Rabu, 17 Juni 2009

Sarung di atas mata kaki dan Jumatan di luar masjid

1.

Perilaku tersebut berdasarkan dalil hadits:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ َقالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ

Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)

Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan menjulurkan pakaiannya melebihi betis untuk kesombongan. Bila hal itu dilakukannya dalam sholat maka orang tersebut dianggap tidak menjalankan sholat karena Allah. Potongan terakhir dari hadits di atas fa laisa min Allah fi hillin wa laa haraamin oleh Imam Nawawi ditafsiri sebagai orang tersebut membebaskan diri dari Allah dan melepaskan diri dari agama Allah. Sebagian ulama yang lain menafsiri bahwa orang tersebut tidak mengimani kehalalan dan keharaman (yang ditentukan) Allah. Lebih jelas baca Faidul Qodir Juz 6 halaman 68.

Namun dengan hadits di atas, kita tidak bisa serta merta menuduh orang yang menjulurkan bajunya ketika shalat atau dalam keadaan yang lain sebagai orang yang melepaskan dirinya dari agama Allah, atau menganggap orang itu melanggar larangan Rasulullah. Karena dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

Abdullah Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjulurkan bajunya karena sombong/tinggi hati, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat". Kemudian Abu Bakar Assiddiq berkata, "Salah satu dari bagian bajuku (selalu) terjulur kecuali bila aku menjaganya terus (agar tidak terjulur)." Kemudian Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya engkau berbuat demikian tidak karena sombong". (HR. Bukhari)

Hadits ini menjelaskan bahwa keharaman menjulurkan baju/celana/sarung melebihi mata kaki adalah bila hal itu dilakukan karena kesombongan atau kepongahan seperti bila kita melihat mempelai pengantin yang bajunya dibuat menjulur hingga beberapa meter. Karena itu pulalah Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Pernyataan Habib Husein ini diperkuat oleh hadits riwayat Muslim yang menyatakan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Dari Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.”
2.

Mengenai shalat Jumat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhkan dalam mendirikan shalat Jumat. Di antara yang terkait dengan pertanyaan adalah:

"Diadakan dalam bangunan tidak harus di masjid, bukan tanah lapang atau jalanan. Kecuali bila tanah lapang atau jalanan itu bersambung sebagai limpahan jamaah dari masjid."

Berdasar Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 147:
وَيُشْتَرَطُ فِى الأَبْنِيَةِ أَنْ تَكُونَ مُجْتَمِعَةً فَلَو تَفَرَّقَتْ لَمْ يَكْفِ

Dan disyaratkan bangunan yang digunakan merupakan tempat yang (luas untuk) mengumpulkan, kalau bangunan itu terpisah maka tidaklah cukup. Diikuti oleh minimal 40 orang mustautin/penduduk setempat/orang yang bukan tamu di daerah itu.
وَأَنْ يَكُونَ العَدَدُ أَرْبَعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الجُمْعَةِ

Dan jumlahnya harus ada 40 orang dari ahli Jumat.

Pada keputusan Muktamar NU ke 27 di Situbondo disebutkan bahwa:
* Menyelenggarakan shalat Jumat di tempat-tempat seperti kantor, apabila diikuti warga yang tinggal menetap (sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya Jumatan).
* Tidak ada penyelenggaraan Jumatan ganda. Jarak minimal antara pendirian Jumatan yang satu dengan yang lain menurut Keputusan Muktamar NU ke-6 di Pekalongan adalah 1666.667 meter.
* Maka hukum pendirian Jumat yang dilakukan adalah sah.

Apabila seluruh jamaah merupakan musafir, tidak ada penduduk setempat yang mengikuti, maka menurut Imam Syafi'i hukumnya tidak sah. Tetapi menurut Imam Abu Hanifah sah berdasar kitab Majmu’ juz 4 halaman 505:
(فَرْعٌ) لاَ تَنْعَقِدُ الجُمُعَةُ عِنْدَنَا لِلْعَبْدِ وَلاَ المُسَافِرِيْنَ وَبِهِ قَالَ الجُمْهُور. وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ تَنْعَقِدُ

(Pasal) Tidak sah jumat menurut kita (madzhab Syafi'i) bagi seorang hamba sahaya dan bagi orang musafir. Hal ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Imam Abu Hanifah berkata, "(Jumatnya hamba dan musafir) sah."

Yang dimaksud tidak sah dalam dalil di atas adalah seorang musafir atau hamba sahaya tidak dapat melengkapi kebutuhan 40 orang jamaah yang menetap. Seandainya ada jamaah Jumat yang memenuhi persyaratan dan diikuti oleh sang musafir, maka shalat Jumat bagi musafir itu sah.

Mengingat repotnya ketentuan jumat ini, maka sebenarnya bepergian pada hari Jumat tidak dianjurkan. Bahkan bila kita berangkat sesudah subuh dan yakin akan ketinggalan Jumat maka hukum bepergian itu menjadi haram. Berdasar kitab Majmu’ juz 8 halaman 84:
قال أصحابنا فان كان يوم جمعة خرجوا قبل طلوع الفجر لان السفر يوم الجمعة بعد الفجر وقبل الزوال إلى حيث لا تصلى الجمعة حرام في أصح القولين

Ulama Syafi'iyah berkata, "Andai pada hari Jumat orang-orang keluar sebelum fajar (maka keluarnya tidak masalah). Karena bepergian pada hari Jumat setelah fajar dan sebelum tergelincirnya matahari hingga seseorang itu tidak menjalankan shalat Jumat hukumnya haram menurut pendapat terbaik dari dua pendapat."

Semoga dapat dipahami.

Achmad Shampton Masduqie

Tak Ada Ciptaan Allah yang Sia Sia

Refleksi menyambut Nuzulul Quran

Dalam surat Al-Baqarah, Allah SWT menyebutkan bahwa dalam semua ciptaan-Nya tidaklah sia-sia, bahkan seekor nyamuk sekalipun atau bahkan yang lebih rendah daripada itu. Orang mukmin akan beriman terhadap hal itu dan memandangnya sebagai sesuatu yang haq (benar), tetapi si kafir akan mengingkari dan bahkan menganggap tidak perlu Allah mengumpamakan dengan nyamuk atau sebagainya. Ayat-ayat berikut berbicara tentang perumpamaan dan jawaban Allah atas komentar orang-orang kafir tentang hal tersebut. Marilah kita perhatikan kandungan ayat-ayat itu dan penafsiran para ulama.

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 26-27 (yang artinya):

"Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah. Adapun orang-orang yang beriman meyakini bahwa perumpamaan itu benar-benar dari Tuhan mereka, sementara mereka yang kafir mengatakan, 'Apa maksud Allah menjadikan perumpamaan ini?' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. Yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah meneguhkannya, memutuskan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka unntuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al-Baqarah: 26-27).

Ketika Allah memberikan dua perumpamaan tentang orang-orang munafik dalam firman-Nya, "Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api" dan "Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit", orang-orang munafik berkata, "Allah terlalu suci dari membuat perumpamaan-perumpamaan seperti ini." Maka Allah menurunkan ayat ini sampai firman-Nya, "Mereka itulah orang-orang yang rugi."

Qatadah mengatakan: Ketika Allah menyebut perihal berupa laba-laba atau lalat, orang-orang musyrik berkomentar, "Ada apa denga laba-laba dan lalat sehingga harus disebut-sebut?" Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah." Artinya, Allah tidak malu menyatakan kebenaran dengan menggunakan sesuatu yang sedikit atau banyak, atau yang dipandang kecil atau besar.

Mengenai makna firman Allah, "Atau yang lebih rendah dari itu", terdapat dua pendapat. Pertama, yang lebih kecil atau lebih remeh lagi. Ini pendapat sebagian besar muhaqqiq, kritikus. Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud adalah yang lebih besar daripada itu.

Qatadah bin Di'amah dan Ibnu Jarir adalah sebagian di antara yang berpendapat demikian. Pendapat tersebut dikuatkan oleh haidits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Ketika seorang muslim terkena dud atau yang lebih besar dari itu, ditetapkan baginya satu derajat dan dihapuskan satu kesalahannya."

