia ingin beraudiensi (bertemu) dengan Allah SWT, maka ia akan terhindar dari noda-noda, terhindar dari kepalsuan, terhindar dari amal-amal buruk.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam rangka menjawab pertanyaan seorang sahabatnya, Abu Darda: “Ya Rasulullah, mungkinkah seorang mukmin mencuri? ”
Kata Nabi SAW: “Ya, kadang-kadang”.
la bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berzina? “.
Kata Nabi SAW: “Mungkin saja”.
Abu Darda bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berdusta? ”
Nabi SAW menjawab dengan ayat Al-Qur ‘an: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl: 105)
Maka, apabila seorang mukmin sudah tercium bau kebohongannya, dia bukanlah seorang mukmin, melainkan dia (hanyalah) orang Islam. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: “Bahwa orang-orang Arab Baduwi itu berkata: Kami telah beriman. (Allah berfirman) Katakanlah (kepada mereka): kamu belumberiman, tetapi katakanlah kami telah tunduk. karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Al Hujuraat: 14)
Jujur dan Bohong
Hindanlah kebiasaan berbohong, karena kebohongan akan melahirkan kelemahan-kelemahan dan jiwa pengecut. Sedangkan kejujuran
akan melahirkan keberanian. Sahabat Nabi SAW, AbuBakar as Shiddiq pernah menyampaikan sebuah hadits: “Kejujuran adalah amanah, sedangkan kebohongan adalah khianat “.
Apabila seluruh anggota tubuh kita khianati, tidak mau peduli dengan aturan-aturan Allah, ketika makan, istirahat, bekerja, maka akan mengakibatkan badan sakit. Begitu juga halnya hati kita “akan sakif apabila kita tidak mau ikut aturan-aturan-Nya.
Hanya orang-orang yang kuat imannya yang tidak bisa tercium aroma dosa mengontrol diri dengan menghindari tempat-tempat maksiat. Mendobrak belenggu nafsu, ingin segara masuk ke dalam hati nurani. Di saat itulah seorang mukmin akan menemukan cahaya ilahi, yang sempat terlepas dari dirinya.
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah Mo. 14/Thn. XIV - 3 April 2009
Bayangkan kalau dosa itu mempunyai aroma, maka semua orang tidak akan bisa hidup tenang, karena masih mencium bau busuknya. Apalagi efek sampingnya terhadap anggota tubuh kita, misalnya, ketika kita memakan hasil korupsi, lalu perut kita tiba-tiba buncit. Atau ketika kita selingkuh atau berzina lalu hidung kita menjadi belang, ketika mata kita suka melihat aurat wanita lalu mata kita tiba-tiba buta. Tentu semua orang tidak akan melakukan perbuatan dosa.
Tepatlah ucapan Imam Ghazali: “Dosa itu bagaikan debu yang menempel di kaca. Maka pandai-pandailah membersihkan kaca itu “. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya ” (QS. Asy-Syams: 9-10).
Kita bertambah yakin apabila hati kita bersih, Hati yang bersih akan memunculkan kedamaian, ketentraman, dan kesejukan. ltulah hati yang telah memperoleh percikan surga. Kalau situasi dan kondisi semacam itu telah terwujud dalam kehidupan sehari-hari, alangkah indahnya hidup.
Suasana kedamaian dan kasih sayang begitu terasa dalam kehidupan. Kehidupan keluarga (rumah tangga) penuh dengan nila-nilai kerukunan, di kantor (tempat kerja) pun telah tercipta suasana keharmonisan (kondusif), saling tegur sapa berlangsung sedemikian akrab, dengan tutur kata yang santun, sepanjang masa serasa berada di sebuah negara Baldatun toyyibatun warrabbun ghafur (Negara indah yang penuh dengan nilai-nilai keampunan dari Allah yang Maha Pengatur).
Tidak Sia-sia
Ada tiga yang tidak akan kembali, Kata-kata apabila telah diucapkan, waktu apabila telah berlalu, dan kesempatan yang terabaikan. Oleh karena itu, janganlah kita menyia-nyiakan umur dengan hanya menimbun dosa, lebih baik memperbanyak amal shaleh (berbuat kebajikan), yang nantinya akan mendapat pahala, yang merupakan jalan lebar menuju surga.