Jadi, Allah memberitakan bahwa Dia tidak memandang remeh sesuatu yang diciptakan-Nya sebagai perumpamaan meskipun dipandang hina dan kecil, seperti lalat. Sebagaimana tidak enggan menciptakannya, Allah pun tidak enggan membuatnya menjadi perumpamaan, sebagaimana perumpamaan lalat dan laba-laba dalam firman-Nya, "Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat mencipkakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemahlah yang disembah." (QS Al-Hajj: 73).

Begitu juga perumpamaan yang disebutkan dalam ayat-ayat lainnya berikut ini:

"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui." (QS Al Ankabut: 41).

"Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun." (QS An-Nahl: 75).

"Dan Allah membuat pula perumpamaan: dua orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya itu, dan tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan?" (QS An-Nahl: 76)

"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS Al Ankabut: 43).

Seorang ulama salaf mengatakan, "Jika aku mendengar suatu perumpamaan dalam Al-Quran dan tidak dapat memahaminya, aku menangisi diriku, karena Allah telah berfirman, 'Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu."

Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud 'Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka' adalah, mereka mengetahui bahwa itu merupakan kalam Allah dan dating dari sisi-Nya.

Firman Allah, "Tetapi mereka yang kafir mengatakan: Apa maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" adalah seperti firman-Nya, "Dan supaya orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu, dan supaya orang-orang yang ada di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir mengatakan, 'Apa yang dikkehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan.' Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk pada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan dia sendiri." (QS Al Muddatstsir: 31)

Allah pun berfirman di sini, "Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk, dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik."

Ibnu Abbas mengatakan yang dimaksud firman Allah, "Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan", adalah orang-orang munafik, sedangkan "Dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk" adalah orang-orang mukmin.

Allah menambahkan kesesatan kepada orang-orang munafik di samping kesesatan yang telah ada pada mereka karena kedustaan mereka atas apa yang telah mereka ketahui dengan sebenarnya mengenai perumpamaanyang Allah buat itu. Sebaliknya, Allah menambahkan petunjuk dan keimanan kepada orang-orang mukmin di samping petunjuk dan keimanan yang telah ada pada mereka disebabkan mereka membenarkan perumpamaan itu.

Mengenai firman Allah selanjutnya, "Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik." Abu Al'Aliyah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang munafik. Pengertian fasik secara bahasa adalah orang yang keluar dari ketaatan. Orang fasik meliputi orang kafir, dan orang yang bermaksiat – sekalipun mukmin. Tetapi kefasikan seorang kafir lebih berat dan lebih buruk lagi. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang fasik yang kafir.

Dalilnya, mereka digambarkan dalam ayat Al-Quran sebagai berikut, "Yaitu orang-orang yan melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan kepada mereka untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi."

Ini adalah sifat-sifat orang kafir yang sangat berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagainama Allah berfirman, "Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran. Yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian." (QS Ar-Rad 19-20), sampai firman-Nya, "Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutuan, dan bagi mereka tempat kediaman yang bunik (Jahanam)." (QS Ar-Ra'd: 25).

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna 'ahd (janji) yang terdapat dalam ayat tersebut yang dikatakan, diputuskan oleh orang-orang fasik. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah pesan Allah kepada para makhluk dan perintah-Nya kepada mereka agar menaati Allah, dan larangan-Nya agar tidak mendurhakai Allah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab suci dan melalui lisan para rasul. Mereka memutuskannya berarti mereka meninggalkan hal-hal tersebut.

Para ulama berpendapat, itu adalah pada orang-orang kafir dan munafik dari kalangan ahlul kitab. Janji Allah yang mereka rusak adalah yang Dia tetapkan dalam kitab Taurat agar mereka mengamalkan apa yang ada di dalamnya, mengikuti Muhammad SAW apabila mereka telah diutus, membenarkan apa yang dibawa olehnya dari Tuhan mereka. Mereka memutuskan janji itu dengan berlaku ingkar terhadap beliau padahal mereka telah mengetahui hakikatnya dan mereka menyembunyikan pengetahuan tentang itu dari manusia. Inilah pendapat yang dipilih Ibnu Jarir dan juga merupakan pendapat Muqatil bin Hayyan.

Mengenai firman Allah (yang artinya) "Dan mereka memutuskan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka untuk menghubungkannya." Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hubungan kekeluargaan sebagaimana yang disebutkan oleh Qatadah, seperti juga firman Allah, "Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa, kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (QS Muhammad: 22). Ini dikuatkan oleh Ibnu Jarir. Menurut pendapat lain, yang dimaksud adalah lebih umum daripada itu, yakni segala yang Allah perintahkan untuk menghubungkan dan melakukannya.

Muqatil mengatakan bahwa firman Allah, "Mereka itulah orang-orang yang rugi.", maksudnya merugi di akhirat, sebagaimana yang Allah firmankan, "Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam)."

Pada ayat 28 dari surat Al-Baqarah itu, Allah berfirman (yang artinya):

"Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan."

Sebagai hujjah atas keberadaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan bahwa dia merupakan Pencipta hamba-hamba-Nya, Allah berfirman, "Mengapa kalian kafir kepada Allah?" Artinya: Mengapa kalian mengingkari keberadaan-Nya atau menyembah yang lain, padahal, "Kalian kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian." Maksudnya: Kalian sebelumnya tidak ada lalu Allah mengadakan kalian sebagaimana yang Allah firmankan, "Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini apa yang mereka katakana." (QS Ath-Thur: 35-36).

Ibn Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud 'Kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian' adalah kalian tadinya mati dalam sulbi orang tua masing-masing, tidak berupa apa-apa sampai Allah menciptakan kalian, kemudian Dia mematikan kalian dengan kematian yang sebenarnya, lalu Allah hidupkan kalian kembali ketika Dia membangkitkan kalian. Ibnu Abbas juga mengatakan bahwa ini seperti firman Allah dalam ayat lain, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan Engkau telah menghidupkan kami dua kali pula." (QS Al-Mu'min: 11).

Adh-Dhahhak menyebutkan keterangan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah itu: Sebelum diciptakan menjadi manusia, kalian berupa tanah. Keberadaan yang pertama itu merupakan kematian. Kemudian Allah menciptakan kalian. Ini merupakan kehidupan. Selanjutnya Dia mematikan dan mengembalikan kalian ke dalam kubur. Ini kematian yang kedua. Setelah itu, Allah membangkitkan kalian di hari kiamat. Itulah kehudupan yang kedua. Jadi, ada dua kematian dan dua kehidupan.

Pada ayat ke 29 surat Al-Baqarah, Allah berfirman (yang artinya):

"Dia-lah Allah, yamg menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian, dan Dia berkehendak bersemayam di langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuat.,"

Setelah menyebutkan keterangan yang menunjukkan bahwa Allah-lah yang menciptakan mereka dan segala yang mereka saksikan pada diri mereka, Dia menyebutkan bukti lain yang mereka saksikan berupa penciptaan langit dan bumi. Maka Allah berfirman sebagaimana tersebut di atas. Did lam ayat ini terdapat petunjuk bahwa Allah lebih dulu menciptakan bumi, kemudian baru menciptakan langit ke tujuh.

Mengenai firman Allah," Dia-lah Allah, yamg menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian." Mujahid mengatakan, Allah menciptakan bumi sebelum menciptakan langit. Setelah Dia menciptakan bumi, muncul asap darinya. Di dalam ayat lain disebutkan, "Kemudian Dia bersemayam di langit dan langit itu masih merupakan asap." (QS Fushshilat: 11). Mujahid juga mengatakan, sebagiannya berada di atas sebagian yang lain. Sedangkan pada tujuh lapis bumi, sebagiannya bertada di bawah sebagian yang lain.

Dinukilkan dari Tafsir Ibnu Katsir. Wallahu A'lam.

Niat

وَ عَنْ أمِيْر المُؤمنينَ أبي حَفْص عمرَ ابنِ الخطّابِ رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: {إنّما الأعمال بالنِيات و إنّما لكلّ امرئ ما نوى, فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله, فهجرته إلى الله و رسوله, و من كانت هجرته لدنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما جر إليه (متفق عليه)

Dari Amirul mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab ra, ia berkata, "Saya mendengar Rasulallah saw bersabda,

"Sungguh amal perbuatan itu [tergantung] pada niat-[nya]. Dan sungguh segala [amal perbuatan] seseorang itu [berdasarkan pada] apa yang telah [menjadi] niat-[nya]. Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barabg siapa yang hijrahnya untuk kepentingan dunia yang diharapkannya atau perempuan yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya mendapatkan segenap apa yang telah menjadi niatnya."

(H.R. Bukhari & Muslim, muttafaqun ‘alaih, Kitab Arba'in Nawawiyah, No. 1)
Makna Bahasa

Niat atau an-niatu adalah jamak dari niyyatun, yang artinya "tujuan". Secara bahasa adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan tujuan baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan madlarat. Adapun secara syara' dipahami sebagai kehendak kepada perbuatan dalam rangka mencari ridla-Nya dan mematuhi segenap hukum-Nya.

Hijrah atau al-hijrah (الهجرة ) berasal dari kata al-hajru (الهجر) adalah meninggalkan suatu tempat menuju tempat lain, guna mendapatkan keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini. Sebagai upaya di dalam menegakkan dinullah dalam rangka mengingkari setiap kejadian yang bertentangan dengan neraca syari'at.

Dunia atau ad-dunya (الدنيا) berasal dari kata ad-dunuwwu (الدنوّ), yang artinya "dekat". Hal ini difahami bahwa hidup di dunia itu waktunya sangat temporal. Adapun hidup yang kekal adalah di negeri akhirat. Maka, negeri akhiratlah yang sebenarnya menjadi masa depan kita.
Kedudukan Hadits

Kedudukan hadits ini adalah shahih lagi masyhur. Keshahihannya telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslih (muttafaqun ‘alaih). Hadits ini termasuk hadits yang penting. Ia merupakan pokok dalam dinul Islam, dan kepadanya bermuara seluruh hukum syariat. Seperti dikatakan oleh para ulama', sebut saja Imam Abu Daud ra, ia mengatakan, "Hadits ini setengah dari Islam. Sebab, agama itu terbagi dengan yang tampak, yakni amal; dan yang batin, yakni niat."

Sedangkan Imam Syafi'i ra dan Imam Ahmad ra berkomentar,

"Hadits ini merupakan sepertiga ilmu. Sebab, seorang hamba akan mendapatkan pahala berkat perbuatan hati, lisan, dan anggota badannya; dan niat dilakukan dalam hati yang merupakan salah satu di antara yang tiga. "Maksud sepertiga ilmu menurut Imam Baihaqi ra, bahwa amalan hamba itu dilakukan oleh hati, lidah, dan anggota badannya. Maka, niat merupakan salah satu dari ketiga kategori itu dan merupakan kategori amalan yang paling utama. Karena ia merupakan ibadah yang berdiri sendiri. Sedangkan amalan lain memerlukannya. Karena itu, dikatakan, "Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya."

Imam Abu Ubaidah ra berkomentar,

"Tidak ada kandungan hadits-hadits Nabi saw yang faedahnya lebih luas dan lebih banyak ketimbang hadits ini."

Para ulama salaf, seperti Imam Bukhari ra dan Imam Nawawi ra di setiap menulis kitabnya selalu mendahulukan hadits ini. Hal itu mengandung maksud agar menjadi pengingat betapa sangat pentingnya kedudukan niat di setiap amal perbuatan.
Kunci Kata
إنّما الأعمال بالنيات

"Sungguh segenap amal itu [tergantung] pada niat-[nya]"

(H.R. Bukhari & Muslim, muttafaqun ‘alaih, Kitab Arba'in Nawawiyah, No.1)

Niat memegang peranan penting di dalam kehidupan seorang hamba. Suatu amal diterima di sisi-Nya karena niat yang benar. Sebaliknya, apabila niatnya salah, maka amal perbuatannya menjadi tertolak di sisi-Nya.

Karenanya, seorang muslim untuk mendapatkan kehidupan yang berkah hendaknya di dalam beramal harus memenuhi 3 hal pokok:

* Niatnya harus benar,
* Caranya harus benar,
* Akibat, dampak, dan pengaruhnya harus benar.

Jika ketiga hal tersebut telah terpenuhi, maka perbuaan yang dilakukannya akan membawa keberkahan. Jika salah satu dari ketiganya tidak ada, maka lebih baik ditinggalkan semata mencari ridla-Nya.

Dikisahkan, ada seorang pemuda yang sangat mencintai Ummu Qa'is. Ummu Qa'is adalah seorang gadis Makkah yang menyertai hijrah Nabi saw ke Madinah. Di Makkah ia sangat dicintai oleh seorang pemuda setempat. Karena dorongan cinta yang kuat, maka si pemida itu ikut hijrah ke Madinah.

Demikianlah, sebab-sebab keluarnya hadits tentang niat (asbabul wurud) di atas. Maka, akhirnya pemuda itu benar-benar menikahi Ummu Qa'is.
Pemahaman Hadits
Disyariatkannya Niat

Para ulama bersepakat bahwa amal yang dilakukan oleh seseorang mukallaf yang mukmin tidak dipandang mempunyai nilai ibadah dan tidak akan mendapat pahala, kecuali didasarkan atas niat. Pada ibadah yang bersifat pokok, seperti: shalat, haji, puasa, semua rukunnya tidak sah melainkan dengan niat. Menurut Imam Abu Hanifah ra, "Niat sebagai syarat kesempurnaan untuk mendapatkan pahala." Sedangkan menurut Imam Syafi'I ra, "Niat merupakan syarat sahnya ibadah, maka tidak sah semua ibadah sarana tersebut, kecuali dengan niat."
Waktu & Tempat Niat

Waktu niat adalah pada awal ibadah, seperti pada takbiratul ihran pada shalat, dan saat ihram ketika haji. Sedangkan pada ibadah puasa, maka cukup mencamkan niat sebelumnya karena sulitnya memantau terbitnya fajar.

Tempat niat adalah hati. Dan boleh diucapkan melalui lisan jika disertai dengan hadirnya niat dalam hati. Karenanya, dihukumi sunnah jika hal itu dapat membantu hati dalam mengahdirkannya. Namun yang utama adalah tidak perlu untuk diucapkan.

Disyaratkan menentukan niat untuk membedakan suatu ibadah dari ibadah yang lainnya. Maka, tidak cukup meniatkan shalat, tetapi harus menentukan niat shalat dhuhur misalnya untuk membedakan dari shalat ashar begitu seterusnya.
Terkandung Isyarah

Hadits ini menjelaskan sebuah pemahaman bahwa barang siapa yang berniat melakukan suatu amal saleh, lalu terdapat halangan padanya yang secara syara' tidak dapat dihindarkannya, seperti sakit, wafat, dan yang lainnya, maka ia tetap akan mendapat pahala.
Memotifasi Untuk Berperilaku Tulus

Hadits ini menjadi Motivasi Kecerdasan (Motivation Quotient) kepada segenap komunitas muslim, agar di kehidupannya senantiasa memiliki ketulusan niat di dalam menetapakan niatnya kepada Allah azza wa jalla. Sebab suatu amal perbuatan akan tertolak di sisi-Nya jikalau di dalam berniat telah menduakan-Nya. Seperti diterangkan dalam sebuah hadits,
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: قال الله تبارك و تعالى: {أنا أغنى الشركاء عن الشرك, من عمل عملا أشرك فيه غيري, فأنا بريء منه} (رواه مسلم)

Dari Rasulullah saw bersabda, telah berfirman Allah tabaraka wa ta'ala, "Aku adalah Dzat yang tidak ada sekutu. Maka barang siapa melakukan suatu perbuatan yang disertai niat ganda, maka Aku memutuskan hubungan daripadanya." (H.R. Muslim).