Setiap manusia tentu menginginkan surga karena ia adalah tempat bahagia, disediakan bagi orang-orang yang selalu meningkatkan kualitas taqwa dan kesabarannya. Untuk itu diperlukan gairah yang optimistis, menjadi manusia yang selalu condong untuk melakukan amal-amal shalih (kebajikan), sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT:
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga, dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun ” (QS. An Nisa: 124).
Apabila seseorang telah condong kepada kebaikan dengan dasar kejujuran, dan ia ingin beraudiensi (bertemu) dengan Allah SWT, maka ia akan terhindar dari noda-noda, terhindar dari kepalsuan, terhindar dari amal-amal buruk.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam rangka menjawab pertanyaan seorang sahabatnya, Abu Darda: “Ya Rasulullah, mungkinkah seorang mukmin mencuri? ”
Kata Nabi SAW: “Ya, kadang-kadang”.
la bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berzina? “.
Kata Nabi SAW: “Mungkin saja”.
Abu Darda bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berdusta? ”
Nabi SAW menjawab dengan ayat Al-Qur ‘an: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl: 105)
Maka, apabila seorang mukmin sudah tercium bau kebohongannya, dia bukanlah seorang mukmin, melainkan dia (hanyalah) orang Islam. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: “Bahwa orang-orang Arab Baduwi itu berkata: Kami telah beriman. (Allah berfirman) Katakanlah (kepada mereka): kamu belumberiman, tetapi katakanlah kami telah tunduk. karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Al Hujuraat: 14)
Jujur dan Bohong
Hindanlah kebiasaan berbohong, karena kebohongan akan melahirkan kelemahan-kelemahan dan jiwa pengecut. Sedangkan kejujuran
akan melahirkan keberanian. Sahabat Nabi SAW, AbuBakar as Shiddiq pernah menyampaikan sebuah hadits: “Kejujuran adalah amanah, sedangkan kebohongan adalah khianat “.
Apabila seluruh anggota tubuh kita khianati, tidak mau peduli dengan aturan-aturan Allah, ketika makan, istirahat, bekerja, maka akan mengakibatkan badan sakit. Begitu juga halnya hati kita “akan sakif apabila kita tidak mau ikut aturan-aturan-Nya.
Hanya orang-orang yang kuat imannya yang tidak bisa tercium aroma dosa mengontrol diri dengan menghindari tempat-tempat maksiat. Mendobrak belenggu nafsu, ingin segara masuk ke dalam hati nurani. Di saat itulah seorang mukmin akan menemukan cahaya ilahi, yang sempat terlepas dari dirinya.
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah Mo. 14/Thn. XIV - 3 April 2009
Kumpulan Hadist
" Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan - bisikan mereka kecuali bisikan orang yang menyuruh manusia memberikan sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia " ( An-nisaa ayat 114 )
"" Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. " ( Qaaf ayat 17 - 18 )
Abdullah bin Umar Ra meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Kepada yang senang membaca Al'Quran di hari kiamat nanti dikatakan : " Bacalah dan perbaikilah bacaanmu sebagaimana yang telah kamu kerjakan didunia dahulu, maka sesungguhnya kedudukanmu itu tergantung kepada akhir ayat yang telah kamu baca itu. " ( HR. Tirmidzi)
Abu Hurairah Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda " Cukuplah bagi orang itu disebut pembohong jika dengan setiap apa yang ia dengar" ( HR. Muslim )
Aisyah Ra, meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW : " Bolehkah saya mengatakan kepada suami saya telah memberikan sesuatu padahal dia tidak memberikan sesuatu kepadaku ? " Rasulullah lalu bersabda : " Orang yang menyiarkan tenteng apa yang tidak dia terima (pemberian) bagaikan orang yang memakai dua baju kebohongan." (Muttafaq allaihi)
Abdullah bin Basar Ra pernah menyebutkan bahwa ada seorang laki - laki berkata : " Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam itu telah cukup banyak dalam pandangan saya, untuk itu beritahu saya dengan yang bisa saya jadikan peganggan. " Bersabda Rasulullah : " Lidahmu itu akan selalu basah dengan berdzikir kepada Allah." ( HR. Tirmidzi )
" Sesungguhnya sesuatu yang paling saya benci dan paling jauh posisinya dariku pada hari kiamat adalah mereka yang banyak bicara angkuh dalam berucap dan besar mulut." ( HR. Tirmidzi )
"" Barangsiapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau (kalau tidak bisa) diamlah." (HR. Bukhari)
" Abi Musa Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : " Jika seorang wanita memakai wangi - wangian kemudian keluar menuju khalayak ramai agar mereka mencium baunya, maka dia telah begini dan begini (artinya sama saja seperti pelacur)." (HR. Ahmad)
" Berdoalah kamu sekalian kepada Alloh dengan perasaan yakin akan dikabulkannya doamu. Ketahuilah bahwasannya Allah SWT tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dan tidak bersungguh - sungguh." (HR. Tirmidzi)
Allah Azza Wa Jalla berfirman : " Orang - orang yang saling mencintai karena Aku mereka mendapat cahaya Illahi yang dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada." (HR.Tirmidzi)
" Barangsiapa yang ingin dilapangan rezekinya, ditangguhkan ajalnya dan dilapangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silahturahmi." (Mutafaq alaihi)
"Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayani." (HR. Bukhari)
" Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan dan dia (setan) diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu jika salah seorang dari kalian marah maka berwudhulah." (HR. Ahmad)
" Barangsiapa meniru - niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu daud)
Keterangan :
* dikutip dari "50 nasehat untuk muslimat " oleh Abdul Aziz bin Abdullah Al Muqbil
"" Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. " ( Qaaf ayat 17 - 18 )
Abdullah bin Umar Ra meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Kepada yang senang membaca Al'Quran di hari kiamat nanti dikatakan : " Bacalah dan perbaikilah bacaanmu sebagaimana yang telah kamu kerjakan didunia dahulu, maka sesungguhnya kedudukanmu itu tergantung kepada akhir ayat yang telah kamu baca itu. " ( HR. Tirmidzi)
Abu Hurairah Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda " Cukuplah bagi orang itu disebut pembohong jika dengan setiap apa yang ia dengar" ( HR. Muslim )
Aisyah Ra, meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW : " Bolehkah saya mengatakan kepada suami saya telah memberikan sesuatu padahal dia tidak memberikan sesuatu kepadaku ? " Rasulullah lalu bersabda : " Orang yang menyiarkan tenteng apa yang tidak dia terima (pemberian) bagaikan orang yang memakai dua baju kebohongan." (Muttafaq allaihi)
Abdullah bin Basar Ra pernah menyebutkan bahwa ada seorang laki - laki berkata : " Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam itu telah cukup banyak dalam pandangan saya, untuk itu beritahu saya dengan yang bisa saya jadikan peganggan. " Bersabda Rasulullah : " Lidahmu itu akan selalu basah dengan berdzikir kepada Allah." ( HR. Tirmidzi )
" Sesungguhnya sesuatu yang paling saya benci dan paling jauh posisinya dariku pada hari kiamat adalah mereka yang banyak bicara angkuh dalam berucap dan besar mulut." ( HR. Tirmidzi )
"" Barangsiapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau (kalau tidak bisa) diamlah." (HR. Bukhari)
" Abi Musa Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : " Jika seorang wanita memakai wangi - wangian kemudian keluar menuju khalayak ramai agar mereka mencium baunya, maka dia telah begini dan begini (artinya sama saja seperti pelacur)." (HR. Ahmad)
" Berdoalah kamu sekalian kepada Alloh dengan perasaan yakin akan dikabulkannya doamu. Ketahuilah bahwasannya Allah SWT tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dan tidak bersungguh - sungguh." (HR. Tirmidzi)
Allah Azza Wa Jalla berfirman : " Orang - orang yang saling mencintai karena Aku mereka mendapat cahaya Illahi yang dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada." (HR.Tirmidzi)
" Barangsiapa yang ingin dilapangan rezekinya, ditangguhkan ajalnya dan dilapangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silahturahmi." (Mutafaq alaihi)
"Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayani." (HR. Bukhari)
" Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan dan dia (setan) diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu jika salah seorang dari kalian marah maka berwudhulah." (HR. Ahmad)
" Barangsiapa meniru - niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu daud)
Keterangan :
* dikutip dari "50 nasehat untuk muslimat " oleh Abdul Aziz bin Abdullah Al Muqbil
Langganan:
Komentar (Atom)