Juga dalam hadits yang lain diterangkan oleh Nabi saw,
و عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: {من سمّع سمّع الله به, و من رأى رأى الله به} (رواه البخرى و مسلم)

Dari Rasulullah saw telah bersabda, "Barang siapa [melakukan perbuatan supaya] didengar [orang], maka Allah [akan memperdengarkan aib] yang ada padanya. Barang siapa [melakukan amal perbuatan karena] pamer, [niscaya] Allah [akan memperlihatkan aib] yang ada padanya." (H.R. Bukhari & Muslim).
Menetapkan Prinsip Ibadah

Telah menjadi prinsip di dalam dinul Islam, bahwa setiap amal yang baik lagi bermanfaat apabila disertai dengan keikhlasan dan mengharap ridla-Nya, maka ia akan diberi niali ibadah.
Membangun Manajemen Diri

Niat di kehidupan seorang muslim mendorong lahirnya kemauan (force of character) untuk melakukan perubahan perilaku, hingga akhirnya memiliki sebuah kemampuan (ability). NIat yang bagus lagi benar akan menjadikan seseorang memiliki Manajemen Diri yang baik; insya Allah.
Kekuatan Dari Dalam

Di dalam kehidupan seoarang muslim mukmin, niat merupakan kekuatan dari dalam yang memiliki kekuatan mengubah, sangatlah dahsyat. Karenanya, alfaqir mendefinisikannya sebagai inner strong intention, yaitu kekuatan yang kuat yang berasal dari dalam diri seseorang.

Bagi seorang muslim mukmin, niat merupakan daya dorong yang hebat guna menjadikan diri dan kepribadian seseorang itu melakuakan perubahan perilaku dan pembelajaran sifat (behavior transformation and character learning). Sebab niat sebuah ibadah dapat dibedakan dengan adat kebiasaan. Dan sebab niat pula, seorang muslim mukmin dapat mencapai batas mana pun yang dapat dicapai oleh sebuah amalan.

Penulis:
KH. Miftahul Lutfi Muhammad al Mutawakkil

Pengasuh Ma'had Tee Bee Tambak Bening Surabaya. Artikel dikutip dari Buletin Nasional al-Fath alfath18@yahoo.com

Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT

Allah SWT telah menentukan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Siapa pun pasti akan ditemui oleh kematian. Tidak peduli apapun jabatan dan kedudukannya. Tua atau muda, sakit atau tidak, pria maupun wanita, jika tiba ajalnya maka tidaklah dapat dimajukan atau diundurkan walau sesaat.

Para Anbiya' telah menghadap Allah, umat-umat terdahulu telah merasakan kematian. Tidak terkecuali Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sebagai hamba Allah, beliau tak luput dari kematian. Hal ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 30 (yang artinya):

"Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati."

Untuk sebagian orang, kematian dianggap suatu yang menakutkan, tetapi untuk pribadi Rasulullah SAW kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu karena dengan itulah beliau berjumpa dengan Kekasihnya. Tuhan sekalian alam. Setiap kekasih akan selalu senang berkumpul dan bersua dengan yang dicintainya.

Wafat Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, dan beliau wafat pada hari Senin pula. Menurut jumhur ulama'beliau saw meninggal pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal di waktu dhuha(awal siang). Dan dikebumikan pada hari Rabu.

Hari itu hari Jumat. Rasulullah SAW jatuh sakit. Orang-orang silih ganti membesuk beliau.

Esoknya beliau masih sakit. Esoknya lagi belum sembuh. Dan seterusnya. Pada hari ke-17, hari Ahad, sakit beliau memburuk sangat. Beliau tidak kuat bangun.

Fajar merekah, Bilal r.a. mengumandangkan adzan. Seperti biasa, usai adzan, dia berjalan ke depan pintu kediaman Nabi SAW.

"Assalamu’alaika ya Rasulallah," katanya.

"Waktunya shalat, rahimakallah."

Beliau mendengar panggilan Bilal ini, namun Fathimah r.a. yang menyahut,

"Bilal, Rasulallah SAW hari ini udzur. Beliau tidak kuat bangun."

Bilal masuk kembali ke dalam masjid. Ketika hari meremang, Bilal berkata pada diri sendiri,

"Demi Allah, aku tidak akan menyeru iqamat, sebelum aku meminta izin pada Rasulullah Saw."

Dia pun kembali ke pintu rumah beliau.

"Assalamu’alaika ya Rasulallah wa barakatuh. Ash-shalah yarhamukallah (Waktunya shalat, mudah-mudahan Allah merahmatimu)."

Mendengar panggilan ini, beliau bersabda,

"Masuklah Bilal, Rasulallah SAW sangat payah, tak bisa bangun. Suruh Abu Bakar mengimami jamaah."

Bilal keluar dari kediaman beliau sembari menaruh dua tangannya di belakang kepala.

"Duh, tolonglah Gusti. Duh, putus sudah harapan. Duh, remuk redam punggungku. Andaikan ibuku tak pernah melahirkanku. Ah, tapi dia sudah melahirkanku. Andai saja aku tidak melihat kondisi Rasulullah SAW hari ini."

Setiba di dalam masjid dia berkata,

"Abu Bakar, Rasulullah SAW menyuruhmu mengimami shalat jamaah."

Abu Bakar r.a. berjalan menuju ke mihrab. Dia adalah lelaki kurus. Ketika melihat tempat di mana Rasulullah SAW biasa berdiri sekarang kosong, dia tidak tahan. Dia jatuh bergedebam. Pingsan. Orang-orang langsung gaduh. Semua menangis. Rasulullah SAW mendengar suara gaduh ini.

"Ada apa kok gaduh?" tanya beliau.

"Kaum muslimin gaduh karena kehilangan Engkau, ya Rasulallah."

Beliau memanggil Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Dengan bertelekan pada tubuh mereka, beliau berjalan ke luar ke masjid. Kemudian beliau mengimami slalat shubuh dengan cepat. Usai shalat, beliau memalingkan muka beliau yang bagus, menghadap ke arah jamaah.

"Kaum muslimin sekalian, aku titipkan kalian kepada Allah. Kalian akan berada di bawah perlindungan Allah dan keamanan-Nya. Allah menggantikanku bagi kalian. Kaum muslimin sekalian, hendaklah kalian tetap bertakwa pada Allah, tetap menjaga taat pada-Nya setelah kematianku. Aku akan segera meninggalkan dunia ini. Ini adalah hari permulaan akhiratku dan hari terakhir duniaku."

Keesokan harinya, sakit beliau bertambah parah. Allah menyampaikan wahyu pada malaikat pencabut nyawa,

"Turunlah kamu ke tempat kekasih-Ku, pilihan-Ku, Muhammad SAW dengan rupa paling bagus. Cabutlah nyawanya dengan lembut."

Maka turunlah malaikat maut. Dia berdiri di depan pintu rumah beliau dengan rupa orang Badui (pedalaman).

"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk?"

Aisyah r.a. menoleh ke arah Fathimah r.a.

"Tolong lelaki itu dijawab."

Fathimah berkata,

"Mudah-mudahan Allah membalas jalan Anda, wahai Abdullah (hamba Allah). Rasulullah SAW sedang udzur, sakit sangat parah."

Lelaki di luar pintu tersebut tidak beranjak dari tempat. Dia malah menyeru seperti tadi. Aisyah berpaling ke arah Fathimah,

"Fathimah, tolong lelaki itu dijawab."

"Mudah-mudahan Allah membalas jalanmu, tapi Rasulullah SAW sedang payah, sakit sangat parah."

Lelaki itu kembali memanggil untuk yang ketiga kali.

"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk? Saya memang harus masuk."

Rasulullah SAW mendengar panggilan ini.

"Fathimah, siapa di pintu?" tanya beliau.

"Ya Rasulallah, seorang lelaki berdiri di depan pintu. Dia minta izin untuk masuk. Kami sudah jawab berkali-kali. Lalu untuk ketiga kali dia menyeru dengan suara yang membuat bulu kudukku berdiri, bergetar seluruh tubuhku."

"Fathimah, tahukah Kamu siapa di depan pintu itu? Dia adalah penghancur kelezatan dan pemisah jamaah. Dia membuat istri-istri menjadi janda, anak-anak jadi yatim. Dia peroboh rumah-rumah dan pemakmur kubur-kubur. Masuklah rahimakallah, wahai malaikat maut."

Maka masuklah si malaikat maut. Nabi SAW bersabda,

"Malaikat maut, engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawa?"

"Aku datang untuk berziarah sekaligus mencabut nyawa. Allah memerintahkan aku supaya tidak masuk ke rumahmu kecuali dengan izinmu, dan tidak mencabut nyawamu kecuali dengan izinmu. Kalau kamu izinkan, aku masuk. Kalau tidak, aku kembali pada Tuhanku."

"Malaikat maut, di mana kau tinggalkan kekasihku, Jibril?"

"Aku tinggalkan dia di langit dunia. Sementara para malaikat lain bertakziah kepadanya untuk Baginda."

Tak lama kemudian Jibril a.s. datang. Dia duduk di damping kepala beliau.

"Jibril, ini adalah keberangkatan dari dunia. Berilah aku kabar gembira, tentang aku kemudian Allah."

"Pintu-pintu langit telah dihias bagus. Para malaikat berdiri berbaris memakai wewangian dan dengan ucapan selamat. Mereka hendak menyongsong ruhmu, Muhammad."

"Hanya untuk Allah segala pujian. Berilah aku kabar gembira, Jibril."

"Aku beri kabar gembira bahwa pintu-pintu surga telah dihias indah. Bengawan-bengawannya sudah dialirkan. Pohon-pohonnya sudah berjuntai ke bawah. Para bidadarinya telah bersolek guna menyambut kedatanganmu, Muhammad."

"Hanya bagi Allah segala pujian. Beri aku kabar gembira, Jibril."

"Engkau bakal menjadi orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang pertama yang diberi syafaat pada hari kiamat."

"Hanya bagi Allah segala pujian."

"Kekasihku, tentang apakah Engkau hendak bertanya?"

"Aku ingin bertanya mengenai kegundahanku. Siapakah (penjaga bagi) pembaca-pembaca Quran setelahku? Siapakah yang berpuasa bulan Ramadhan setelahku? Siapakah berhaji ke Baitullah setelahku? Siapakah umatku yang terpilih setelahku?"

"Berbahagialah, kekasih Allah, karena Allah SWT berfirman, ‘Aku telah mengharamkan surga bagi seluruh nabi dan seluruh umat samapai Engkau memasukinya, dan umatmu.’"

"Sekarang hatiku lega. Malaikat maut, tunggu apa lagi, laksankan apa yang diperintahkan padamu."

Ali r.a. berkata,

"Ya Rasulallah, kalau nyawamu telah dicabut, siapakah yang akan memandikan jasadmu? Bagaimana kami mengkafanimu? Siapakah yang menyalatimu? Dan siapa yang masuk ke kuburmu?"

Beliau bersabda,

"Ali, adapun soal memandikan, hendaklah Engkau yang memandikanku. Al-Fadhal bin Abbas akan menuangkan air padamu, dan Jibril adalah orang ketiga dari kalian berdua. Kalau kalian sudah memandikanku, kafanilah aku dengan tiga lembar kain kafan yang baru, dan Jibril akan membawakan wewangian (untuk kafanku) dari surga. Bila kamu telah meletakkan jasadku di atas keranda, letakkan aku di dalam masjid. Keluarlah kalian, tinggalkan aku sendiri karena yang pertama kali shalat (memberi rahmat) padaku ialah Allah dari atas ‘Arasy-Nya. Lantas Jibril a.s., Mikail a.s., kemudian Isrofil a.s., menyolatiku. Selanjutnya para malaikat secara berkelompok-kelompok. Setelah itu, masuklah kalian ke dalam masjid. Berdiri berbarislah kalian dalam shaf-shaf. Tak seorang pun boleh maju daripada yang lain (menjadi imam)."

Fathimah r.a. berkata,

"Hari ini adalah hari perpisahan. Kapankah aku dapat menjumpaimu?"

"Pada hari kebangkitan (hari kiamat), lalu di telaga. Aku memberi minum pada orang-orang dari umatku yang datang ke telagaku."

"Kalau aku tidak dapat bertemu denganmu?"

"Di timbangan (Mizan). Aku akan memberi syafaat pada umatku"

"Kalau aku tidak jumpa?"

"Di Shirathal Mustaqim. Aku akan menyeru, ‘Tuhan, selamatkanlah umatku dari neraka.’"

Sakaratul Maut

Malaikat mendekat dan mulai mencabut nyawa beliau dengan lembut. Ketika ruh sampai di dua lutut, beliau berseru,

"Auh."

Ruh terus bergerak. Saat ruh sampai di pusar, beliau tersenyum,

"Oh sedihku."

Fathimah menyahut,

"Betapa sedihku, Ayahanda."

Ketika ruh mencapai dada, beliau bersabda,

"Jibril, betapa pahitnya kematian."

Jibril memalingkan mukanya. Dan beliau bersabda,

"Jibril, apa kamu tidak suka melihat keadaanku?"

"Kekasihku, siapa yang tahan melihatmu yang mengalami sakaratul maut?"

Lantas, beliau menghembuskan nafas terakhir. Ruh telah dicabut dari jasad beliau seluruhnya.

Kemudian, Ali memandikan jasad beliau, sementara Ibnu Abbas menuangkan air untuknya, dan Jibril berdiri menunggui.

Setelah itu, beliau dikafani dengan tiga lembar kain. Lalu dibawa di atas keranda ke dalam masjid. Setelah meletakkan keranda di sana, orang-orang keluar. Allah yang pertama memberi rahmat pada beliau. Dilanjutkan Jibril, Mikail, dan para malaikat menyalati.

"Kami mendengar suara ‘hm'yang bersahutan di dalam masjid, padahal kami tidak melihat satu sosok pun." kenang Ali.

Kemudian kami mendengar suara tanpa wujud,

'Masuklah kalian rahimakumullah. Shalatilah nabi kalian SAW.’

Maka kami masuk dan berdiri dalam shaf-shaf sebagaimana beliau perintahkan. Tak seorang pun dari kami maju. Kami bertakbir bersama takbir Jibril."

Kemudian upacara pemakaman. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan Ibnu Abbas r.a. masuk ke liang kubur, dan jasad beliau dikuburkan. Ketika orang-orang bubar, Fathimah r.a. berkata kepada Ali r.a., suaminya,

"Abal Hasan, kalian telah mengubur Rasulullah?"

"Ya."

"Tega sekali kalian menguruk jasad beliau dengan tanah. Tidak adakah rasa sayang di hati kalian kepada Rasulullah SAW? Bukankah beliau pembimbing kea rah kebajikan?"

"Tentu, Fathimah. Tetapi keputusan Allah tidak ada yang dapat menolak."

Seketika Fathimah menangis mengguguk.

"Oh ayah, sekarang terputuslah Jibril. Dulu Jibril biasa mendatangi kami membawa wahyu dari langit."

Beliau SAW menutup kehidupan dunia ini dengan ridho dan diridhoi oleh Allah SWT pada usia 63 tahun. Ketika meninggal, jasad beliau ditutupi kain dari Yaman. Para sahabat yang mendengar berita itu, spontan terkejut dan kaget seakan tidak percaya bahwa Nabi telah betul-betul menghadap Allah.

Umar bin Khattab awalnya mengingkari berita kematian Nabi itu, Utsman bin Affan pura-pura tuli sedang Ali bin Abi Thalib jatuh lemas. Dan sahabat yang lain menangis tertunduk lemah. Sungguh tidak ada yang lebih kuat menahan diri pada saat itu kecuali 'Abbas, paman Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.

Beliau dikafani dengan tiga lapis kain putih, dihamparkan karpet merah di bawah jasad Nabi ketika akan dikubur.

Yang mengurus pembuatan lahat Rasulullah SAW adalah sahabat Abu Thalhah. Beliau dikuburkan di rumah isteri tercintanya Sayyidah 'Aisyah r.a. dan setelah itu dikubur pula berdampingan dengan beliau dua sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Ust. Muhsin al-Hamid

Antara Ikhtiar, Doa, dan Khusnul Khatimah

Syeikh Sihabuddin Ibn Hajar al Asqalani mendapat Ijazah dari Al 'Allamah Syeikh Muhammad Al Khotib Asy Syamiy yang berasal dari Syam/sekarang Siria kemudian menjadi penduduk Madinah dan bermadzhab Hambali, beliau adalah putera Usman bin Abbas bin Usman dari guru-gurunya, bersambung sampai Abu Dzar Al Ghifari ra., dari Rasulullah saw. mengenai hal yang beliau riwayatkan dari Tuhannya. Allah ta’ala berfirman:

يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَآلٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِيْ اَهْدِكُمْ ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَآئِعٌ اِلاَّ مَنْ اَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ اُطْعِمْكُمْ ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ اِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ اَكْسُكُمْ ، يَا عِبَادِيْ اِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَاَنَا اَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ اَغْفِرْ لَكُمْ ، يَا عِبَادِيْ اِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ ، يَا عِبَادِيْ لَوْ اَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَاِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى اَتْقَى قَلْبِ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا ، يَا عِبَادِيْ لَوْ اَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَاِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى اَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا ، يَا عِبَادِيْ لَوْ اَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَاِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَا مُوْ ا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْئَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِك َ مِمَّا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ ، يَا عِبَادِيْ إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .

"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas Dzat-Ku sendiri dan Aku telah menjadikan perbuatan dhalim tersebut sebagai perbuatan yang diharamkan di antara kamu sekalian; oleh karena itu janganlah kamu sekalian saling berbuat dhalim.

Wahai para hamba-Ku, setiap orang dari kamu sekalian adalah orang yang sesat, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk; oleh karena itu mintalah kamu sekalian petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepada kamu sekalian.

Wahai para hamba-Ku, masing-masing dari kamu sekalian adalah orang yang lapar kecuali orang yang telah Aku beri makan; oleh karena itu mintalah makan kamu sekalian kepada-Ku, niscya Aku akan memberi makan kamu sekalian.

Wahai para hamba-Ku, masing-masing dari kamu sekalian adalah orang yang telanjang kacuali orang yang telah aku beri pakaian; oleh karena itu mintalah pakaian kamu sekalian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikan pakaian kepada kamu sekalian.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang berbuat salah pada malam dan siang hari, sedangkan Aku dapat mengampunkan dosa-dosa semuanya; oleh karena itu mintalah ampun kamu sekalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunkan dosa-dosa bagi kamu sekalian.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kamu sekalian tidak akan sampai pada kemelaratan-Ku sehingga kamu sekalian dapat memberi melarat kepadaku; dan kamu sekalian tidak akan sampai pada kemanfaatan-Ku sehingga kamu dapat memberi manfaat kepada-Ku.

Wahai para hamba-Ku, sungguh andaikata permulaan kamu dan akhir kamu, manusia kamu dan jin kamu berada pada keadaan yang paling taqwa dari hati satu orang dari kamu sekalian, niscaya hal itu tidak menambah sesuatupun pada apa yang ada di kerajaan-Ku.

Wahai para hamba-Ku, sungguh andaikata permulaan kamu dan akhir kamu, manusia kamu dan jin kamu adalah berada pada keadaan yang paling durhaka dari hati satu orang dari kamu sekalian, niscaya hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari apa yang ada pada kerajaan-Ku.

Wahai para hamba-Ku, sungguh andaikata permulaan kamu dan akhir kamu, manusia kamu dan jin kamu mereka itu berdiri di sebuah padang, kemudian mereka meminta kepada-Ku, lalu Aku memberi kepada setiap orang akan permintaannya, niscaya pemberian tersebut tidak mengurangi dari apa yang ada pada-Ku kecuali seperti pengurangan jarum jahit ketika dimasukkan ke dalam laut.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya amal-amal kamu Aku catat untuk kamu sekalian, kemudian Aku cukupi kamu sekalian akan balasan dari amal-amal tersebut. Maka barangsiapa yang mendapat balasan baik, hendaklah dia memuji kepada Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan balasan selain kebaikan, maka janganlah sekali-kali dia mencela kecuali kepada dirinya sendiri".

Hadits yang kedua telah diijazahkan kepada Syeikh Sihabuddin Ibn Hajar al Asqalani oleh Al ‘Allamah Sayyid Ahmad Al Marshafi Al Misri, setelah beliau diberi ijazah oleh Sayyid Abdul Wahhab bin Ahmad Farhat Asy Syafi'i dari guru-gurunya yang bersambung-sambung sampai Abdullah bin Amar bin Ash dari Nabi saw., bahwa beliau telah bersabda:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ .

"Para penyayang itu akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah olehmu sekalian makhluk yang ada di bumi, niscaya akan menyayangi kamu sekalian makhluk yang ada di langit".

Pengertian dari hadits ini adalah bahwa orang-orang yang sayang kepada makhluk yang ada di bumi dari manusia dan binatang yang tidak diperintah membunuhnya dengan berbuat baik kepadanya, maka Dzat Yang Maha Penyayang akan berbuat baik kepada mereka. Sayangilah olehmu sekalian siapa saja yang kamu sekalian mampu menyayangi mereka dari jenis-jenis makhluk Allah ta’ala, meskipun makhluk yang tidak berakal, dengan membelasi mereka dan berdoa bagi mereka dengan rahmat dan ampunan, niscaya para malaikat akan memohonkan ampun bagi kamu sekalian. Dan siapakah orang yang disayangi oleh penduduk langit pada umumnya yang mereka itu lebih banyak dari pada penduduk bumi?

Tidak boleh bagi seseorang untuk mendoakan bagi semua orang Islam agar diampunkan semua dosanya atau mendoakan untuk seorang fakir agar diberi uang seratus dinar. Tidak ada jalan baginya yang memudahkan berdoa seperti itu dan dia mengatakan:

"Ini adalah termasuk menyayangi makhluk, karena berdoa seperti itu, yaitu menentukan semua orang, semua dosa, dan seratus dinar adalah bertentangan dengan nash-nash syara’.

Imam Al Ghozali telah dimimpikan dalam tidur lalu dikatakan kepadanya:

"Apakah yang diperlakukan oleh Allah swt. kepadamu?"

Beliau berkata:

"Aku telah dihadapkan kehadapan Allah swt. seraya Allah swt. berfirman kepadaku: "Sebab apa engkau dihadapkan kepada-Ku?" Maka aku mulai menyebutkan amal-amalku.

Kemudian Allah swt. berfirman:

"Aku tidak menerima amal-amal tersebut. Sesungguhnya yang Aku terima dari kamu hanyalah pada suatu hari ada sekor lalat yang hinggap pada tinta penamu untuk meminum tinta tersebut, sedangkan engkau lagi menulis, lalu engkau berhenti menulis karena sayangmu pada lalat tersebut sehingga lalat tersebut dapat mengambil bagiannya".

Allah swt. berfirman:

"Wahai para malaikat, bawalah hamba-Ku Al Ghozali ini ke dalam sorga!"

Dalam hadits Nabi saw. tersebut di atas, lafal يَرْحمَكُمْ ada dua riwayat; ada yang membaca jazam sebagai jawab amar dan ada yang membaca rafa' sebagai jumlah du'aiyyah. Dan membaca rafa' adalah lebih utama, karena doa Nabi saw. tidaklah ditolak.

Di antara sebab-sebab untuk mendapatkan husnul khatimah adalah mengajegkan membaca doa-doa berikut:
اَللَّهُمَّ أَكْرِمْ هَذِهِ الاُمَّةَ الْمُحَمَّدِيَّةَ بِجَمِيْلِ عَوَائِدِكَ فِيْ الدَّارَيْنِ اِكْرَامًا لِمَنْ جَعَلْتَهَا مِنْ اُمَّتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

"Ya Allah, muliakanlah ummat Nabi Muhammad ini dengan kebagusan dari kebiasaanmu di dunia dan akhirat dengan benar-benar kemuliaan bagi orang yang telah Engkau menjadikannya termasuk ummat Nabi Muhammad saw".

Melanggengkan doa berikut pada waktu antara shalat sunnat subuh dan fardlu subuh:
2- اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لاُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ اسْتُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ اجْبُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمِّدٍ اَللَّهُمَّ عَافِ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ احْفَظْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّ دٍ رَحْمَةً عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لاُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مَغْفِرَةً عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ فَرِّجْ عَنْ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فَرْجًا عَاجِلاً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ .

"Ya Allah, ampunkanlah dosa bagi ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, berilah rahmat ummat dari pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, tutupilah cacat dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, tamballah kekurangan dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, perbaikilah kerusakan dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, sejahterakanlah ummat dari pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, jagalah ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.

Ya Allah, berilah rahmat ummat pemimpin kami Nabi Muhammad dengan rahmat yang umum wahai Tuhan seru sekalian alam.

Ya Allah, ampunkanlah dosa dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad dengan ampunan yang umum wahai Tuhan seru sekalian alam.

Ya Allah, berilah jalan keluar dari kesulitan ummat pemimpin kami Nabi Muhammad dengan jalan keluar yang segera wahai Tuhan seru sekalian alam".

Mengajekkan membaca doa berikut:
3- يَا رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ بِقُدْرَتِكَ عَلَى كُلَّ شَيْءٍ اِغْفِرْلِيْ كُلَّ شَيْءٍ وَلاَ تَسْأَلْنِيْ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلاَ تُحَاسِبْنِيْ كُلِّ شَيْءٍ وَأَعْطِنِيْ كُلَّ شَيْءٍ .

"Wahai Tuhan dari setiap sesuatu, demi kekuasaan-Mu terhadap setiap sesuatu, ampunilah daku pada setiap sesuatu, janganlah Engkau menanyai daku tentang setiap sesuatu, janganlah Engkau memperhitungkan daku pada setiap sesuatu, dan berilah daku setiap sesuatu".

Kedua hadits yang diterima oleh Syeikh Sihabuddin tersebut diatas, mengisyaratkan kepada kita untuk tidak pernah berhenti untuk selalu berdoa disamping upaya ikhtiar kita dalam menjalani kehidupan. Dan larangan untuk meremehkan setiap amal kebaikan sekecil apapun dan menyepelekan kemaksiatan remeh apapun. Karena akhiran yang diburu orang mukmin dalam kehidupan ini adalah Khusnul Khotimah/akhiran yang baik, maka kita harus selalu ingat bahwa Allah menyimpan ridlanya dalam setiap amal kebaikan dan menyimpan amarahnya dalam setiap kemaksiatan. Jangan-jangan Allah meridloi pekerjaan yang kita anggap remeh dan mengabaikan segala amal yang kita anggap besar dan patut dibanggakan.

Begitu juga ketika kita menjalankan kemaksiatan yang menurut kita dosa kecil tetapi Allah marah dan memasukkan kita ke neraka. Untuk itu upaya selalu melanggengkan membaca doa agar mendapat akhiran yang baik sebagai bukti kerelaan Allah atas kita haruslah diistiqamahkan disertai upaya untuk menghindar dari perbuatan dzalim dan kemaksiatan dengan sabar. Semoga sukses!

KH. Masduqi Machfudh

Orang Bodoh Gampang Dirayu Syetan

Manusia memiliki musuh bebuyutan yang namanya syetan. Ketika syetan diusir dari neraka mereka sudah memproklamirkan diri akan ajak-ajak manusia agar mengikutinya ke jalan neraka. Seyogyanya, seorang hamba bersungguh-sungguh menolak bisikan dan godaan syetan di dalam dirinya. Karena Allah SWT sudah mengingatkan melalui firmanNya:

Innassyaithoona lakum ‘aduwwun, fattakhidzuuhu ‘aduwwan

Sesungguhnya syetan adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah syetan itu sebagai musuh.

Ingatlah, bahwa syetan akan terus menerus mencari teman ke neraka. Syetan menggoda manusia melalui kemaksiatan yang dihiasi dengan berbagi kesenangan dan kenikmatan yang bisa menjerumuskan kebanyakan manusia. Oleh karena itu kita harus mengerti dan jangan jadi orang-orang yang bodoh. Sebab orang bodoh gampang dikibuli syetan.

Tanda-tanda orang bodoh itu ada empat.

Pertama, suka marah-marah yang tidak jelas sebabnya.

Kedua, suka nuruti kemauan nafsu yang bathil.

Ketiga, menafkahkan hartanya dengan cara yang tidak dibenarkan syara', suka menghambur-hamburkan harta yang tidak jelas manfaatnya, apalagi digunakan untuk maksiat.

Keempat, tidak sadar kalau musuh yang sebenarnya adalah syetan.

Oleh karena itu hendaknya kita sebagai orang yang berakal menyadari dengan benar bahwa syetan itu musuh kita. Mari kita mengikuti kebenaran dan jangan mengikuti musuh kita. Tengoklah hati kita. Bukankah ternyata lebih sering mengikuti bisikan dan perintah syetan daripada mengikuti perintah Allah?

Sebagian ahli hikmah mengatakan:

"ketahuilah bahwa syetan itu mendatangi manusia melalui sepuluh pintu".

Kesepuluh pintu yang dimasuki syetan itu adalah:

1. syetan akan masuk melalui pintu suudzon (berburuk sangka)
2. syetan akam masuk melalui pintu panjang angan-angan
3. syetan akan masuk melalui pintu memperoleh nikmat
4. syetan akan masuk melalui pintu ‘ujub (membanggakan diri)
5. syetan akan masuk melalui pintu meremehkan orang lain
6. syetan akan masuk melalui pintu hasud
7. syetan akan masuk melalui pintu riya' (ingin dipuji orang)
8. syetan akan masuk melalui pintu bakhil (kikir)
9. syetan akan masul melalui pintu sombong
10. syetan akan masuk melalui pintu tamak (serakah).

Kalau syetan berhasil mendekati kita, maka syetan akan berusaha masuk di hati kita. Nah, kalau ia sudah berhasil masuk, maka ia akan bersembunyi di hati kita.

Oleh karena itu jangan biarkan ia bersembunyi. Usirlah dia! Caranya dengan memperbanyak dzikir (ingat) kepada Allah SWT.

Sebab, kalau hati kita sudah dikuasai syetan maka ia telah berhasil menjadikan kita temannya. Berarti kita telah menjadikan syetan sebagai pemimpin bagi hati kita. Na'udzubillah.

Ingatlah peringatan Allah dalam Al Qur'an:

"Hai anak adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Nabi Adam dan Ibu Hawa) dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihatmu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syetan-syetan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman" (QS. Al A'raaf:27)

Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk melawan godaan syetan.

KH. Masduqi Machfudh

Rajab Bulan Penuh Kemulyaan

Tak terasa hampir 15 hari kita melewati bulan Rajab. Bulan rajab adalah bulan yang sangat mulia dan agung, penuh barokah dan hikmah, ibadah pada bulan ini dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, doa-doa diijabah, dan pintu taubat dibuka lebar-lebar siap menerima siapapun juga yang hendak bertaubat kepada Allah. Seperti diriwayatkan oleh Al imam Ibnu ‘Asakir dari Abu Umamah RA bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda (yang artinya):

"Ada lima malam yang tidak akan ditolak doa-doa di dalamnya, malam pertama bulan rajab, malam pertengahan sya'ban (nisfu sya'ban), malam jumat, malam idul fitri dan malam idul adha".

Dan cukup kiranya sebagai kemuliaan bulan ini di mana Allah Ta'ala menjadikannya salah satu dari empat bulan yang dinamakan Asyhurul Hurum (bulan yang terhormat). Sebagaimana dalam Al Quran Allah berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (mulya). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At Taubah 36)

Mengenai Asyhurul Hurum ini Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan kepada kita bahwa empat bulan tersebut adalah Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab. Seperti dalam riwayat Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Bakrah RA.

Bahkan sebagian Ulama berpendapat bahwa dari keempat bulan ini yang paling utama adalah bulan Rajab, sementara yang lain berpendapat bulan Muharram.

Sahabat Ibnu Abbas RA mengatakan tentang kemulyaan empat bulan ini:

"Allah telah mengkhususkan empat bulan, dimana Allah menjadikannya penuh kemulyaan, dosa-dosa di bulan ini lebih besar daripada bulan lainnya, begitu pula amal sholeh dan pahala".

Bahkan Nabi Muhammad SAW menunjukkan kemulyaan bulan Rajab ini dengan menyandarkannnya kepada Allah SWT, dimana beliau bersabda:

"Rajab adalah Bulannya Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku". (HR. Abul Fath bin Abil Fawaris dari Hasan al Bashri, hadits mursal)

Tidaklah sesuatu disandarkan kepada Allah kecuali pasti itu adalah sesuatu yang sangat mulya dan di dalamnya tersimpan rahasia dan keberkahan. Maka dari sinilah kemudian banyak Ulama memberi nama bulan ini sesuai dengan maqam, dan keluasaan daya talar ilmu dan pemikiran mereka masing-masing, sebagian berkata bahwa bulan Rajab adalah bulan Istighfar, artinya bulan yang sangat layak bagi umat untuk memperbanyak istighfar dan taubat di dalamnya, sebagian berkata Rajab adalah bulan Rahmah, artinya bulan yang penuh dengan Rahmat Allah SWT, yang lain berpendapat Rajab adalah bulan ar Rajm, artinya bulan yang didalamnya dirajm (dijauhkan) musuh dan syaitan dari para Auliya' dan sholihin.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa Rajab adalah bulan penanaman benih, Sya'ban bulan untuk menyirami benih tersebut dan Ramadhan adalah bulan untuk menuai (memetik) hasil dari tanaman yang tumbuh dari benih itu. Ketahuilah bahwa benih yang dimaksud disini adalah amal sholeh.

Sebagian yang lain mengatakan rajab adalah Mausimut Tijaarah (saat untuk berdagang), maksudnya adalah bulan untuk kita memperbanyak keuntungan dengan bermu'amalah bersama Allah SWT, yakni dengan beribadah, membersihkan hati dan membenahi jiwa. Ragam apapun ibadah tersebut, seperti solat, dzikir, sholawat, bersodaqah, berbuat baik kepada saudara seiman, membaca Al Quran dan termasuk menghadiri majelis ilmu. Yang penting kita berusaha makin bertambah umur, makin bertambah dekat kepada Allah.

Inilah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan begitu saja, memang kadang manusia tidak sadar, berapa banyak umurnya berlalu sia-sia untuk sesuatu yang sia-sia, bukankah setiap nafas dan setiap detik dari umurnya akan dipertanyakan oleh Allah SWT ?

Dari sekian banyak kemulyaan yang disandang oleh bulan Rajab ini, disana ada keistimewaan yang tidak ada tandingannya yang tidak bisa dinilai keagungannya, yaitu pada bulan ini pula terjadi peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW, yaitu pada malam 27 Rajab, memang ada yang berpendapat bulan Rabiul Awwal atau Rabiuts Tsani, adapun tahunnya Al Imam Az Zuhri, ‘Urwah bin Zubeir dan Ibnu sa'ad serta sebagian besar ahli siroh (sejarah) mengatakan bahwa Isra' Mi'raj ini terjadi setahun sebelum beliau SAW hijrah ke Madinah al Munawwarah.

Ini adalah suatu perjalanan luar biasa di luar kemampuan manusia biasa, peristiwa yang tidak akan pernah terjadi selain kepada Rasulullah SAW, peristiwa berjumpanya sang kekasih dengan kekasihnya. Dengan perjalanan ini Allah SWT ingin menunjukkan kebesaran dan keagunganNya kepada sang Nabi yang mulya ini, begitu pula Dia berkenan memperkenalkan dan menunjukkan keagungan Nabi Muhammad kepada seantero alam, seluruh penduduk langit dan bumi. Sehingga setiap Nabi dan Rasul serta malaikat yang berjumpa dengan beliau mengucapkan salam perhormatan.

Inilah perjalanan yang penuh berkah dan hikmah yang sudah Allah tentukan hanya untuk Nabi Muhammad SAW, lidah tidak akan mampu mengungkapkan secara detail peristiwa ini, pena tidak mampu menulis seluruh keajaiban yang terjadi disana, sekalipun banyak para Imam dan Ulama berkarya untuk mengungkapkan peristiwa mulya ini yang tentunya berdasarkan hadits-hadits dan atsar, namun tidak satupun mampu mencakup semuanya secara mendetail dan terperinci serta mengungkap rahasia-rahasia yang tersimpan dalam semua itu. Hanya Allah Ta'ala yang mengetahuinya.

Berkenaan dengan Isra' Mi'raj ini Allah SWT berfirman dalam Al Quran (yang artinya):

Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al Israa' ayat 1)

Begitupula banyak sekali riwayat dari Rasullullah SAW dimana beliau sendiri menjelaskan dan menceritakan peristiwa ini di hadapan para sahabat, hadits-hadits itu disebutkan oleh para Imam Hadits maupun Tafsir dalam kitab-kitab mereka, diantaranya al Imam al Bukhori, Muslim, Ahmad bin Hambal, at Tirmidzi, an Nasai, al Baihaqi, Ibnu Jarir at Thabari dan lainnya.

Dan Isra' Mi'raj ini telah diriwayatkan dari kelompok besar sahabat Rasulullah SAW, diantaranya Abu Hurairah, Abu Dzar, Ibnu Mas'ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Sa'id al Khudry, Syaddad bin Aus, Ubay bin Ka'ab dan lainnya, maka dari sinilah kemudian para Imam berpendapat keterangan atau riwayat yang datang dalam rangka menjelaskan peristiwa ini adalah riwayat Mutawaatirah, artinya barang siapa yang mengingkarinya maka kafirlah orang tersebut, sebab selain status haditsnya adalah hadits mutawatir di samping itu peristiwa ini tergolong ‘ulima minad diin bidh dhorurah, artinya diketahui secara umum oleh seluruh lapisan umat dan tidak tersembunyi.

Dan perlu diketahui bahwa Ulama dan Muhaqqiqun bersepakat bahwa Isra' Mi'raj ini dilakukan dalam keadaan terjaga atau nyata, bukan dalam mimpi seperti dikatakan sebagian orang, dan Nabi Muhammad Isra' Mi'raj dengan jasad dan ruh beliau. Dan dalam Mi'raj itu beliau SAW berjumpa dan melihat Allah Ta'ala dan berbicara denganNya, tanpa kita bertanya bagaimana bahasaNya dan bagaimana caranya, kita hanya wajib beriman akan hal itu tanpa bertanya sesuatu yang bukan urusan kita. Allah dan RasulNya lebih tahu hal tersebut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwa Marwan bertanya kepada Abu Hurairah RA,:

"Apakah Nabi Muhammad melihat Rabbnya",

Beliau menjawab: "Ya".

Bahkan Al Hasan Al Bashri bersumpah dengan nama Allah bahwa Nabi Muhammad benar-benar melihat Allah SWT dalam Mi'raj itu.

Insya Allah pada edisi berikutnya kita akan menukil beberapa riwayat dari kitab-kitab hadits mapun sirah Nabawiyah yang menyebutkan perjalanan yang mulya dan agung ini, tentunya dengan penjelasan ‘ibrah (pelajaran) dan hikmah yang dapat diambil dari peristiwa itu sendiri. Wallahu A'lam.

Dinukil dari kitab as Sirah an Nabawiyah (DR. Muhammad Abu Syahbah), Dzikrayat wa Munasabat (DR.As Sayyid Muhammad bin Alawy al Hasany), Kanzun Najah was Surur (As Syeikh ‘Abdul Hamid Kudus), Mujazul Kalam (As Syeikh Muhammad bin Ali ad Du'any).